wajah pendidikan indonesia

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks



Penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun merupakan tantangan masalah pendidikan yang belum terselesaikan hingga kini.

Sejak dicanangkan pada 1994, target program tersebut hingga kini terus meleset. Semula ditargetkan selesai pada tahun ajaran 2003/2004.Namun, kenyataannya, program tersebut belum tuntas hingga kini. Padahal program ini memiliki payung hukum,yaitu UUD 1945 Pasal 31 ayat 2, UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 6 ayat 1,Perpres No 7 Tahun 2005 tentang RPJMN Tahun 2004–2009, Inpres No 1 Tahun 1994 tentang Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun,dan Inpres No 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.

Bahkan pada 2006, pemerintah kembali menyusun grand desain Penuntasan wajib belajar pendidikan dasar. Ditargetkan pada tahun ajaran 2008/ 2009, program tersebut akan selesai dengan tuntas. Selanjutnya jika berhasil akan dimantapkan pada tahun ajaran 2009/2010. Praktis, waktu tinggal hanya 16 bulan saja guna menuntaskan program nasional tersebut.

Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs/SMPLB/Paket B telah mencapai 92,52% untuk tahun ajaran 2007/2008. Dengan laju peningkatan APK SMP/MTs/SMPLB/Paket B tahunan sebesar 3-4%, maka pemerintah optimistis program tersebut akan tuntas pada tahun ajaran 2008/2009, yakni APK nasional 95% akan tercapai.

Namun, keinginan yang kuat dari pemerintah untuk menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar perlu diikuti dengan pemahaman dan kesiapsiagaan para pemangku kepentingan. Strategi yang dirancang harus lebih kreatif yang sinergis dengan pembangunan infrastrukturnya, serta tidak terpaku pada pola-pola lama.

Berdasarkan pertumbuhan APK selama ini untuk SMP/MTs/ SMPLB/ Paket B, yaitu 3–4% per tahun, berdasarkan data (Rapat Kerja Komisi X DPR RI dengan Depdiknas, 18 Februari 2008) ternyata sudah dapat dipastikan 11 provinsi tidak akan tuntas dalam program penuntasan wajib belajar pendidikan dasar. Hal ini dikarenakan APK untuk tahun ajaran 2008/ 2009 dari 11 provinsi adalah kurang dari 95% (ukuran tuntas Depdiknas).

Demikian pula yang terjadi di kabupaten/kota, yaitu sudah dipastikan ada 149 kabupaten/kota yang tidak akan tuntas pada program wajib belajar pendidikan dasar.Karena itu seharusnya hal ini menjadi perhatian Depdiknas, yaitu tidak sekadar mengukur tingkat keberhasilan secara angka nasional, akan tetapi juga melihat jumlah Provinsi,Kabupaten/Kota yang sudah pasti tidak masuk kategori angka APK 95%.

Apakah hal ini pernah menjadi renungan Depdiknas sebagai penjuru di bidang pendidikan,bahwa 11 provinsi dan 149 kabupaten/kota adalah masih bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia? Program tuntas wajib belajar pendidikan dasar memang bukan program yang gampang karena cakupan sebaran jumlah sasaran yang tersebar di 17.508 pulau merupakan masalah yang sangat pelik.

Belum lagi persoalan disparitas antarpulau dan penduduk yang sangat besar. Untuk diketahui, disparitas APK SMP/MTs/ SMPLB/Paket B antara kabupaten dan kota saat ini masih sebesar 23,44%. Disparitas yang cukup besar ini mengindikasikan pentingnya prioritas pembangunan infrastruktur secara umum di kabupaten/di kota, agar pelayanan pendidikan di kawasan perdesaan menjadi lebih mudah dijangkau.

Program wajib belajar pendidikan dasar tidak harus semata-mata diatasi dengan menyediakan sekolah, ruang kelas, dan membangun sekolah baru. Sebab hal itu belum tentu efisien bagi daerah-daerah yang infrastrukturnya masih sangat terbatas. Justru yang terjadi adalah pembangunan sekolah akan sangat mahal.

Atau kalaupun sekolah sudah ada, belum tentu diisi dengan situasi yang kondusif. Hal ini dengan mudah kita temukan di banyak tempat di Indonesia. Misal di daerah Papua atau di Pulau Jawa pun seperti di daerah pesisir pantai selatan Pulau Jawa. Ada sekolah tetapi jarak tempuhnya sangat jauh sehingga sekolah jadi kosong.

Karena itu, perlu dipertanyakan kepada Depdiknas,apakah harus berbasis sekolah dalam penuntasan wajib belajar pendidikan dasar? Fakta memang mengatakan, masyarakat kita sangat memuja sekolah. Keberhasilan lebih sering diukur dari beberapa banyak sekolah, bukan dari pembelajaran yang berlangsung sehingga berkembang keyakinan seolaholah pendidikan itu hanya identik dengan persekolahan.

Padahal pendidikan bukan hanya melalui jalur sekolah saja.Karena pendidikan merupakan usaha sadar yang terencana dan teratur secara ber-kesinambungan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian bisa terjadi di sekolah maupun di luar sekolah.

Namun kenyataannya, pemahaman ini belum menggumpal terhadap bagaimana caranya kita dapat memanfaatkan pendidikan luar sekolah untuk menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar sehingga pembangunan pendidikan lebih banyak diarahkan pada pembangunan persekolahan. Adanya sekolah baru, adanya ruang kelas baru, sekolah satu atap dan berbagai menu yang belum dapat diketahui apakah APK naik tersebut disebabkan oleh banyak sekolah atau karena kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya.

Saat ini alokasi dana melalui APBN dalam perbandingan unit cost pendidikan formal dan nonformal untuk penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sangat timpang. Padahal jalur pendidikan nonformal dalam penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sesungguhnya perannya cukup besar. Dengan penyelenggaraan pendidikan nonformal yang lebih fleksibel akan lebih sesuai dengan kondisi potensi dan kebutuhan masyarakat. Bisa dibayangkan, bagaimana mengharuskan anak-anak dari pagi hingga siang hari terus di sekolah.

Sementara ekonomi rumah tangga masih juga bertumpu pada bantuan tenaga anak-anak untuk membantu pekerjaan orangtua. Fenomena ini banyak terjadi pada masyarakat di daerah perkebunan, pesisir, bahkan perkotaan. Makanya orang tua menjadi sangat rendah dukungannya karena akan justru membebani ekonomi rumah tangganya. Untuk ini perlu perpaduan yang imbang antara formal dan nonformal.

Sebab bisa-bisa jalur nonformal justru lebih mengena sasaran karena sesuai dengan karakteristik masyarakat. Penuntasan wajib belajar pendidikan dasar untuk daerah tertinggal seperti pulau terpencil, daerah perbatasan, daerah rawan bencana, dan daerah marginal, pendidikan kesetaraan dapat dijadikan sebagai program andalan.

Sebab lebih sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat. Paket A setara SD/MI dan Paket B setara SMP/MTs akan lebih fleksibel bagi masyarakat, selain luwes dan murah tentu. Hal itu jelasakan sangat mudah diterima bagi masyarakat. Alangkah bahagianya para orangtua warga belajar apabila semua anak dapat tertampung penyelenggara pendidikan kesetaraanyangada.

Dengan penyelenggaraan yang dapat seadanya, bisa dibalai desa, rumah penduduk, bahkan di bawah pohon pun, tentu akan sangat efisien, baik bagi masyarakat maupun pemerintah sendiri. Tapi perlu ada biaya bangunan sekolah dan infrastrukturnya. Cukup bantuan penyelenggaraannya, maka sudah selesai permasalahannya.

Sasaran pendidikan kesetaraan pada kelompok usia 15-44 tahun yang belum tamat SD/MI, SMP/MTs, atau lulus SD/MI tapi tidak melanjutkan ternyata cukup besar. Data BPS (2004) menunjukkan bahwa kelompok usia 13–15 tahun (tiga tahun di atas usia SD/MI) terdapat 583.487 orang putus sekolah SD/MI dan 1,6 juta lebih yang tidak sekolah SD/MI. Kemudian pada kelompok usia 16-18 tahun terdapat 871.875 orang putus sekolah SMP/ MTs dan 2,3 lebih juta lebih yang lulus SD/MI tetapi tidak melanjutkan ke SMP/MTs.

Karena itu, sasaran wajib belajar pendidikan dasar melalui pendidikan nonformal yang difokuskan pada kelompok usia tiga tahun di atas usia sekolah ini, mencapai 2.509.989 orang, hal ini juga secara signifikan membantu penuntasan buta aksara. Pilihan pada program pendidikan kesetaraan merupakan satu alternatif guna mempercepat penuntasan wajib belajar pendidikan dasar.

Jalur ini dapat dipilih untuk mengatasi masalah angka putus sekolah (drop out) yang masih tinggi. Angka DO tahun ajaran2006/ 2007untuk SD/MI 2,77% dan untuk SMP/ MTs 2,15%. Akankah wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun tuntas pada tahun ajaran 2008/2009 berdasarkan jumlah provinsi dan kabupaten/kota?

0 komentar: