Gerakan Mahasiswa dan Hubungan Transkampus

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks


Gerakan Mahasiswa dan Hubungan Transkampus
* Mahasiswa Terpanggil karena Adanya Kesenjangan

Jakarta Rabu, 18 November 1998, Kompas
Gerakan mahasiswa tak hanya dimotori mereka yang berasal dari PT (perguruan tinggi) populer. PT yang hanya memiliki mahasiswa beberapa ratus orang pun ternyata memiliki derap yang sama. Kesamaan persepsi dan misi ini tak lepas dari sikap kritis dan suasana demokratis yang berlangsung di tempat mereka belajar. Para mahasiswa kini juga tak terkotak-kotak berdasarkan PT asalnya. Sejak sekitar awal tahun 1990-an diskusi-diskusi ilmiah di kalangan PT tak terbatas hanya internal saja, tetapi juga antar-PT. Dengan kata lain, telah terjadi hubungan transkampus. Demikian antara lain diungkapkan beberapa pengajar dari berbagai perguruan tinggi di kawasan Jabotabek ketika dihubungi Kompas, Senin (16/11).
Slamet Riyanto, Kepala Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Islam Assyafiiyah (UIA) menyebutkan, sikap kritis mahasiswa antara lain muncul karena semakin jauhnya kesenjangan antara teori yang diajarkan di PT dengan praktek pelaksanaan di lapangan. Hal ini menimbulkan konflik batin pada diri mereka. Nelson Parapat, Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Widuri menambahkan dengan contoh Dwifungsi ABRI. Bahasan tentang masalah Dwifungsi ABRI sebenarnya sudah dilakukan sejak tiga tahun lalu. "Kesimpulan berbagai diskusi yang juga mengundang para ahli atau pengamat politik itu adalah penghapusan dwifungsi," katanya.
Kesimpulan itu, menurut Parapat, juga telah disampaikan kepada pemerintah. Namun ternyata pemerintah tidak mengakomodirnya. Diskusi serupa juga diadakan dengan berbagai topik yang kini mengemuka, seperti otonomi daerah, pembatasan jabatan, dan sebagainya. "Jadi tidak benar kalau dikatakan baru sekarang-sekarang ini mahasiswa mempersoalkan masalah penting negara ini," katanya. Kalau sekarang mahasiswa bersatu dengan misi yang sama, itu merupakan endapan hasil diskusi-diskusi yang membicarakan berbagai soal di negeri ini. Mereka semakin kritis, bukan emosional. "Kondisi sekarang ini sudah berubah. Informasi begitu terbuka dan cepat, ilmu pengetahuan pun berkembang pesat, dan mahasiswa sekarang lebih kritis. Semua soal itu tak bisa hanya dijawab dengan slogan tanpa tindakan nyata," tutur Slamet Riyanto.

Banyak wadah
Kalau baru tahun 1998 ini mahasiswa berdemonstrasi, menurut beberapa pengajar PT, karena keadaanlah yang memicu mahasiswa agar menjadi kekuatan moral. Mereka sudah lama menganalisis keadaan, dan inilah saat untuk mengimplikasikannya. "Mahasiswa tahu kalau dalam politik harus selalu ada kompromi. Akan tetapi kenyataannya kompromi hanya di permukaan, bahkan pemerintah justru membuat peraturan yang makin jauh dari kompromi," ujar Nelson Parapat. Kesadaran akan perlunya gerakan moral mahasiswa lalu menumbuhkan berbagai wadah diskusi dan komunikasi di antara mereka. Beberapa wadah itu antara lain Forkot (Forum Kota), Parmi (Parlemen Mahasiswa Indonesia), Forbes (Forum Bersama), FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta).
Mengenai banyaknya wadah mahasiswa ini, pihak PT menyerahkan keanggotaannya kepada mahasiswa. Alasannya, meski banyak wadah sebenarnya misi mereka sama.
Slamet Riyanto menambahkan, sejak mahasiswa masuk pada tahun pertama, mereka sudah diajarkan berpikir demokratis. Caranya antara lain menghargai perbedaan pendapat, juga mengajarkan teori demonstrasi, risiko dan pengamanan bagi diri sendiri dan kelompok. "Ada suasana demokrasi di sini. Mahasiswa tak sekadar belajar, tetapi juga menjadi alat kontrol bagi universitas. Misalnya, ada pengajar yang kerap tak hadir, mahasiswa bisa melapor dan minta ganti pengajar."
Sedangkan menurut Pj Direktur Akademi Perbankan Universitas Kristen Indonesia (UKI), RP Tambunan, keterlibatan mahasiswanya dalam gerakan moral ini tak lepas dari pengaruh dinamika mahasiswa UKI. "Lokasi kami menjadi satu dengan kampus UKI Cawang. Jadi otomatis seluruh kegiatan mahasiswa UKI juga diikuti mahasiswa kami," ujarnya. Akademi Perbankan UKI yang berdiri tahun 1992 ini memiliki sekitar 500 mahasiswa.
Pihaknya tidak melarang mahasiswa mengikuti berbagai kegiatan, asalkan hal itu tidak sampai mengabaikan kuliah. "Kami membolehkan mereka ikut aksi. Tampaknya mereka sendiri sudah bisa mengatur waktu untuk ikut demo dan kuliah," kata Tambunan.
Sedang STISIP Widuri yang memiliki sekitar 500 mahasiswa menjadi salah satu posko dalam gerakan mahasiswa minggu lalu. Keterlibatan mahasiswa STISIP Widuri, selain karena kedekatan lokasinya dengan gedung DPR/MPR, juga karena aktivitas mahasiswanya selama ini. Sekolah tinggi yang semula bernama Sekolah Tinggi Pekerja Sosial Widuri itu, sejak tahun 1986 berubah menjadi STISIP Widuri dengan dua jurusan; Ilmu Kesejahteraan Sosial, dan Ilmu Komunikasi.
Soal keterlibatan mahasiswa UIA dalam demonstrasi, Slamet Riyanto menyebutkan, alasannya antara lain karena sikap kritis mahasiswa dan adanya solidaritas di antara mereka. "Saya pikir pengalaman ini baik untuk mahasiswa. Mereka bisa mengimplementasikan ilmunya dan belajar dari pengalaman. Mahasiswa tak hanya berdemo, tetapi juga membantu aparat mendinginkan massa," katanya.
UIA dengan jumlah mahasiswa sekitar 3.200 orang, mempunyai enam fakultas (Hukum, Ekonomi, Agama Islam, Teknik, MIPA, Keguruan) dan Akademi Perawat. (tri/cp)






0 komentar: