Gerakan Mahasiswa Pasca NKK/BKK

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks


Gerakan Mahasiswa Pasca NKK/BKK
Oleh : Adian **)


Ketika diberlakukannya NKK/BKK peran sosial politik mahasiswa termarginalisir secara sistematis. Peran cenderung hanya diberi kepada lembaga-lembaga formal (senat) yang pada kemudian hari justeru tidak lagi menjadi lembaga milik mahasiswa yang berjuang bagi aspirasi mahasiswa. Sistem, mekanisme dan hirarkis struktural dalam senat mengakibatkan lembaga itu hanya menjadi mesin pelegitimasi setiap keputusan pimpinan perguruan tinggi.
Proses depolitisasi yang direkayasa ini semula dimaksudkan kekuasaan untuk meredam gerakan mahasiswa. Rekayasa ini memang pada tahun-tahun awalnya cukup efektif hingga berikutnya para aktivis mahasiswa justeru perlahan-lahan mulai ter-alienasi dari basis kampusnya. Sementara itu, senat cenderung dikuasai oleh mereka yang mampu menyenangkan hati pimpinan perguruan tinggi.
Walaupun demikian, para aktivis mahasiswa tetap mencoba melakukan perlawanan terhadap rejim otoriter orde baru dengan mulai mencari pola dan metode gerakan yang berbeda dari sebelumnya. Ketika tidak lagi mendapat ruang di kampusnya, maka sebagian aktivis mahasiswa mulai terjun ke basis-basis rakyat bersama lembaga swadaya masyarakat, melalui berbagai advokasi kasus-kasus rakyat, seperti Cimacan, Badega, atau advokasi kasus buruh. Sebagian lagi aktif dalam lembaga-lembaga pers kampus.
Pola dan metode gerakan seperti itu sepertinya cukup efektif menjadi alat perekat dan membangun ikatan emosional yang lebih kental di antara sesama aktivis mahasiswa, sekaligus juga menjadi seleksi tingkat kepedulian terhadap mahasiswa-mahasiswa muda. Disisi yang lain, juga semakin mendekatkan mahasiswa pada denyut nadi rakyat dan meneguhkan komitmen keberpihakan serta orientasi gerak pada persoalan-persoalan rakyat. Sementara di tingkatan rakyat, advokasi tersebut serta-merta membangun kekuatan rakyat, sebab dalam sebuah proses advokasi biasanya rakyat akan melakukan pengorganisasian diri dan membangun organisasinya untuk dapat melakukan perlawanan.
Tingkat represi orde baru yang cukup tinggi membuat para aktivis mahasiswa menjadi cepat matang, gigih dan terlatih dalam mengatur taktik dan strategi perlawanan. Berbagai peristiwa penangkapan aktivis mahasiswa seringkali muncul di berbagai pemberitaan media massa yang kemudian justeru menjadi pembangkit dan penebar semangat bagi para mahasiswa lainnya. Sebagai contoh, peristiwa April Makasar Berdarah tahun 1995 sedikit banyak juga membangkitkan semangat perlawanan kolektif dan membangun ikatan solidaritas yang semakin mengental, begitu juga penangkapan 21 mahasiswa di DPR/MPR dan berbagai kasus lainnya.
Sekitar tahun 1994 di Jakarta mulai bermunculan berbagai kelompok mahasiswa maupun jaringan mahasiswa yang jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Kelompok-kelompok ini jauh dari bentuk yang permanen sebab cenderung terbentuk karena ikatan-ikatan yang muncul dari isu-isu perekat seperti April Makasar Berdarah, kasus Sri Bintang Pamungkas, HKBP, Pembredelan Tempo, Detik dan Editor, hingga kemudian memuncak dan terakumulasi pada peristiwa 27 Juli 1996.
Mulai dari tahun 1994 di antara gerakan mahasiswa sudah mulai nampak polarisasi gerakan yang sebenarnya terjadi karena berbagai persoalan yang tidak prinsipil atau ideologis, melainkan seringkali disebabkan oleh persoalan eksistensi maupun perbedaan analisa dan pola gerakan. Pada tahun-tahun berikutnya persoalan ini semakin meruncing dan mempolarisasikan gerakan mahasiswa pada persoalan yang mulai menyentuh hal-hal yang lebih prinsipil dan sedikit ideologis.
Mendorong Megawati

Sebelum terjadinya Peristiwa 27 Juli 1996, di Jakarta setidaknya ada dua kelompok besar mahasiswa yang cukup intensif melakukan aksi-aksi, antara lain SMID (Kemudian pada 24 Juli 1996 berafiliasi dan membangun keterikatan secara organ dengan Partai Rakyat Demokratik) serta Gerakan yang sering diistilahkan sebagai Gerakan gorong-gorong yang secara terbuka dinamai sebagai Solidaritas Pemuda Pelajar Indonesia untuk Demokrasi (SPIPD).
Megawati Soekarnoputri saat itu didukung penuh oleh berbagai kekuatan mahasiswa dan oposisi yang ada. Pertimbangan yang membuat Megawati tidak lain adalah kalkulasi taktis, yaitu karena gerakan mahasiswa melihat perlunya seorang tokoh yang bisa didorong untuk dijadikan sebagai simbol perlawanan, seperti yang terjadi di Filipina dengan Corry Aquino, Myanmar dengan Aung San Syuki maupun Pakistan dengan Benazir Bhuto.
Sebelum Megawati, kekuatan mahasiswa juga pernah berupaya untuk mendorong Sri Bintang Pamungkas, tetapi dalam proses selanjutnya, Sri Bintang ternyata terlalu berat untuk bisa didorong karena ketiadaan organisasi yang cukup kuat yang memback-up Sri Bintang, sehingga berikutnya Sri Bintang malah justeru hanya menjadi single fighter saja.
Megawati saat itu dinilai memiliki cukup syarat untuk didorong karena beberapa pertimbangan situasional, seperti, bahwa Megawati merupakan anak dari Presiden Soekarno yang hingga saat itu masih memiliki banyak pengagum dan pengikut ajaran-ajarannya. Selain itu, rekayasa orde baru untuk menjegal Megawati melalui berbagai upaya termasuk Kongres PDI di Medan ternyata gagal. Justeru sebaliknya, muncul aliran simpati yang terus menerus pada Megawati. Pertimbangan lainnya adalah karena posisi Megawati saat itu masih tetap menjadi Ketua Umum PDI, yang dengan demikian ia memiliki organisasi sekualitas partai yang bisa memback-upnya.
Dukungan dan dorongan terhadap Megawati saat itu sebenarnya cukup berhasil. Terlebih lagi karena berbagai kekuatan gerakan mahasiswa bertemu dengan bebagai kekuatan oposisi non partai dan kekuatan sebuah organisasi partai politik yaitu PDI. Dalam berita media massa saat itu, gabungan kekuatan ini disebut sebagai Kelompok Pelangi.
Keterlibatan gerakan mahasiswa pada masa itu sudah tampak sekali dalam berbagai aliran aksi solidaritas maupun dalam berbagai pernyataan sikap. Keterlibatan gerakan mahasiswa semakin terbuka dan jelas, seperti pada saat terjadinya Long March dari Monas menuju Diponegoro dan sebaliknya. Selain itu juga tampak dari adanya satu posko pemuda dan mahasiswa di antara sekian banyak posko yang ada di DPP PDI Diponegoro. Koordinator harian posko pemuda dan mahasiswa tersebut ialah aktivis dari SPIPD.
Pasca peristiwa 27 Juli, orde baru dan militer sangat represif. Aktivis mahasiswa puluhan orang kemudian ditangkapi. Sebagian lari ke berbagai daerah, ke gunung ataupun tidak keluar dari rumah. Yang pasti saat itu banyak sekali aktivis mahasiswa yang karena alasan keamanan kemudian memilih mengambil cuti atau tidak aktif kuliah.
Kita Harus Kembali Bertemu

Bulan Oktober 1996 beberapa aktivis mahasiswa dari SPIPD yang sempat tercerai berai mulai kembali berkumpul dan berhitung ulang sekaligus melakukan refleksi dan evaluasi bersama sehingga kemudian melahirkan kesepakatan untuk mulai melakukan aksi-aksi yang dimulai pada momentum hari Sumpah Pemuda di Gedung Sumpah Pemuda Jakarta dengan organ berbentuk komite yang bernama ALIANSI PEMUDA INDONESIA (API). Dalam aksi pertamanya, tiga orang aktifis mahasiswa API di tangkap. Walaupun demikan penangkapan itu tidak memadamkan semangat, justeru sebaliknya memberi keyakinan dan tekad yang semakin bulat yang diaplikasikan dalam berbagai bentuk demonstrasi.
Gerakan mahasiswa di Jakarta mulai menggeliat dan melibatkan masssa ratusan mahasiswa ketika terjadi penyerbuan Militer ke kampus UKI yang dikenal sebagai peristiwa SENIN CAWANG BERDARAH (SECABA). Terjadinya SECABA ternyata cukup efektif untuk kembali merekatkan solidaritas mahasiswa. SECABA memberi ruang pada berbagai aktivis mahasiswa untuk kembali berkumpul dan menggagas serta berikutnya melakukan berbagai aksi solidaritas mulai dari aksi ke KOMNAS HAM, DEPDIKBUD, dan berbagai tempat lain.
Situasi nasional Indonesia semakin menghangat, terutama karena di tahun 1997 orde baru sedang mempersiapkan Pemilu. Meskipun di Jakarta telah kembali muncul aksi-aksi, tetapi saat itu situasi tetap saja tidak kondusif untuk membangun kembali serpihan gerakan. Sebagian aktivis API kemudian mencari pola baru dengan ikut serta mendirikan dan kemudian aktif dalam Lembaga Bantuan Hukum Nusantara Jakarta (LBHN-Jakarta) yang melakukan advokasi kasus Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) di beberapa desa di Bogor dan Majalengka. Pada saat yang sama, sebagian aktivis API kembali melakukan pengorganisasian di basis kampusnya atau masuk ke PERS, sebagian lagi ikut serta dalam Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) sebagai wadah organisasi taktis.


Menuju Terbentuknya Forum Kota

Menjelang PEMILU 1997 aksi-aksi mahasiswa kembali marak. Solidaritas yang direkatkan kembali oleh momentum SECABA serta berkumpulnya aktivis mahasiswa di LBHN dan KIPP semakin memudahkan komunikasi dan koordinasi untuk melakukan aksi-aksi menolak PEMILU. Solidaritas mahasiswa terus terbangun dan semakin kuat.
Rejim Soeharto mengimbangi hal itu dengan meningkatkan represifitas pada para aktivis. Namun, berbagai peristiwa penculikan aktivis mahasiswa yang dilakukan rejim orde baru ternyata tidak cukup efektif untuk meredam gerak perlawanan, walaupun untuk menjaga berbagai kemungkinan beberapa aktivis kemudian memilih untuk mengambil cuti dari perkuliahaannya.
PEMILU 1997 tetap bisa dilaksanakan oleh orde baru, walaupun PEMILU itu menjadi salah satu PEMILU yang paling berlumuran darah. Lewatnya PEMILU ternyata tidak membuat situasi negara semakin membaik, justeru sebaliknya menjelang akhir tahun 1997 terjadi krisis ekonomi yang kemudian menjalar menjadi krisis multidimensional yang sangat hebat. Benih kehancuran yang ditanamkan orde baru selama 32 tahun lebih, kini mulai berbuah dengan rakyat yang menjadi korbannya.
Terjadinya krisis multidimensial saat itu cukup memberi ruang yang kondusif bagi gerakan mahasiswa yang dapat dilihat dengan semakin maraknya berbagai aksi mahasiswa di Jakarta, dan berbagai kota-kota lain di Indonesia. Situasi menjadi semakin panas karena saat terjadinya krisis berdekatan dengan momentum Sidang Umum 1998.
Sejak akhir tahun 1997 hingga awal tahun 1998 intensitas komunikasi antara para aktivis mahasiswa semakin intensif dengan frekuensi yang tinggi yang kemudian sekitar 12 kampus sepakat untuk bertemu di kampus Institut Sains Teknologi Nasional (ISTN) pada tanggal 7 Maret 1998. Bermula dari ISTN, pertemuan-pertemuan lalu semakin sering dilakukan dengan mengambil pola berpindah-pindah. Kesepakatan awal yang dilahirkan dari forum-forum itu adalah kesepakatan untuk saling mensuport aksi yang dilakukan oleh kampus-kampus dan memasang berbagai spanduk di setiap kampus.
Pertemuan di IAIN melahirkan nama bagi Forum tersebut yaitu KOMUNITAS MAHASISWA SE-JABOTABEK. Berikutnya mulai di gagas untuk melakukan berbagai aksi serentak yang lebih terkoordinir rapi dengan statement (pernyataan sikap yang sama). Pola aksi ini dimulai pada aksi serentak yang melibatkan sekitar 14.000 mahasiswa di 27 kampus (15 April 1998). Setelah aksi serentak itu kemudian dilakukan beberapa test case aksi untuk keluar dari kampus di beberapa kampus yang siap berdemonstrasi. Demonstrasi ini diikuti oleh massa dari kampus-kampus lainnya, seperti yang dilakukan di UKI pada tanggal 23 April 1998 dengan sekitar 4000 mahasiswa dari sekitar 17 kampus. Setelah itu aksi kemudian dikerucutkan menjadi aksi serentak dengan sekitar 10.000 mahasiswa di 6 titik, antara lain di IKIP, ABA-ABI, LEBAK BULUS,SRENGSENG, dengan mengambil momentum Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei. Dalam aksi serentak ini terjadi betrokan di IKIP dan ABA-ABI yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban luka-luka dari pihak mahasiswa. Diantara aksi-aksi serentak itu, setiap kampus juga melakukan berbagai aksi untuk membangun basis perlawanan dan mengakumulasikan massa di tiap kampus.
Komunitas Mahasiswa Se-Jabotebek kemudian lebih populer dengan sebutan Forum Kota atau FORKOT. Sebenarnya Sebutan Forum Kota terlebih lagi FORKOT hanyalah sebuah nama yang lahir begitu saja tanpa adanya kesepakatan secara forum. Beberapa hal yang kemudian menjadi ciri khas dari Forum Kota yang membedakannya dari organisasi mahasiswa lainnya, antara lain pada bentuk kepemimpinan yang cenderung menggunakan kepemimpinan forum atau kepemimpinan bersama (Colective Leader). Dalam Forum Kota juga tidak dikenal adanya penokohan baik ditingkat elite politik maupun di tingkatan gerakan mahasiswanya.
Forum Kota Menduduki DPR/MPR

Pertemuan antara simpul kampus semakin hari semakin sering dilakukan tanpa mengenal pagi, siang ataupun malam. Pertemuan-pertemuan itu mulai mencari pola untuk segera menumbangkan rejim Soeharto. Salah satu tawaran yang muncul adalah untuk menduduki Gedung DPR/MPR sebagai simbol kedaulatan rakyat. Dan kemudian merebut Istana sebagai simbol kekuasaan. Tawaran ini didasari argumentasi rasional bahwa rakyat indonesia yang masih feodalistik dan tradisional seringkali terjebak pada hal-hal yang simbolik, seperti misalnya menyimbolkan raja dengan simbol keris, pedang atau benda-benda keramat, Hal itu juga kemudian terjadi dengan menjadikan Gedung DPR/MPR menjadi simbol kedaulatan rakyat dan Istana menjadi simbol kekuasaan. Perdebatan untuk menduduki DPR/MPR menjadi perdebatan yang panjang dan melelahkan dalam Forum, sehingga kemudian disepakati untuk tetap mencermati perkembangan dan perubahan konstelasi politik secermat mungkin setiap hari. Saat itu tawaran tanggal untuk menduduki gedung DPR/MPR adalah pada hari Selasa tangal 19 Mei 1998.
Terjadinya peristiwa Yogyakarta yang mengakibatkan meninggalnya MOSES GATOT KACA yang kemudian disusul tragedi Trisakti tanggal 12 Mei 1998.Peristiwa-peristiwa tersebut membakar kemarahan mahasiswa dan membangun militansi serta semangat berjuang yang aneh dan sama sekali tidak memiliki rasa takut.
Setelah peristiwa Trisakti, gagasan untuk menduduki DPR/MPR menjadi semakin kuat dan hampir tidak terbendung. Sekitar tanggal 14 Mei beberapa kampus di Jakarta melalui koordinasi Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) melakukan pertemuan di kampus Universitas YARSI yang kemudian dilanjutkan dengan pertemuan di IKIP pada tanggal 16 Mei 1998. Informasi yang didapat oleh Forum Kota dalam rangkaian pertemuan itu adalah untuk menggagas memasuki gedung DPR/MPR pada tanggal 18 Mei 1998 tetapi tidak dengan akumulasi massa melainkan aksi delegasi. Pertemuan tersebut sempat akan dibubarkan oleh beberapa kawan-kawan mahasiswa dari Forum Kota karena Forum Kota mengangggap bahwa pertemuan YARSI maupun di IKIP tersebut adalah mencuri agenda aksi dan memanipulasi gagasan menduduki DPR/MPR yang dikampanyekan oleh Forum Kota. Bocoran informasi yang didapat menjelaskan bahwa agenda Forum Kota untuk masuk DPR/MPR pada tanggal 19 Mei di ketahui oleh FKSMJ dan Rama Pratama yang kemudian akan mengambil momentum itu untuk mendahului masuk ke DPR/MPR satu hari sebelumnya dan menggunakan massa Forum Kota sebagai bargaining ke para pimpinan DPR/MPR. Mengetahui rencana FKSMJ dan Rama Pratama maka pada hari minggu tanggal 17 Mei 1998 seluruh simpul basis Forum Kota segera mengadakan rapat dan menghasilkan kesepakatan untuk datang ke DPR/MPR pada tanggal 18 Mei dengan mengakumulasikan massa melalui pola sel yang dimulai dari pukul 09:00 WIB. Pada tanggal 17 Mei itu juga segera dibentuk organisasi aksi untuk mengkoordinir aksi esok harinya.
Pada tanggal 18 Mei 1998 massa Forum Kota mulai berkumpul di gerbang depan gedung DPR/MPR sehingga pada pukul 11.00 WIB mulai terakumulasi hingga berjumlah sekitar 4000 mahasiswa. Pada saat yang hampir bersamaan delegasi dari FKSMJ dan Rama Pratama memasuki gedung DPR/MPR dari gerbang belakang dengan jumlah sekitar 60 orang. Mengetahui itu kawan-kawan Forum Kota marah bahkan sempat memukul seorang aktivis yang kemudian diketahui bernama Ahmad Hadi dari FKSMJ yang kebetulan terlambat datang dan salah masuk dari pintu gerbang depan yang dipenuhi oleh massa Forum Kota.
Setelah tidak kurang dari 4 jam berjemur dan melakukan aksi di depan gerbang gedung DPR/MPR, tim lobbi Forum Kota diperbolehkan masuk sejumlah sekitar 30 orang untuk melakukan negoisasi dengan pihak sekretariatan dan humas DPR/MPR. Hasil negosiasi tidak berhasil dan ketigapuluh orang perwakilan Forum Kota menolak untuk keluar dari gerbang pagar gedung DPR/MPR sementara di gerbang luar, jumlah mahasiswa semakin membengkak menjadi sekitar 5000 mahasiswa. Berikutnya tim lobbi Forum Kota melakukan negosiasi dengan aparat pengamanan DPR/MPR yaitu Kolonel Bambang. Dengan ancaman bahwa kalau gerbang tidak dibuka maka kami semua akan bermalam di pinggir jalan raya. Setelah negosiasi yang alot dan keras akhirnya gerbang DPR/MPR dibuka selebar 1 meter sebagai pintu masuk bagi mahasiswa dari FORUM KOTA.
Pada saat yang sama delegasi FKSMJ dan Rama Pratama membuat kesepakatan politik dengan Fatimah Ahmad, Harmoko, Syarwan Hamid dan Hari Sabarno. Dengan bargainingnya yaitu seluruh massa Forum Kota yang saat itu sudah semakin membludak dan berangsur-angsur masuk ke halaman gedung DPR/MPR. Sehingga dalam pertemuan tersebut menghasilkan suatu kesepakatan yang dibuat oleh FKSMJ, Rama Pratama, Fatimah Ahmad, Hari Sabarno, Syarwan Hamid dan Harmoko yang salah satunya adalah bahwa mereka menjamin keselamatan FKSMJ dan Rama Pratama selama berada di gedung DPR/MPR.
Ketika mahasiswa dari Forum Kota telah memasuki halaman DPR/MPR, sebagian mahasiswa Forum Kota melihat belasan mahasiswa UI berjaket kuning yang berjalan ke arah pintu utama gedung DPR/MPR. Melihat hal itu mahasiswa Forum Kota berteriak-teriak “Pengkhianat !” pada mahasiswa UI sembari mengejar dan memukuli beberapa mahasiswa UI yang ada di sana. Barisan Teklap Forum Kota segera memisahkan perkelahian tersebut dan kembali mengatur barisan massa.
Beberapa saat Setelah massa bisa dikendalikan oleh Teklap, sebuah mobil meluncur dan berhenti sekitar 10 meter dari barisan massa. Dari dalam mobil itu keluarlah Amien Rais yang serta merta mengangkat dan melambaikan tangan ke arah mahasiswa. Beberapa teklap kemudian di ajak bicara oleh orang-orang kepercayaan Amien dan meminta agar Amien diberi kesempatan untuk berbicara di hadapan kawan-kawan Forum Kota. Tawaran itu kermudian ditolak oleh Forum Kota dengan alasan bahwa selama ini Forum Kota tidak pernah mencoba untuk mengolkan tokoh siapapun, termasuk Amien Rais. Ditingkatan massa kedatangan Amien yang dianggap arogan itu justeru memancing reaksi mahasiswa sehingga beberapa mahasiswa tampak melempari Amien dengan botol dan gelas plastik pembungkus air mineral. Untunglah peristiwa itu bisa dikendalikan oleh barisan Teklap.
Sekitar 1 jam, setelah seluruh mahasiswa Forum Kota berada di halaman DPR/MPR , mahasiswa lalu menaikan spanduk berukuran sekitar 6 meter bertuliskan “BUBARKAN DPR/MPR” di jejeran tiang bendera DPR/MPR. Sesaat setelah spanduk itu naik, seluruh pasukan pengaman gedung DPR/MPR yang berjumlah sekitar 2000 personil segera mengokang senjata dan mengarahkan moncong senjata kearah para mahasiswa. Puluhan wartawan dalam dan luar negeri yang sedang meliput aksi tersebut segera berlarian dan berteriak histeris menyelamatkan diri karena menduga bahwa para mahasiswa akan dibantai seperti peristiwa Tiananmen di Cina.
Melihat situasi itu para mahasiswa kemudian segera merapatkan barisan sembari berpegangan tangan dan menyanyikan lagu Padamu Negeri dibawah paksaan dan todongan ratusan senjata akhirnya spanduk itu diturunkan kembali.
Sekitar pukul 18.00 setelah keluarnya pernyataan Harmoko yang meminta Presiden Soeharto untuk turun, para mahasiswa Forum Kota kemudian berangsur-angsur keluar dari gedung DPR/MPR, setelah sebelumnya berkoordinasi dengan beberapa simpul FKSMJ. Forum Kota kembali ke basis untuk melakukan konsolidasi menuju aksi berikutnya yang lebih besar menuju Istana Negara.
Sejak sore itu gedung DPR/MPR telah mulai berangsur-angsur di penuhi oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Esok harinya tanggal 19 Mei 1998 di DPR/MPR sekelompok mahasiswa yang mengaku sebagai kelompok aliansi elemen-elemen gerakan mahasiswa mendeklarasikan berdirinya Kesatuan Aksi Mahasiswa untuk Reformasi (KAMURI) Lahirnya KAMURI sempat membuat situasi antara kelompok mahasiswa menjadi panas, disebabkan KAMURI mengklaim bahwa dirinya representatif mewakili seluruh elemen Mahasiswa Bandung dan Jakarta. Hal tersebut mengundang reaksi keras dari FKSMJ maupun Forum Kota. Bagi Forum Kota, KAMURI tidak memiliki basis massa yang riil dan tidak lebih dari sekumpulan mahasiswa yang bermental calo dan korup yang ingin mencari popularitas dan menjadikan perjuangan mahasiswa sebagai obyek dagangannya. Selain KAMURI, pada hari itu juga lahir sebuah kelompok mahasiswa yang mendeklarasikan dirinya sebagai FRONT NASIONAL Keberadaan Front Nasional berbeda dengan KAMURI. Front Nasional setidaknya memiliki basis massa yang lebih riil dan terorganisir, tidak sekedar melakukan klaim belaka. Berdirinya Front Nasional menjadi salah satu faktor dominan yang membuat Universitas Nasional keluar dari Forum Kota dan menyatakan diri bergabung dengan Front Nasional.
Sejak tanggal 19 Mei 1998 Istana Negara dijaga dengan sangat ketat. Puluhan bahkan mungkin ratusan Truk Tronton dengan Ribuan personil Militer bersenjata lengkap terlihat berada di sekitar ring 1 Istana. Puluhan Panser tampak juga memperkuat barisan penjagaan dan blokade menuju Istana. Situasi itu membuat tidak satupun jalan masuk yang memungkinkan mahasiswa dalam jumlah besar bisa mendekati Istana.
Soeharto No! Habibie No!

Situasi disekitar Istana dan Monas dijaga sangat ketat sehingga seekor semut yang lewat sepertinya bisa terdeteksi. Melihat situasi tersebut, beberapa simpul Forum Kota yang semula bertekad untuk menuju Istana terpaksa harus berhitung berkali-kali, terlebih lagi saat itu ketidak pastian konstelasi politik membuat pemetaan terhadap konflik ditingkat elit dan anatomi kekuasaan sulit untuk dikalkulasikan.
Tidak ada pilihan, Forum Kota kemudian sepakat untuk kembali ke DPR/MPR dengan beberapa pertimbangan antara lain, menjaga stamina rekan-rekan mahasiswa yang telah berhari-hari di DPR/MPR, kedua, menyiapkan diri untuk segala kemungkinan dengan hitungan minimalis adalah Gedung DPR/MPR tetap berada di tangan mahasiswa, Ketika mengantisipasi jika Soeharto turun maka yang menggantikannya kemungkinan adalah Habibie.
Apa yang telah dihitung ternyata menjadi kenyataan. Stamina kawan-kawan mahasiswa yang telah berhari-hari berada di gedung DPR/MPR telah turun drastis, psikologi para simpul mahasiswa juga telah letih karena setiap saat selalu ada isu yang berkembang bahwa DPR/MPR akan diserbu oleh pasukan Kopassus Prabowo dan Pemuda Pancasila yang saat itu diidentifikasi sebagai kelompok loyalis terhadap Soeharto dan menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan dan keluarga Cendana.
20 Mei 1998 Forum Kota kembali ke DPR/MPR dengan estimasi massa sekitar 10.000 mahasiswa. Kembalinya Forum Kota dengan jumlah massa yang besar menjadi support moril bagi mahasiswa lain yang telah berhari-hari di gedung DPR/MPR. Berbeda dengan Forum Kota, mahasiswa dari FKSMJ dan Universitas Indonesia pada tanggal 20 Mei 1998 telah berangsur-angsur keluar dari gedung DPR/MPR dan pulang.
Pada tanggal 21 Mei 1998 pagi hari sekitar pukul 09.00 WIB, Soeharto menyatakan mundur dari kursi kepresidenan, dan pada hari itu juga Habibie dilantik menjadi Presiden. Siang harinya di Gedung DPR/MPR hanya tersisa Forum Kota dan Front Nasional yang tetap menyatakan akan terus menduduki DPR/MPR. FKSMJ dan Universitas Indonesia praktis telah menarik mundur semua mahasiswanya.
Ketika Habibie dilantik, saat itu juga Forum Kota segera menolak pelantikan itu dan menuntut agar segera dibentuk Komite Rakyat Indonesia sebagai pemerintahan transisi yang bertugas untuk segera melaksanakan pemilu ulang yang jujur dan adil.
Penolakan tersebut mengundang reaksi keras dari kelompok pendukung Habibie dan Amien Rais yang dengan puluhan ribu massanya (antara lain dari Jawara Banten, GPI dan HMI) secara bergelombang datang ke DPR/MPR dengan ikat kepala bertuliskan “REFORMASI KONSTITUSIONAL”. Siang itu juga, sesaat setelah sholat Jumat, sempat terjadi sedikit benturan antara pendukung Habibie dengan kelompok mahasiswa yang kemudian membuat suasana gaduh dan sulit terkendali.
Menjelang sore hari, para pendukung Habibie mulai berangsur-angsur pulang, dan ketika selesai Maghrib di seluruh kompleks DPR/MPR hanya tersisa mahasiswa dari Front Nasional dan Forum Kota serta beberapa kampus yang tidak ikut kedua organisasi itu. Namun mereka sepakat untuk tetap bertahan.
Malam hari tanggal 21 Mei 1998, di sekeliling DPR/MPR telah terlihat akumulasi militer dalam jumlah besar dari berbagai kesatuan. Lewat tengah malam jumlah akumulasi militer semakin banyak dan terlihat sedang mengatur strategi penyerbuan ke gedung DPR/MPR. Sementara itu, para mahasiswa yang tetap bertahan di dalam segera melakukan koordinasi dan menyiapkan diri jika tentara menyerbu. Para mahasiswa yang tertidur segera dibangunkan dan bergabung dengan massa mahasiswa yang tetap berjaga-jaga.
Lewat tengah malam, militer menyerbu ke dalam kompleks DPR/MPR dan sembari menodongkan senjata memaksa mahasiswa untuk dikumpulkan. Banyak mahasiswa tetap dengan gigih dan gagah berani menantang aparat militer dan dengan keras menolak untuk dipaksa keluar dari kompleks DPR/MPR. Setelah melewati suasana yang sangat menegangkan akhirnya seluruh mahasiswa dipaksa keluar dari DPR/MPR dan diangkut dengan puluhan bus yang sebelumnya telah disiapkan militer.
Tetap Menolak!

Ada beberapa alasan mendasar yang membuat Forum Kota tetap dengan tegas menolak Habibie. Pertama adalah karena Habibie sendiri sesungguhnya adalah bagian dari rejim orde baru. Kedua, Habibie juga adalah out put dari sebuah mekanisme Pemilu 1997 yang secara hukum, politik dan moral adalah cacat. Ketiga, Habibie tetap tidak memiliki keberanian untuk menangkap dan mengadili Soeharto. Keempat, Habibie juga tidak secara tegas melakukan pengusutan terhadap seluruh perilaku politik dan pelanggaran HAM serta kemanusiaan yang dilakukan oleh rejim orde baru. Kelima, Habibie sendiri juga adalah bagian rejim orde baru yang secara hukum harus diadili atas segala yang dilakukannya semasa orde baru masih berkuasa. Keenam, Habibie tidak secara tegas berniat menghapuskan Dwi Fungsi ABRI.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka mengharapkan Habibie bisa membawa bangsa ini ke arah yang lebih demokratis tentulah akan menjadi harapan yang sia-sia, setidaknya berbagai skandal yang terungkap dikemudian hari (kasus Bank Bali, berbagai skandal money politik dan sebagainya) memperjelas bahwa menolak Habibie bukanlah suatu kesalahan.
Komite Rakyat Indonesia

Banyak orang mengatakan bahwa mahasiswa, khususnya Forum Kota tidak memiliki konsep dan hanya bisa demonstrasi saja. Tanpa bermaksud membela diri, tapi bila secara jujur dicermati maka realitas yang ada justeru sebaliknya. Forum Kotalah yang dengan berani melemparkan konsep-konsep dan gagasan yang berkaitan dengan masalah demokrasi, rakyat dan negara.
Keberanian untuk melemparkan konsep dan gagasan, teruji ketika Forum Kota mengkampanyekan agar segera dibentuk Komite Rakyat Indonesia sebagai pemerintahan transisi. Gagasan tersebut memang mendapat tentangan dari banyak elit politik, khususnya mereka yang mendukung Habibie. Walaupun demikian, sejarah mencatat bahwa berikutnya gagasan ini telah memperkaya wacana demokrasi dan kemudian mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk juga partai-partai politik yang kelak ikut Pemilu 1999, seperti Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Rakyat Demokratik, Partai Uni Demokrasi Indonesia. Selain partai, di tingkat gerakan mahasiswa formal, gagasan pemerintahan transisi juga cukup mendominasi wacana dan memperoleh dukungan, seperti dari Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI) yang terdiri dari PMKRI, GMKI, PMII dan berbagai ormas kemahasiswaan dan pemuda.
Di sisi yang lain banyak juga elemen gerakan mahasiswa yang secara tegas menolak mentah-mentah gagasan pemerintahan transisi yang digagas Forum Kota. Bagi elemen-elemen ini, pemerintahan Habibie adalah pemerintahan transisi dan dengan demikian maka Habibie dianggap mereka telah sah dan konstitusional menjadi presiden.
Dalam konteks Demokrasi, diterima atau ditolaknya suatu gagasan adalah sesuatu yang lumrah. Walaupun demikian sebagai kaum intelektual maka menerima atau menolak suatu gagasan seyogyanya menjadi sebuah kata akhir yang diambil setelah adanya sebuah ruang ilmiah untuk saling membedah masing-masing gagasan. Paling tidak menerima atau menolak tidak semata-mata didasari oleh siapa yang melontarkan gagasan, tetapi muatan-muatan materi dari masing-masing gagasan.
Ketika ruang untuk saling mempertentangkan gagasan itu tidak muncul, tetapi kemudian orang ramai menyatakan tidak setuju maka sesungguhnya mereka itulah yang anti terhadap demokrasi dan mengingkari prinsip-prinsip pengetahuan yang seharusnya selalu siap untuk diuji dan jauh dari muatan subyektivitas.
Secara garis besar, diantara gerakan mahasiswa saat itu terpolarisasi menjadi tiga. Pertama adalah mereka yang menerima Habibie, kedua mereka yang menolak Habibie dan yang ketiga adalah mereka yang tidak mau terjebak dalam pertentangan menerima dan menolak Habibie, sehingga menempatkan diri mereka dalam posisi abstain, netral dan menunggu.
Kaca mata Forum Kota melihat realitas, maka gagasan Pemerintahan Transisi sesungguhnya telah menjadi konsensus Nasional, setidaknya ketika pemerintahan transisi diterima oleh banyak sekali organisasi-organisasi rakyat dari Sabang sampai Merauke.
Tiada Hari Tanpa Aksi

Penolakan Forum Kota terhadap Habibie bukanlah penolakan diatas meja-meja diskusi ataupun di lembaran catatan harian. Forum Kota percaya bahwa dunia bergerak maju bukan hanya karena kata-kata tetapi lebih dikarenakan kerja-kerja nyata. Berikutnya Forum Kota mulai melakukan kampanye penolakan terhadap Habibie dan kampanye pemerintahan transisi ke berbagai kota, berbagai lapisan masyarakat dan keberbagai kampus-kampus di tingkat kota.
Kampanye pemerintahan transisi tidak saja dilakukan melalui sticker, tulisan, melainkan juga melalui aksi-aksi yang terus secara intensif. Salah satunya adalah aksi yang terjadi tanggal 7 September 1998. Saat itu sekitar 2000 mahasiswa Forum Kota bergerak menuju DPR/MPR. Seperti biasa, di depan gerbang DPR/MPR barisan massa segera di blokade oleh militer. Blokade itu tidak membuat kawan-kawan mahasiswa mundur, justeru sebaliknya mahasiswa sepertinya ingin mengadu stamina saling tunggu dengan aparat militer. Sekitar pukul 16.00 WIB setelah gagalnya upaya negosiasi, maka mahasiswa mulai memperkeras tekanan dengan menggoyang-goyang gerbang DPR/MPR. Tanpa diduga, gerbang DPR/MPR yang besar dan terbuat dari baja tebal itu tiba-tiba roboh dengan diiringi bunyi berdebam yang sangat keras. Robohnya gerbang itu sama sekali di luar rencana setting aksi semula. Setelah itu para simpul segera berkumpul dan sepakat untuk tidak pulang dari DPR/MPR sampai dievakuasi. Aksi itu berakhir sekitar pukul 03.00 WIB setelah sebelumnya aparat militer memborbardir mahasiswa dengan lontaran gas air mata. Dari aksi itu dua orang mahasiswa masing-masing dari ISTN dan IISIP terluka akibat tusukan bayonet tentara yang tidak diduga-duga.
Forum Kota Pecah

Berawal dari perbedaan-perbedaan yang sesungguhnya tidak prinsipil dan tidak ideologis, di tubuh Forum Kota mulai nampak adanya keretakan dan ketidakharmonisan. Beberapa simpul justeru kemudian saling melempar intrik dan isu yang menjatuhkan. Pada perkembangan berikutnya konflik yang terjadi di dalam semakin sulit diselesaikan, terlebih lagi ketika beberapa simpul kemudian membangun konspirasi yang diikuti dengan berbagai pertemuan informal yang dilakukan di ITI, Sawangan dan Atmajaya.
Puncak konflik terjadi ketika Forum Kota melakukan pertemuan di Universitas Tarumanegara. Persoalan yang muncul adalah adanya perbedaan penerapan dan pandangan tentang pola dan metode gerakan. Sebagian simpul berpendapat bahwa Solidaritas dan Moral Gerakan ditempatkan pada kawan bukan pada lawan. Contohnya, Ketika ada seorang kawan kita dipukuli aparat maka untuk membebaskannya, jika dibutuhkan, mahasiswa juga berhak untuk memukul si aparat. Jika berangkat dari contoh itu maka seringkali kita di perhadapkan pada pilihan yang dilematis dan kebingungan untuk menempatkan gerakan moral dan moral gerakan. Di satu sisi, jika kita memukul balik aparat maka seolah-olah kita sudah keluar dari koridor gerakan moral, sementara jika kita berdiam diri maka itu artinya kita lebih bermoral pada tentara daripada bermoral pada kawan sendiri. Sederhananya, sebagian simpul menghalalkan kekerasan dalam batasan jika untuk pembelaan diri. Sementara sebagian simpul lainnya tetap menolak untuk melakukan kekerasan dalam situasi apapun. Pendapat pertama percaya pada self defemce mecanism yang pada hakekatnya untuk membela diri dan mempertahankan hidup setiap mahluk dikaruniakan perangkat untuk itu. Sementara pendapat kedua menolak hal tersebut.
Sebagian simpul Forum Kota saat itu meminta agar Forum Kota dibubarkan saja, sementara sebagian lainnya tetap menginginkan agar Forum Kota tetap ada. Mereka yang menginginkan Forum Kota dibubarkan kemudian menyatakan mundur dari Forum Kota. Dan dikemudian hari membentuk beberapa organ yaitu Front Aksi Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi (FAMRED), GEMPUR PANCASILA dan FRONT JAKARTA.

Aksi Rakyat Bersatu 28 Oktober 1998

Tanggal 26 Oktober 1998, Forum Kota mengundang dan menjadi fasilitator pertemuan seluruh elemen gerakan mahasiswa dan non mahasiswa yang tidak sepakat pada Habibie untuk berkumpul di ISTN. Dari pertemuan di ISTN itu lalu lahirlah rencana AKSI bersama yang akan dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 1998 bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda. Isu dan tuntutan yang disepakati adalah BENTUK PEMERINTAHAN TRANSISI, CABUT DWI FUNGSI TNI dan ADILI SOEHARTO. Selain Forum Kota, pada pertemuan itu dihadiri juga FKSMJ, FAMRED, KB-UI, KOMRAD, KM-ITB, GEMA IPB, KAMTRI, serta 4 organ gerakan non mahasiswa termasuk Koalisi Nasional.
Aksi ini disepakati sebagai aliansi taktis dengan sebuah organ komite yang dinamai sebagai AKSI RAKYAT BERSATU dan melibatkan sekitar 18.000 massa, dan tercatat menjadi aksi terbesar pertama setelah turunnya Soeharto.
Aksi ini membuktikan bahwa walaupun kemudian Forum Kota terpecah menjadi 4 organ sementara di luar itu masih banyak organ-organ mahasiswa lain, tetapi sesungguhnya hingga saat itu kekuatan mahasiswa hanya terpolar menjadi dua, yaitu setuju Habibie dan menolak Habibie.
Sebelum dan sesudah AKRAB, Jakarta selalu dipenuhi dengan demonstrasi-demonstrasi yang jika dihitung maka di luar Aksi Buruh dan aksi lainnya yang membawa isu lokal, maka 95% aksi yang terjadi adalah aksi menolak Habibie.
Berikutnya koordinasi aksi di tingkat elemen gerakan mahasiswa dilakukan melalui Forum Komite Mahasiswa Bersatu.
Sidang Istimewa Berdarah

Menjelang Sidang Istimewa, seluruh organ mahasiswa tampak telah siap untuk memobilisasi masing-masing basisnya. Saat itu semua elemen mahasiswa dengan tegas menolak Sidang Istimewa. Mahasiswa tidak percaya bahwa Sidang Istimewa mampu melahirkan rekomendasi yang berarti bagi rakyat.
Pertemuan elemen gerakan mahasiswa dilakukan di kampus Universitas Sahid. Dalam pertemuan itu terdapat beberapa perbedaan antara Forum Kota dengan elemen gerakan mahasiswa lainnya. Perbedaan itu antara lain adalah pilihan pola, flow dan space (tempat) aksi. Forum Kota tetap memilih DPR/MPR dan mengambil flow dinamis terbuka, sementara organ lain memilih Tugu Proklamasi sebagai lokasi aksi dan untuk hari pertama mengambil flow statis terbuka, sementara hari berikutnya dengan flow dinamis terbuka.
Karena tidak tercapai kesepakatan maka kemudian masing-masing mengambil dan menentukan pilahannya sendiri tanpa harus saling mengganggu.
Forum Kota mulai pemanasan pada tanggal 09 November dan bergerak dari kampus UKI Cawang dengan estimasi sekitar 3.000 Mahasiswa. Rute yang diambil adalah melewati Tanjung Priok, Ancol, dan keluar di Pejompongan hingga berhenti di Manggala Wana Bhakti.
Rembuk Nasional Mahasiswa Indonesia

Untuk memperkuat barisan perlawanan di tingkat gerakan mahasiswa, beberapa organ di Komite Mahasiswa Bersatu bersama dengan Forum Koordinasi Masyarakat Bersatu (FKMB) dari bandung dan Posko Perjuangan Rakyat (POSPERA) Bali, membentuk kepanitiaan bersama tiga kota untuk segera melaksanakan Rembuk Nasional Mahasiswa Indonesia (RNMI) yang dilaksanakan di Denpasar.
Rembuk ini didorong oleh kerinduan untuk kembali menyatukan gerakan perlawanan mahasiswa di tingkat nasional. Memang, turunnya Soeharto yang kemudian segera di gantikan oleh Habibie sempat membuat gerakan mahasiswa menjadi gagap dan gamang dalam menyikapi perubahan itu dan langkah selanjutnya. Setidaknya, saat itu gerakan mahasiswa terpolar menjadi tiga, yaitu pertama adalah mereka yang menerima Habibie sebagai Presiden, ke dua adalah mereka yang dengan tegas mengambil keputusan untuk mernolak Habibie dan yang ke tiga adalah mereka yang kembali ke bangku kuliah dan memilih untuk tidak ikut dalam perbedaan pilihan tadi.
Merubah pandangan dari pilihan yang jelas berseberangan, seperti pilihan menolak dan menerima, tentu tidak mudah. Kondisi objektif tersebut kemudian membuat prioritas pengundangan peserta di Forum Rembuk hanyal bagi mereka yang mengambil pilihan dan sikap menolak Habibie. Selain itu syarat pengundangan dan kriteria peserta antara lain adalah, satu, memiliki basis massa yang real. Dua, Progresif dan Radikal.
Untuk mengerjakan acara ini maka koordinasi tiga kota tersebut dilakukan secara intensif dengan pembagian kerja yang seimbang di masing-masing kota, mulai dari struktur kepanitiaan, distribusi proposal dan distribusi undangan. Untuk sosialisasi dan distribusi undang dikerjakan melalui pengiriman delegasi dengan pembagian wilayah, Jakarta mengambil wilayah seluruh Sumatera sampai Aceh, Denpasar mengambil NTT, NTB dan Irian Jaya sedangkan Bandung mengambil seluruh kota-kota di Jawa. Karena keterbatasan dana dan personil maka untuk Sulawesi undangan dikirimkan via pos dan telepon.
REMBUK NASIONAL MAHASISWA INDONESIA pada tanggal 28 sampai dengan 30 Maret berjalan dengan baik dengan dihadiri 54 organ kota mahasiswa dari 17 Propinsi. Berikutnya RNMI juga merekomendasikan pemerintahan transisi sebagai isu bersama sekaligus juga mencabut Dwi Fungsi ABRI dan tidak percaya Pemilu Habibie sebagai kesepakatan-kesepakatan bersama. Khusus mengenai Timor Timor, RNMI merekomendasikan hak kemerdekaan bagi rakyat Timor Timor, sedangkan untuk Irian Jaya dan Aceh RNMI merekomendasikan hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Selain kesepakatan tersebut, disepakati juga untuk setiap kota segera melakukan aksi secara serentak pada tanggal 13 April 1999.
Rembuk ini menjadi salah satu momentum bersejarah bagi gerakan mahasiswa. Berikutnya pasca RNMI II di Surabaya, beberapa organ peserta Rembuk I dan II kemudian membentuk dua organ nasional, yaitu Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi (LMND) dan Forum Mahasiswa Nasional (FMN), sementara itu bagi organ-organ mahasiswa yang tidak berafiliasi dalam salah satu organ nasional itu tetap meneruskan RNMI III di Medan dan RNMI IV di Jambi serta yang ke V di Jakarta.
Ada ciri khas RNMI, yaitu RNMI biasanya tidak saja menyelesaikan persoalan di atas meja, melainkan juga merekomendasikan agenda-agenda aksi serentak di setiap kota peserta rembuk. Setidaknya sampai menjelang RNMI kelima telah dilaksanakan 4 kali agenda aksi serentak.


0 komentar: