program kur

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks



”There is always door on every wall” (selalu ada pintu di setiap dinding). Kata-kata mutiara Ralph Waldo Emerson ini menyingkap sekelumit perilaku wirausaha yang belakangan sering disebut entrepreneur. Salah satu ciri berpikirnya wirausaha tangguh yang inovatif adalah ”resourcefulness” alias banyak akal.

Pakar manajemen Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, pernah mengangkat kata-kata mutiara ini dalam sebuah seminar untuk menggambarkan semangat wirausaha.

Bagi wirausaha, selalu ada peluang untuk setiap kesulitan yang dihadapi. Selalu ada jalan untuk keluar (pintu) untuk setiap tantangan (dinding) yang ditemui. Itulah semangat kewirausahaan yang semestinya ada pada diri mereka yang menjadi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). ”Pintu” yang dahulu tertutup kini semakin terbuka.

Permodalan, misalnya. Kini ada program kredit usaha rakyat (KUR) yang diharapkan dapat mempermudah pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) mendapatkan akses ke permodalan.

KUR tidak mempersyaratkan agunan. Debitor hanya diminta untuk menyampaikan persyaratan administratif, berupa laporan kelayakan usaha. Bunga maksimum KUR hanya 16 persen.

Harapan pemerintah, KUR dapat membantu pelaku UKM meningkatkan usahanya dengan menambah permodalannya. Dampak lanjutannya adalah semakin banyak tenaga kerja yang dapat diserap oleh UKM.

Sejak November 2007, KUR menjadi andalan pemerintah untuk membangun UKM. Pada hampir setiap sambutan resmi, pemerintah selalu menyampaikan program itu.

Jumlah jaminan yang dikucurkan untuk mendukung program KUR pun tidak tanggung- tanggung, Rp 1,45 triliun, dan kredit yang dikucurkan diharapkan mencapai 10 kali lipatnya, atau Rp 14,5 triliun.

Hingga 14 Juni 2008, KUR yang disalurkan mencapai Rp 7,12 triliun. Pemerintah pun menambah dana penjaminan sebesar Rp 1 triliun sehingga total kredit yang disediakan hingga 2009 sebesar Rp 24,5 triliun.

Seakan tak mau ketinggalan, bank-bank pelaksana, yaitu Bank BRI, Bank Mandiri, Bank Syariah Mandiri, Bank Bukopin, dan Bank BNI, berlomba-lomba menyebutkan prestasinya dalam mengucurkan KUR. Pertanyaannya kini, apakah program KUR sudah mampu menciptakan wirausaha baru, yang mampu membuka lapangan kerja baru?

Menteri Negara Urusan Koperasi dan UKM Suryadharma Ali beberapa waktu lalu mengakui, hingga kini persoalan pengangguran belum terpecahkan. ”Laporan Bank BRI baru-baru ini menyebutkan 700.000 nasabah meminjam uang melalui program KUR. Kalau asumsinya satu nasabah menyerap satu orang, berarti ada 700.000 tenaga kerja yang terserap,” katanya.

Namun, angka yang disebutkan Suryadharma itu baru estimasi. Kemennegkop dan UKM yang menjadi koordinator program ini menjanjikan akan menghitung dampak penyerapan tenaga kerja melalui kerja sama dengan Badan Pusat Statistik. Jumlah penyerapan tenaga kerja baru diperkirakan bisa diketahui pada September 2008.

Menurut motivator wirausaha, Tung Desem Waringin, ”Orang yang menerima KUR belum tentu melakukan ekspansi usaha. Ada yang menerima pinjaman, tetapi malah digunakan untuk membeli mesin dan mengurangi karyawan.”

Tung menjelaskan, semua bisnis pada akhirnya bertujuan mencari untung dan menjaga kesinambungan. Untuk itu, overhead cost dibuat seminimal mungkin. Pada usaha tertentu, karyawan bisa digantikan mesin karena alasan kecepatan dan efisiensi.

Handito Hadi Joewono, Konsultan Bisnis Arrbey, menilai, program KUR seharusnya paralel dengan program pengembangan usaha. Kredit usaha memang diperlukan, tetapi program mendorong bisnis baru juga wajib dilakukan pemerintah. Jangan mengandalkan pebisnis yang sudah ada. ”Bisnis memang perlu kreativitas. Secara bersamaan, kita juga perlu menggerakkan bisnis kreatif yang mengandalkan ide intelektual hingga menghasilkan nilai tambah besar,” katanya.

Daya tahan UMKM

Menurut Rhenald, problem yang dihadapi UKM tidak selalu sama. Tidak semua UKM menghadapi kesulitan permodalan, atau kesulitan klasik lainnya, seperti produksi dan pemasaran. Selain itu, setiap UKM punya daya tahannya sendiri.

Menghadapi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), misalnya, ada pelaku usaha yang hanya membutuhkan waktu sebentar untuk ”tarik napas”. Misal, mereka yang bergerak di sektor perdagangan.

”Tidak pernah ada pedagang yang rugi, kecuali yang manajemennya bodoh. Konsumen memang kaget sebentar terhadap harga produksi yang melonjak dan transaksi penjualan dipastikan sedikit melambat. Namun, semua akan menyesuaikan dengan kondisi keuangan dan kebutuhan,” tuturnya.

Ada juga pelaku usaha yang sungguh mengalami kesulitan, terutama yang bergantung pada bahan baku, terutama impor. Ini dialami oleh pengusaha keramik, bangunan, serta properti.

Namun, ada juga UMKM yang diuntungkan dengan kenaikan harga BBM, yakni mereka yang menjadi kepanjangan tangan usaha sektor energi, pertambangan, dan perkebunan. Lonjakan harga komoditas di pasar dunia menguntungkan pengusaha di sektor ini.

Rhenald meyakini, secara psikologis, pelaku usaha cemas. Namun, kenaikan harga BBM tidak mengurangi orang mengonsumsi BBM. Orang tetap bepergian dan beraktivitas. Kemacetan lalu lintas pun masih terjadi. ”Kenaikan harga komoditas tak menyurutkan orang untuk belanja dan mencari tempat hiburan,” kata Rhenald.

KUR yang dimaksudkan sebagai ”kail” harus hati-hati dalam penyalurannya. Kebijakan yang hanya terfokus pada usaha mikro akan menjadi ”hama” kelatahan rakyat. Semua membuka usaha dengan memanfaatkan kemudahan mendapat modal dari bank. Menjamurnya usaha mikro seperti itu akan berpotensi jadi persoalan sosial baru.

KUR juga harus dijaga agar tidak menjadi sarana bagi pelaku UMKM untuk ”gali lubang tutup lubang” utang lama. Namun, KUR diharapkan dapat meningkatkan kreativitas pengusaha.

0 komentar: