Aksi Mahasiswa dari Seoul Hingga Jakarta

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks


Aksi Mahasiswa dari Seoul Hingga Jakarta


SETELAH sebuah surat kabar mengutip omongan Faizal Mahmud yang mengatakan Perdana Menteri (PM) Mahathir Mohamad sebaiknya mundur, pihak Universiti Kebangsaan Malaysia memanggil mahasiswa fakultas teknik berusia 21 tahun itu. Pihak universitas mengingatkan adanya amandemen tahun 1975 tentang "Universities and University Colleges Act". Amandemen itu melarang para mahasiswa melakukan kegiatan politik, termasuk membuat pernyataan umum. Hukuman bagi pelanggar amandemen itu adalah denda hingga 1.000 ringgit (sekitar 26 dollar AS) dan hukuman penjara setinggi-setingginya enam bulan-yang berarti dikeluarkan dari kampus.
Pelan tetapi pasti, aksi mahasiswa di Malaysia belakangan ini mulai tampak. Yang terjadi di Malaysia, memang, belum seperti yang terjadi di Indonesia, Mei lalu, yakni ketika para mahasiswa turun ke jalan sambil meneriakkan slogan reformasi dan berakhir dengan turunnya Presiden Soeharto. Menurut laporan koran The Asian Wall Street Journal edisi 10 November 1998, baru sedikit dari 226.000 mahasiswa Malaysia yang turun ke jalan menentang pemerintahan Mahathir. "Kami tidak ingin melakukan reformasi seperti Indonesia. Tetapi, jika krisis ekonomi berkelanjutan dan tekanan terus dilakukan, tidak ada jaminan bahwa mahasiswa akan diam saja," kata Wan Jemizan Deraman, Presiden Serikat Mahasiswa di Universiti Malaya, Kuala Lumpur yang beranggotakan 18.000 orang.
AKSI mahasiswa di Malaysia mulai muncul setelah Anwar Ibrahim dipecat dari jabatannya sebagai Deputi Perdana Menteri, Menteri Keuangan tanggal 2 September dan disusul penangkapan terhadap dirinya tanggal 20 September. Sejak itu, gerakan reformasi yang diembuskan Anwar pelan-pelan mulai bertiup ke mana-mana.
Apakah gerakan mahasiswa Malaysia akan berkembang seperti di negara-negara lain, misalnya seperti di Indonesia, Cina, Korea Selatan (Korsel), atau Thailand? Itulah pertanyaannya.
Aksi mahasiswa di Bangkok (selain Indonesia, tentu saja), pada bulan Maret-April 1992, merupakan salah satu contoh keberhasilan gerakan mahasiswa. Mereka memrotes dan menuntut agar mantan Pangab Jenderal Suchinda Kraprayoon melepaskan jabatannya sebagai PM demi terciptanya demokrasi yang murni. Turunnya Suchinda, menandai mundurnya militer Thailand dari pemerintahan yang kemudian memberi jalan bagi pemerintahan yang dipilih secara demokratis. Posisi itu terus bertahan sampai saat ini.
Gerakan mahasiswa Cina, memberikan contoh lain. Steven Mufson dalam International Herald Tribune, April lalu menulis, aksi demonstrasi para mahasiswa prodemokrasi di Lapangan Tiananmen, 1989, menebarkan benih-benih reformasi politik liberal di Beijing. Kaum intelektual di Beijing, kini, mulai berani bicara antara lain soal perlunya penghormatan hak-hak individu, perlunya pemilihan umum secara langsung, dan mengecam pemerintah komunis.
Bahkan, secara tidak langsung, tumbuh kesadaran di kalangan partai bahwa partai harus melakukan reformasi politik karena masyarakat Cina telah berubah dan perekonomian tumbuh semakin kompleks. Semula, memang, pemerintah Beijing menggolongkan aksi mahasiswa yang antara lain dipimpin Wang Dan itu sebagai gerakan subversif (sama dengan di banyak negara, termasuk di Indonesia, pada masa sebelum reformasi).
Apa yang terjadi di Korsel, tak jauh berbeda dengan yang terjadi di negara lain. Demonstrasi mahasiswa di Korsel seakan menjadi bagian dari kehidupan politik di negeri itu, hingga kini. Yang menjadi taruhan para mahasiswa adalah pencarian sebuah pola hidup dan bermasyarakat yang lebih mengena pada aspirasi dasar mereka sebagai manusia. Mereka sangat tersentuh oleh masalah kualitas hidup, dan tak semata-mata soal demokrasi politik atau ekonomi belaka, tetapi lebih pada bagaimana kemanusiaan mereka benar-benar dihormati sebagai manusia oleh para penyelenggara negara.
Di sinilah mahasiswa menempatkan diri sebagai gerakan moral dan bukannya gerakan pencari kekuasaan, pencari jabatan yang memperhitungkan soal kalah atau menang. Dengan memposisikan diri sebagai gerakan moral itu, mahasiswa akan dikenang sebagai roh zamannya, sebagai hati nurani zamannya, dengan catatan mereka tetap menempuh jalur damai, tanpa kekerasan.

Bila hal itu yang terjadi, maka para orangtua pun akan dengan lega hati mengatakan, "Selamat berjuang para mahasiswa untuk menegakkan pemerintahan yang bermoral, pemerintahan yang demokratis, pemerintahan yang menjunjung tinggi hukum." (ias)

Kamis, 12 November 1998


0 komentar: