Kampus: The Last Frontier.

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks


Kampus: The Last Frontier.


Kampus beserta isinya adalah oportunis sejati dalam konflik bangsa. Sekaligus kampus telah mencetak penjahat-penjahat kelas kakap yang telah membuat bangsa ini terpuruk dalam kekalahan. Tudingan ini lahir dari diskusi panjang mengenai kampus dalam masyarakatnya.
Menjadi tidak dapat dipungkiri ketika kita menarik garis mundur dari konflik yang ada di Indonesia. Bagaimana ‘orang pintar’ yang notabene dilahirkan oleh dunia kampus telah menjadi agen kapitalis, kaki tangan penindas serta penjahat ekonomi.
Analogi sederhana yang bisa kita lihat ketika menoleh pada dunia kedokteran, rumah sakit umum misalnya; kita secara gamblang dapat melihat kebobrokan mental dari paramedis yang ada disana. Bagaimana diskriminasi latar belakang sosial ekonomi pasien masih terjadi. Anda jangan berharap mendapat pelayanan yang baik, jika anda miskin. Begitu banyak pula kasus malpraktik yang tak tersentuh tangan hukum. Analogi yang lain ketika kita mengamati fasilitas umum yang diarsiteki orang tekhnik, dibangun oleh orang tekhnik juga. Jalan tol mungkin, atau jembatan, begitu mudah ambruk, rusak sebelum waktunya, karena bahan yang digunakan tidak sesuai prosedur dalam kuantitas maupun kualitasnya. Mereka bukan orang bodoh, namun karena pertimbangan ekonomis, memilih format yang tidak semestinya.
Dari kedua analogi diatas kita melihat bahwa ternyata sebagian besar manusia yang dilahirkan oleh kampus melakukan pengingkaran terhadap disiplin dan etika ilmu yang telah dipelajari. Pada dasarnya kampus tidak pernah mengajarkan pada mahasiswa kedokteran untuk melakukan manipulasi dan menjalankan bisnis obat pada pasien. Ataupun mahasiswa teknik pasti diajarkan mengenai campuran semen dan pasir serta kapur yang tepat; bukan bagaimana mencuri bahan dari masterplan yang sudah ditentukan dari sebuah bangunan.
Hal ini berarti kita bicara bahwa metoda pendidikan kampus haruslah lebih humanis menuju pembebasan. Tidak lagi kita melakukan pendekatan militeristik dengan adanya sanksi akademis kepada mahasiswa yang mencoba berpikir kritis dan melakukan koreksi pada sistem yang berlaku di masyarakatnnya. Dengan demikian sarjana yang kelak dilahirkan adalah manusia yang tidak mengingkari etika dan disiplin ilmunya demi apapun.
Contoh yang lebih parah kenapa kita berhak mengatakan bahwa kampus adalah lembaga oportunis nomor dua setelah militer adalah ketika kita menyaksikan bagaimana kampus dalam hal ini pemegang kebijakan di kampus tersebut telah menggadaikan kehormatan. Ambil contoh bagaimana dosen-dosen tekhnik Udayana telah menandatangani AMDAL beberapa megaproyek yang ternyata merusak lingkungan dan tatanan sosial masyarakat di daerah tersebut. Ataupun bagaimana penentu kebijakan Fak. Ekonomi memutuskan untuk bekerjasama dengan pihak pengusaha yang kedepannya nanti akan menciptakan kampus sebagai perseroan. Bagaimanapun, menurut undang-undang, lembaga pendidikan terutama negeri; termasuk kampus didalamnya adalah lembaga nirlaba. Adalah sebuah kekurang ajaran ketika ada pihak; siapapun dan sekuat apapun dia ketika merubah format lembaga pendidikan menjadi profit oriented.
Kita juga kadang malu-malu kucing mengakui kenyataan secara definitif. (koreksi untuk mahasiswa sastra dan sarjana serta dekanat). Sebagai contoh kita mengatakan ungkapan masyarakat prasejahtera bukan miskin hingga kesan yang ditimbulkan seolah-olah dalam dua bulan menjadi sejahtera. Atau ungkapan aparat “mengamankan”, jika realitasnya mereka menggebuki katakanlah apa adanya.
Lantas bagaimana jika muncul pertanyaan yang lebih tepat dikatakan sebagai sebuah tuntutan pada dunia kampus; yang dianggap menjadi motor gerak; dari kebuntuan yang dialami oleh bangsa? Ataupun tuntutan kepeloporan terhadap gerakan pemuda untuk merebut kedaulatan rakyat. Dimana ketika gerakan rakyat berjalan, yang ada bukan sekedar dialektika, wacana pragmatis dan sebagainya namun lebih kepada materialisasi ideologi hingga akhirnya terungkap mana leher mana pedang.

Siapkah kampus?
Carilah tahu tentang revolusi Perancis, kampus menjadi basis perlawanan!!!
Secara gamblang, ada banyak hal yang harus dirombak dalam sistem pendidikan kita. Jadikanlah sekolah dan kampus sebagai lembaga pembebasan dan pencerahan, bukan penjara dimana angkara murka menjadi tuan.
Harus ada yang disebut sebagai student control, dimana mahasiswa ikut mengawasi jalannya proses pendidikan. Ini syarat mutlak yang tak dapat ditawar. Adakah alternatif lain? Tidak! Mudahkah? Tentu tidak, rebutlah!!!!!!
Akhirnya kepada seluruh kawan mahasiswa, seruan ini disampaikan! Carilah jati diri mahasiswa, jangan berhenti berpikir, belajar, bersuara dan melawan terhadap penindasan. Karena akan ada norma yang tak tertulis dan tak terucap dimana individu mahasiswa apathis, hedonist, apolitis, opportunist, racist dan facist akan tergilas!!!!

Welcome to the real war….still alive….still survive….




“ Kemboja Tanah Bali”

Seta Penyaringan





0 komentar: