Indonesia dalam cerita

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks


Salah satu badan dunia yang bernaung di bawah organisasi PBB, United Nations Development Programme (UNDP), baru-baru ini menjalankan "ritual" tahunan dengan mengumumkan negara-negara menurut peringkat Human Development Index (HDI)-nya. Dalam laporannya yang berjudul Human Development Report 2003 dengan indeks 0,682 Indonesia ditempatkan di peringkat 112 dari 175 negara. Sementara negara-negara jiran seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina ada di peringkat yang lebih tinggi.

Malaysia misalnya, negara jiran yang dulu pernah bersekolah di Indonesia itu kini menempati peringkat 58, jauh di atas Indonesia yang dulu pernah menjadi gurunya. Thailand yang enam tahun lalu sama-sama dibantai oleh krisis ekonomi berada di peringkat 74; sementara Filipina di peringkat 85.

Laporan UNDP yang sebenarnya "biasa-biasa" saja itu tidak urung menimbulkan reaksi dari masyarakat, khususnya datang dari kaum intelektual dan birokrasi pemerintahan. Bentuk reaksinya pun beraneka ragam, ada yang bisa menerima secara apa adanya, ada yang cenderung tidak percaya, ada yang terkesan mempertahankan diri, tetapi ada pula yang langsung menyerah kalah.

Laporan UNDP seperti itu sesungguhnya bukan barang baru karena sudah dikerjakan selama belasan tahun. Setiap tahun dipublikasi ke berbagai negara, khususnya negara-negara yang menjadi objek studinya. Sebagai penyedap laporan ditaruhlah bumbu-bumbu yang ditulis menurut persepsi tim studinya meskipun tidak seluruh data yang mendukung adalah data yang lengkap serta aktual. Ada juga data yang masih harus diklarifikasi validitasnya.

Mutu Manusia
Pada dasarnya HDI merupakan satuan yang dikembangkan oleh UNDP untuk mengukur keberhasilan pembangunan pada suatu negara. HDI merupakan suatu angka yang diolah berdasarkan tiga dimensi sekaligus; masing-masing adalah panjang usia (longevity), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup (standard of living) suatu bangsa. Secara teknis ketiga dimensi ini dijabarkan menjadi beberapa indikator, yaitu kesehatan dan kependudukan, pendidikan serta ekonomi.

Indikator kesehatan menyangkut angka kematian bayi (infant mortality rate), angka kematian balita (under-five mortality rate), dsb. Indikator kependudukan menyangkut usia harapan hidup (life expectancy), penduduk yang tak mempunyai harapan hidup sampai usia 60 tahun (people not expected to survive to age 60), dsb. Indikator pendidikan menyangkut angka melek huruf (literacy rate), anak yang berpendidikan sampai kelas lima sekolah dasar (children reaching grade 5), angka partisipasi pendidikan (enrollment ratio), dsb. Sedangkan indikator ekonomi antara lain menyangkut indeks kemiskinan (poverty index).

Demi melihat konstruksi HDI yang terjabarkan dalam indikator-indikator tersebut jelaslah HDI merupakan ukuran keberhasilan (atau kegagalan) pembangunan kesehatan dan kependudukan, pendidikan, serta ekonomi pada suatu bangsa. Implikasinya HDI yang tinggi menunjukkan keberhasilan pembangunan kesehatan, kependudukan, pendidikan dan ekonomi di suatu negara; sebaliknya HDI yang rendah menunjukkan pembangunan kesehatan, kependudukan, pendidikan dan ekonomi di suatu negara.

Selanjutnya penafsiran HDI sebagai indikator mutu manusia kiranya tidak terlalu salah sepanjang satuannya adalah bangsa atau manusia di negara tertentu, dan konteksnya terbatas pada kesehatan, kependudukan, pendidikan dan ekonomi. HDI bukanlah ukuran mutu manusia dalam satuan individu atau orang per orang.

Apakah publikasi UNDP yang mendudukkan Indonesia di peringkat 112 dari 175 negara untuk tahun 2003 menunjukkan bahwa mutu manusia Indonesia rendah? Untuk menjawab masalah ini perlu kita pelajari sistem publikasi UNDP itu sendiri. Dalam mempublikasi laporan tahunannya, UNDP mengklasifikasi negara-negara di dalam kelompok tinggi (high human development) dengan indeks di atas 0,800; kelompok menengah (medium human development) dengan indeks 0,501 sampai dengan 0,800; serta kelompok rendah (low human development) dengan indeks di bawah 0,500.

Khusus di dalam laporannya tahun 2003 ini Indonesia dengan indeks 0,682 dimasukkan di dalam kelompok menengah, yaitu pada peringkat 112 dari 175 negara. Di kelompok menengah ini terdapat banyak negara tetangga kita seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Di luar itu ada Meksiko, Brasilia, Rusia, dan Cina. Di kelompok tinggi ada nama-nama Singapura, Norwegia, Eslandia, Australia, Jepang, Amerika Serikat (AS); sedangkan di kelompok rendah terdapat nama-nama Nepal, Bangladesh, Togo, Nigeria, Mauritania, Angola, dan Burundi.

Melihat data tersebut sesungguhnya, prestasi Indonesia tidaklah terlalu buruk, setidak-tidaknya lebih baik dari negara-negara yang berada di kelompok rendah. Mutu manusia Indonesia sedang-sedang saja. Mutu manusia Indonesia lebih baik dibanding Nepal, Bangladesh, Togo, Mauritania, Nigeria, dan Angola; tetapi lebih buruk dibanding Singapura, Norwegia, Eslandia, Australia, Jepang, dan AS.

Yang membuat kita kebakaran jenggot adalah, mengapa mutu manusia Indonesia lebih rendah atau lebih buruk daripada Vietnam (109), Filipina (85), Thailand (74), Malaysia (58), dsb? Mengapa mutu manusia Indonesia berada jauh di bawah Brunei Darussalam (31), Singapura (28), dan Australia (11) yang ketiganya berada di kelompok tinggi? Mengapa mutu manusia Indonesia lebih rendah daripada kelompok manusia di sekitarnya?

Tiga Kata Kunci
Meskipun kita tidak perlu meyakini secara membabi buta atas publikasi UNDP dalam pemeringkatan HDI, kiranya ada baiknya kita menarik pelajaran dari publikasi tersebut.

Lebih buruknya mutu manusia Indonesia dibanding Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura dan Australia harus kita akui untuk kemudian dapat kita jadikan alat pemicu dan pemacu untuk memperbaiki diri.

Ada tiga kata kunci untuk meningkatkan mutu kita; masing-masing adalah visi, komitmen, dan disiplin. Dalam hal misi kita bisa belajar dari Malaysia misalnya. Negeri Jiran yang satu ini semenjak pertengahan tahun '90-an sudah membuat visi yang dikenal dengan Malaysia 2020.

Pada pertengahan tahun '90-an pemerintah Malaysia sudah memiliki gambaran masyarakat Malaysia seperempat abad ke depan sehingga program-program pembangunan di negara tetangga itu difokuskan pada pencapaian visi. Siapapun yang berkuasa dan memimpin negeri akan selalu berpegang pada visi yang telah menjadi kesepakatan bangsa. Dengan demikian segala upaya di- sinergikan untuk mencapai visi.

Dalam hal komitmen kita bisa belajar dari Thailand misalnya. Ketika Thailand dan Indonesia sama-sama dibantai krisis pertengahan 1997 ternyata kedua negara benar-benar porak-poranda. Bangsa Thailand ternyata mempunyai komitmen yang kuat untuk mengakhiri krisis. Komitmen ini diimplementasi ke tingkat operasional.

Pernah dalam periode tertentu kegiatan seminar, lokakarya, pertemuan, dan sebagainya, yang biasa dijalankan dengan berlebihan lalu dilaksanakan secara sederhana; jauh dari hotel mewah, jauh dari cost yang tinggi, dan sebagainya. Alhasil negeri ini berhasil keluar dari kemelut krisis, sementara itu negara kita masih bergulat dengan krisis yang belum berakhir.

Dalam hal disiplin kita dapat belajar dari Singapura. Negara yang mungil ini bisa menjadi maju dan menjadi pusat perhatian dunia karena kedisiplinan di berbagai bidang dijunjung tinggi.

Apakah kita telah memiliki visi, komitmen dan disiplin untuk lebih memajukan manusia Indonesia?

Apakah kita berani mengambil pelajaran dari publikasi UNDP tersebut untuk belajar dari negara-negara lain yang lebih maju, khususnya negara tetangga kita? Itu semua sangat tergantung kepada komitmen kita bersama.

Ki Supriyoko (Dosen Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa Yogyakarta; Vice President of Pan-Pasific Association of Private Education yang bermarkas di Tokyo, Jepang)

0 komentar: