Indonesia dalam cerita

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks


Ambisi besar untuk meraup devisa dari sektor perkebunan sawit ini sayangnya tidak didukung oleh kemampuan penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota (RTRWK). Produk RTRWP dan RTRWK yang ada justru mempercepat alih fungsi hutan di banyak wilayah di Tanah Air.

Evaluasi Greenomics Indonesia periode tahun 2003- 2007 terhadap proses penyusunan RTRWP dan RTRWK di Pulau Sumatera dan Kalimantan memperlihatkan, produk itu secara teknis tidak sahih dan di bawah standar.

Rendahnya kualitas RTRWP dan RTRWK ini menyebabkan kasus tumpang-tindih perizinan di lapangan, konflik status dan fungsi kawasan hutan dan pengaplingan areal hutan lindung untuk perizinan perkebunan, budidaya pertanian lainnya, juga kegiatan eksplorasi lain.

”Pengalihfungsian hutan untuk perkebunan sawit dilakukan serampangan, seperti tak ada hukum,” ujar Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Elfian Effendi. ”Semua itu membuat pembangunan tak sesuai dengan daya dukung lingkungan.”

Kelemahan RTRWP dan RTRWK itu juga berdampak pada penatagunaan lahan. ”Kalau di dalam areal yang 10.000 hektar itu ternyata hutan sekaligus kebun, bagaimana?” tanya Bayu Krisnamurti, Deputi Bidang Kelautan dan Pertanian Departemen Keuangan.

Masalah lain adalah hukum positif di Indonesia yang memberi hak penguasaan cukup leluasa terhadap individu, tetapi tidak memberi perlindungan memadai bagi penguasaan komunal. ”Sertifikasi bukan jawaban karena kalau liquid malah bisa dijual. Niat melindungi hak komunal tidak tercapai,” ujarnya.

Konflik kepemilikan

Konflik antara masyarakat dan pengusaha terkait penggunaan lahan tak bisa dihindari di Wahau. ”Seharusnya kebijakan pemerintah lebih berpihak pada perkebunan sawit rakyat,” sambung Simon David, koordinator aksi pendudukan perkebunan sawit milik kelompok Sinar Mas di wilayah itu selama sembilan hari delapan malam, bulan Januari lalu.

Ia termasuk kelompok yang menuntut perkebunan sawit swadaya, bukan kebun plasma. Bagi dia, pola seperti itu lebih menguntungkan pengusaha.

Menurut Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Kutai Timur Akhmadi Baharuddin, inti pengembangan pola plasma yang diatur dalam dua peraturan Menteri Pertanian tahun 2006 dan 2007 adalah kemitraan antara rakyat dan perusahaan.

Perusahaan ikut membangun dan mengelola kebun rakyat selama satu siklus, yakni 25-30 tahun, sehingga produktivitas kebun tinggi. ”Awalnya pembangunan itu ditanggung oleh pemerintah lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional dan Daerah. Tetapi begitu sudah dibangunkan, rakyat menelantarkan kebun karena minimnya pengetahuan dan modal untuk perawatan lebih lanjut,” ujarnya.

Pandangan itu berbeda dengan warga. ”Tanah kami dipakai, sementara kalau ikut plasma kami harus utang bank,” ujarnya. Selain itu, ”Kalau ikut plasma hasilnya cuma Rp 750.000 per hektar setelah dipotong angsuran bank. Kalau kebun swadaya bisa antara Rp 1,5 juta sampai Rp 2,5 juta bersih,” ujar Simon.

Namun, angka itu tak bisa diandaikan. Bayu Krisnamurti mengingatkan, perkebunan sawit selalu bergantung pada pabrik, juga sebaliknya. ”Tandan buah sawit yang sudah dipetik hanya tahan 48 jam, kalau tidak diolah akan busuk,” ujarnya.

Sementara, pabrik pengolah CPO kecil hanya dimungkinkan kalau didukung oleh paling sedikit 10.000 hektar kebun sawit. ”Kalau tiap petani lima hektar kebun, harus ada 2.000 petani sawit. Menghimpunnya tidak mudah. Karena itu harus dicari solusi kelembagaannya,” ujar- nya. Namun, Bayu mendukung kekuatan tawar yang seimbang antara petani dan pengusaha, dan ini pun harus terus dicari polanya.

Saling silang

Setelah aksi itu, Simon David dan kawan-kawan menerima Rp 1,5 miliar dari perusahaan. ”Itu subsidi untuk meringankan kredit pembangunan kebun plasma kelapa sawit,” ujar Fitriyadi, Kepala Departemen Perizinan Regional Kalimantan Timur Sinar Mas Group.

Berdasarkan kajian tahun 2007, dibutuhkan biaya Rp 26 juta untuk membangun satu hektar kebun kelapa sawit. Pihak perusahaan menanggung biaya land clearing Rp 1,5 juta per hektar. Bantuan bibit Rp 1,5 juta. Sisanya yang Rp 23 juta adalah utang yang ditanggung petani dari pinjaman bank yang ditunjuk. Kenyataannya, warga inginnya uang subsidi itu dibagi-bagi tunai sehingga tujuan meringankan beban kredit untuk program revitalisasi perkebunan tak tercapai.

Simon David menolak alasan itu. Menurut dia, dana Rp 1,5 miliar itu adalah denda adat dari masyarakat dan koperasi karena perusahaan telah menyerobot lahan yang telah turun-temurun dipakai untuk berladang.

Uang itu kemudian dibagi-bagikan kepada warga desa sebesar Rp 1 miliar. Besarnya bervariasi, Rp 500.000 sampai Rp 1,5 juta. Yang Rp 300 juta untuk kas koperasi dan Rp 200 juta untuk lembaga adat, pengelola sarana ibadah, pengurus desa dan tokoh desa yang membantu aksi pendudukan.

Menurut Simon, perusahaan menjalin kemitraan dengan warga melalui Koperasi Sawit Prima Jaya. Sejumlah kesepakatan, misalnya, 20 persen dari hasil panen perusahaan selama lima tahun berproduksi harus diberikan kepada warga dalam bentuk uang tunai.

Perusahaan juga bersedia memberi proyek pengerjaan perkebunan kepada koperasi. Untuk warga Desa Nehes Liah Bing, perusahaan menjanjikan akan membangun kebun plasma sebesar 964 hektar, tetapi hingga kini lokasi pembangunannya ditentukan tanpa persetujuan warga.

”Perusahaan sudah membangun 292 hektar, tetapi kami tidak menerimanya karena lokasinya di desa lain, jauh dari permukiman kami. Kami merasa tertipu,” ujarnya.

0 komentar: