ideologi jender

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks



Alkisah seorang anak berumur lima tahun baru saja kembali dari pantai mandi bersama teman-temanya. ”Apakah ada anak-anak lain di sana?” tanya ibunya. ”Ya,” jawab si anak. ”Laki-laki atau perempuan,” sambung sang ibu. ”Bagaimana saya tahu, mereka tidak berpakaian,” ujar sang anak polos.

Menarik menyimak makna kisah sederhana ini. Pakaian adalah hasil dan ciptaan budaya. Manusia lahir tanpa budaya. Jika anak dalam kisah di atas tidak dapat membedakan laki-laki dan perempuan karena mereka tidak berpakaian, itu berarti tanpa pakaian laki-laki dan perempuan itu sama; tak boleh dibeda-bedakan, apalagi kalau yang satu dianggap sebagai lebih rendah dari yang lain. Justru ketika mereka berpakaianlah anak itu dapat membedakan. Itu berarti perbedaan tersebut adalah hasil budaya.

Ideologi jender

Konon, kata ”wanita” naik daun akibat proses kramaisasi bahasa Indonesia sejak 1940-an, antara lain karena kata ”perempuan” berbau ”ibu rumah tangga”. Maka, banyak organisasi kaum hawa memakai kata ”wanita”. Tetapi, akhir-akhir ini orang mempromosikan kata ”perempuan” lagi karena ”wanita” berhubungan dengan kata ”betina” (dari bahasa Sanskerta: vatina), yang berarti ”yang diinginkan”.

Apakah bahasa memengaruhi cara orang memandang jenis lain ataukah cara memandanglah yang membentuk cara berbahasa? Sukar ditentukan. Dalam hubungan ini menarik juga, bentuk pasif beberapa kata bila berkonotasi erotis dikhususkan kepada wanita, sedangkan bentuk aktif lebih-lebih dikhususkan kepada pria. Seberapa jauh terapan pola ”atas-bawah” pada hubungan pria dan wanita merupakan rekayasa kultural atau jawaban atas kenyataan kodrati, sulit dipastikan. Tetapi, hubungan tersebut secara langsung tak langsung pun berpengaruh pada tindakan ketidakadilan terhadap perempuan. Kesadaran akan perlakuan tidak adil ini melahirkan gerakan penyetaraan hak dan perlakuan yang adil yang lazim disebut jender.

Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan jender sebagai sistem peran dan hubungan antara pria dan wanita, yang tidak ditentukan data biologis, melainkan lingkungan sosial, politis, dan ekonomis. Jenis kelamin hanya kategori biologis.

Saling membutuhkan

Kita mengenal cara melihat perbedaan perempuan dan laki- laki, yakni berdasarkan fungsi biologis-seksual. Berbicara tentang fungsi biologis-seksual, jelas perempuan tidak sama dengan laki-laki dan itu sudah ditetapkan sang Pencipta sejak semula. Perempuan mempunyai vagina, sel telur, payudara yang kesemuanya menjadi keistimewaan mereka.

Sebaliknya, laki-laki mempunyai testis, penis, dan sperma yang kesemuanya tidak dimiliki perempuan. Itu berarti tanpa campur tangan laki-laki, perempuan tak mungkin mengandung. Dalam hal ini perbedaan fungsi biologis-seksual tak bisa dipungkiri sebagai pemberian abadi. Di sini perbedaan bukanlah suatu faktor perendahan yang satu terhadap yang lain, melainkan justru ketergantungan untuk saling melengkapi satu sama lain. Keduanya saling membutuhkan secara ekuivalen.

Akan tetapi, hendaknya tidak dilupakan bahwa manusia itu adalah juga makhluk individual dan sosial. Seseorang dibentuk bukan hanya oleh setting keseluruhan pemikiran dan tata tingkah laku kolektif secara sosial. Ia juga membentuk dirinya sendiri, memilih, menentukan pemikiran, dan tata tingkah lakunya. Hal ini hendak mengatakan bahwa bila ada perlakuan tidak adil terhadap perempuan di masyarakat, belum tentu seluruhnya karena kesalahan seluruh tata kebudayaan, melainkan karena boleh jadi orang per orang yang dari dirinya memang memiliki tingkah laku yang menjurus pada kekerasan.

Di sini kembali kita temukan paradoksalitas manusia berbudaya itu. Seorang dibentuk oleh budaya dan serentak dengan itu membentuk dan membangun budaya itu sendiri. Ide positif dari gerakan jender adalah ajakan untuk menerima perbedaan sebagai kekayaan untuk saling melengkapi. Maka, dalam konteks inilah kita dapat memaknai ideologi jender sebagai bentuk perjuangan bersama untuk semakin menghargai keluhuran martabat manusia.

0 komentar: