Gerakan Mahasiswa 2001: Antara Moral dan Politik

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks





KETIKA kepada para aktivis mahasiswa disodorkan pertanyaan, "Aksi mahasiswa pasca Soeharto, gerakan moral atau politik?" maka jawabannya sungguh tidak semuanya sama. Seperti jawaban Andi Rahmat, Ketua Umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), misalnya. "Ketika mahasiswa turun ke jalan, sebenarnya gerakan mahasiswa sudah menjadi gerakan politik," katanya. Itu karena, ketika mahasiswa bergerak, mahasiswa harus masuk dalam pertarungan sistem untuk melawan penindasan dan kekuasaan yang tidak demokratis seperti dikemukakan Simon, Sekjen Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND).
Hampir seluruh peserta diskusi panel Kompas Jumat 2 Maret lalu, mengakui tipisnya perbedaan antara gerakan moral dan gerakan politik. "Terlalu tipis membedakan antara gerakan moral dan gerakan politik dalam aksi mahasiswa," tegas Burhanuddin, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Bagi Yusuf Hidayat, aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Majelis Penyelamat Organisasi (MPO), yang menjadi tekanan aksi mahasiswa sebagai gerakan moral adalah nilai. "Nilai menjadi ukuran penting bagi gerakan mahasiswa," tuturnya. "Memang gerakan mahasiswa berangkat dari ide dasar sebagai gerakan moral, tetapi toh akhirnya gerakan moral ini berdampak politis. Itu sebabnya aksi mahasiswa dalam gerakan moral menjadi gerakan politik," lanjut Sigit Adi Prasetyo, Ketua BEM Institut Teknologi Bandung (ITB). Atau seperti dikatakan Andre Rosiade, Presiden Mahasiswa Trisakti, "Gerakan moral apa pun, pasti punya implikasi politik".
Pandangan serupa dikemukakan Yanuar Arif, aktivis BEM Universitas Indonesia. "Gerak-an moral mahasiswa bisa saja berimplikasi pada kepentingan politik kelompok tertentu," ujarnya. Wahab dari Front Aksi Ma-hasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred) berpendapat, AKSI MAHASISWA YANG HANYA BERHENTI SEBAGAI GERAKAN MORAL SEBENARNYA ADALAH GERAKAN MAHASISWA YANG DIMOBILISIR KARENA TIDAK MEMILIKI KETERAMPILAN MENGORGANISIR DIRI. "Dalam gerakan moral, mahasiswa tidak punya kekuatan. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa harus berani menyatakan diri sebagai gerakan moral politik," paparnya. Jimbong dari Front Kota lebih menekankan aksi mahasiswa sebagai gerakan politik. "Gerakan politik yang bermoral. Tanpa landasan cita-cita atau tujuan bersama seperti ditetapkan dalam gerakan politik, gerakan moral bisa dimanfaatkan kelompok politik tertentu untuk mengambil alih kekuasaan," tegasnya.

Dipertentangkan
Menurut Adrian dari Forum Kota (Forkot), ada kesan dipertentangkan antara gerakan moral dan gerakan politik. Barangkali ini karena keberhasilan rezim Orde Baru (Orba) meredusir istilah politik menjadi sesuatu yang kotor, haram, atau tabu. Padahal seharusnya politik itu menjunjung tinggi nilai-nilai moral suatu bangsa. "Kita harus berani mengakui bahwa gerakan kita, gerakan mahasiswa, adalah gerakan politik," ujarnya.
Safiq Aleha dari Front Per-juangan Pemuda Indonesia (FPPI) mengemukakan hal senada. "Istilah politik mengalami reduksi makna, dari cara mengatur orang banyak, menjadi cara berebut kekuasaan. Ini yang kemudian membuat orang menjadi alergi terhadap politik," tuturnya. Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) Budiman Soedjatmiko mengingatkan, tak perlu mempertentangkan gerakan moral atau politik karena norma-norma terus berubah dan berkembang. Menurut Safik, sulit memang mencari ukuran moral dalam aksi mahasiswa karena bagi umat beragama yang berbeda, ukuran moral menjadi sangat spesifik.
Menurut Safik,
GERAKAN MAHASISWA TETAP BISA MENGKLAIM DIRINYA SEBAGAI GERAKAN MORAL SELAMA TIDAK MEREBUT ATAU DIUNTUNGKAN OLEH POSISI-POSISI KEKUASAAN. GERAKAN MAHASISWA TIDAK PERNAH PUNYA PRETENSI MEREBUT ATAU MENDUKUNG KEKUASAAN.
Meski demikian, Adrian punya kekhawatiran yang sama dengan Nusron Wahid, Ketua Umum Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), gerakan mahasiswa saat ini bisa menjadi onderbouw atau subordinat kekuatan politik tertentu. Nusron mengatakan, sejak tahun 1908 sampai sekarang, tidak satu pun gerakan mahasiswa di Indonesia yang tidak berkaitan dengan konspirasi politik. "Sayangnya, kita selalu mengetahui hal ini setelah peristiwa itu terjadi. Saya khawatir, gerakan kita saat ini justru mewakili gerakan sejumlah elite politik. SAYA KHAWATIR, JANGAN-JANGAN GERAKAN MAHASISWA MENJADI BAGIAN DARI KEKUASAAN ELITE, BUKAN BAGIAN PEOPLE PO-WER," TEGASNYA.
Yudi Latif, pengamat mahasiswa, dalam ulasannya menulis, "TERKESAN GERAKAN POLITIK TIDAK MENGANDUNG MUATAN MORAL, SEMENTARA GERAKAN MORAL TIDAK MENGANDUNG MUATAN POLITIK". SEJATINYA, POLITIK ADALAH SUATU KARSA UNTUK MENEGAKKAN MORALITAS DAN RASIONALITAS PUBLIK. TINDAKAN BERPOLITIK MERUPAKAN SALAH SATU HUMAN CONDITION YANG BERBASIS AKSI BERSAMA DALAM MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN SECARA BERKEADABAN. "BILA SAAT INI POLITIK MENJADI KATA YANG BERLUMURAN CACI MAKI DAN TERKESAN HAMPA MORALITAS, PASTILAH ADA YANG TIDAK BERES DALAM SEJARAH KEHIDUPAN POLITIK KITA," KATA YUDI.
YUDI BERPENDAPAT GERAKAN POLITIK MAHASISWA ADALAH GE-RAKAN SOSIAL YANG LEBIH BERORIENTASI PADA UPAYA MEMPERJUANGKAN AGENDA-AGENDA SOSIAL TERTENTU DENGAN CARA-CARA MOBILISASI YANG KURANG TERSTRUKTUR DAN CARA ARTIKULASI YANG TIDAK BAKU.

Sikap rasional
Sementara itu, Gunawan Hidayat dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) mengemukakan, "Apakah gerakan mahasiswa berada dalam wilayah gerakan moral-politik ataukah politik praktis, bagi IMM, dalam fenomena gerakan belakangan ini, tergantung pada sikap rasional mahasiswa sebagai agen perubahan yang tugasnya mengkritisi setiap suprastruktur negara yang dilihat menyimpang dari upaya mendesak penciptaan good governance dan clean government, budaya politik yang bersih, dan sistem politik yang demokratis."
Jika substansi tadi yang diaspirasikan gerakan mahasiswa, maka bagi IMM, gerakan mahasiswa tetap berada dalam koridor moralitas. Gunawan mengingatkan, sekarang pergerakan organ mahasiswa sudah saatnya memperjuangkan kepentingannya dengan agenda yang lebih jelas dan berkolaborasi kembali dengan kekuatan inti reformasi di masyarakat. Tanpa adanya pelibatan intensif dengan kepentingan publik, tekanan-tekanan yang dilakukan terhadap rezim akan memukul balik organ mahasiswa itu sendiri. Bagi Andi Rahmat sudah jelas, "Gerakan mahasiswa harus selalu membela kelompok masyarakat yang tertindas. Mahasiswa harus berdiri di belakang Bani Israil ketika harus menghadapi Fir'aun. Siapa yang lalim, itu lawan kita".

Elitis
Nusron berpendapat, gerakan mahasiswa Indonesia belum mampu menginternalisasikan konstituensi politik masyarakatnya. Ini tampak ketika mereka berhadapan dengan keinginan rakyat. Gerakan mahasiswa tampak gagap ketika harus menerjemahkan aspirasi masyarakat. Dalam posisi seperti itu gerakan mahasiswa sering terjebak pada tarikan-tarikan politik yang lebih bersifat taktis dan jarang sekali strategis. Ini terjadi karena gerakan mahasiswa sering ahistoris, sebab keluar dari wilayah-wilayah kebutuhan riil masyarakat.
Tak heran jika gerakan mahasiswa saat ini sering kehilangan ruh untuk mendinamisir geraknya sendiri. Dinamika "aksi-refleksi-aksi", tidak lagi menjadi pijakan bagi pilihan-pilihan gerakan yang mampu mereproduksi wacana pemberdayaan di tingkat publik.
Santi, Ketua Gerakan Pemuda Sosialis (GPS) Bandung sependapat. Menurut dia, gerakan mahasiswa sejak tahun 1966 sampai 1998, belum bisa membuktikan mampu mengontrol proses perkembangan kehidupan demokratisasi di Tanah Air. Santi berpendapat, gerakan mahasiswa seharusnya selalu pada posisi yang tepat antara kekuasaan dan massa rakyat. Namun, yang sering terjadi, posisi gerakan mahasiswa sebagai penengah, sering diambil alih kekuatan politik tertentu. "Isu-isu gerakan mahasiswa sampai sekarang tampak masih elitis, tanpa usaha ADVOKASI. Seharusnya untuk memahami rakyat, mahasiswa tinggal bersama rakyat," jelasnya.
Budiman berpendapat, elite politik telah mengaburkan dan membelokkan jalannya refor-masi total. Mereka malah sibuk berebut kue kekuasaan untuk kepentingan ekonomi mereka. Kompromi-kompromi politik mereka lakukan untuk kepentingan elite kelompoknya sendiri. Mereka tidak menghancurkan sisa-sisa Orba dan malah bersekutu. Akibatnya, sisa-sisa Orba sedikit demi sedikit berhasil mengonsolidasikan diri lagi. Golkar, TNI, birokrat korup, borjuasi kroni, dan kelompok-kelompok metamorfosis Orba yang tersebar dalam berbagai kelompok politik baru sedikit demi sedikit mulai mendominasi kekuasaan.

Jalan panjang
Bagi Nusron, gerakan mahasiswa harus terus melanjutkan jalan panjang usaha melembagakan resistensi masyarakat, baik secara politik maupun secara ekonomis. Resistensi politik berkonotasi pada terciptanya satu kondisi di mana masyarakat memiliki ruang untuk mengartikulasikan aspirasi politiknya. Resistensi di bidang ekonomi lebih menitikberatkan pada satu situasi di mana masyarakat tidak terperangkap dalam logika ekonomi pasar. Sebab jika ini terjadi, maka akan sulit membedakan mana manusia, mana komoditas. Seperti dipahami bersama, logika pasar akan menempatkan manusia sebagai komoditas.
Sementara itu, Fadjroel Rachman, pengamat gerakan mahasiswa, menulis, gerakan mahasiswa berkembang menjadi oposisi AD HOC sepanjang rezim Orba setelah semua kekuatan oposisi formal diberangus lewat fasisme pembangunan (developmental fascism).
Peran oposisi ad hoc dijalankan gerakan mahasiswa di bawah rezim Abdurrahman Wahid karena, pertama: agenda reformasi total tidak dilaksanakan semua lembaga politik, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Kedua, tidak ada satu pun partai politik yang menegaskan kekuatan politik oposisional dan memperjuangkan pelaksanaan agenda reformasi total tanpa kompromi politik dengan rezim Orba.
Ketiga, semua partai politik (parpol) peserta Pemilu 1999 (48 parpol) adalah legitimator UU Pemilu yang cacat demokrasi karena mengesahkan keberadaan TNI/Polri di legislatif, dan keikutsertaan Partai Golongan Karya (Golkar) dalam pemilu tanpa pertanggungjawaban hukum terhadap kejahatan politik, ekonomi, dan HAM mereka sepanjang 32 tahun rezim Orba berkuasa.
"Dengan demikian, semua parpol berkhianat terhadap agenda reformasi total dan revolusi demokrasi, karena menjadi kolaborator politik rezim Habibie yang merupakan kelanjutan rezim Orba," tulis Fajroel.
Menurut dia, gerakan mahasiswa tidak bebas dari kepentingan politik. Kepentingan pertama dan terutama yang diperjuangkan mahasiswa adalah nilai-nilai atau sistem nilai yang sifatnya universal, seperti keadilan sosial, kebebasan, kemanusiaan, demokrasi, dan solidaritas kepada rakyat yang tertindas. KARENA ITU OPOSISI AD HOC GERAKAN MAHASISWA DI INDONESIA MERUPAKAN GERAKAN POLITIK NILAI, DAN BUKAN GERAKAN POLITIK KEKUASAAN YANG MERUPAKAN FUNGSI DASAR PARTAI POLITIK. "Gerakan politik nilai sama sekali tidak memperkuat dan mengukuhkan posisi politiknya dalam percaturan kekuasaan meski ikut melakukan penetapan agenda dan target politik maupun pemilahan lawan dan kawan politik," kata Fajroel.
Karena berdiri sebagai gerakan politik nilai, maka gerakan mahasiswa angkatan 2001 sekarang pun dengan luwes menetapkan sejumlah agenda dan target politik baru yang menghindarkan mereka dari jebakan dan manipulasi kepentingan elite maupun parpol tertentu.
Melalui pertarungan gagasan yang tajam antarkelompok gerakan mahasiswa, sekarang praktis semua elemen gerakan mahasiswa bersatu lagi sebagai gerakan politik nilai, membela dan mengawal revolusi demokrasi dengan memperjuangkan agenda reformasi total yang mereka cita-citakan dengan bahu- membahu. (Windoro AT)
Rabu, 7 Maret 2001



0 komentar: