Indonesia dalam cerita

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks



Saat ini, kemiskinan harus dilihat sebagai masalah utama yang perlu diprioritaskan. Rencana pemerintah menurunkan kemiskinan menjadi sekitar separuh dari jumlahnya saat ini (16,6%) pada 2009 banyak diragukan.

Suara optimistis pun mensyaratkan perombakan birokrasi, pemberantasan korupsi, dan kerja keras semua pihak. Karena, sebenarnya, berkat industrialisasi, barang dan jasa bisa dihasilkan secara berlimpah di seantero bumi, termasuk di Indonesia. Kenyataannya, hampir separuh dari jumlah penduduk dunia atau sekitar 3,2 miliar jiwa orang miskin nyaris tidak bisa menikmatinya.

Di Indonesia, menggunakan ukuran di bawah USD2 per hari, jumlah mereka yang miskin dan rentan menjadi miskin mencapai angka fantastis: lebih dari 40% jumlah penduduk. Padahal, waktu yang dimiliki Indonesia untuk pencapaian tujuan-tujuan pembangunan milenium (MDGs)—khususnya, mengurangi jumlah orang miskin menjadi separuh pada 2015 dibandingkan tahun 1990, yaitu sekitar 7,5% jumlah penduduk— semakin mendesak. Bagi Amartya Sen, seseorang disebut miskin karena tidak memiliki akses untuk memenuhi kebutuhannya.

Akses yang menjadi hak setiap orang itu ditentukan oleh “nilai diri” (his original bundle of ownership) yang dimiliki seseorang. Bagi sebagian besar manusia, nilai diri yang dimiliki sebatas tenaga kerja. Karena itu, bagi Sen, kemiskinan dan kelaparan tidak bisa diatasi dengan sekadar memperbesar produksi. Orang miskin harus mempunyai pekerjaan yang memberinya penghasilan. Terdapat kesepakatan luas bahwa jika pemberantasan kemiskinan adalah motif utama kebijakan pembangunan, maka pengadaan dan peningkatan penghasilan orang miskin adalah tujuan terpenting semua kegiatan.

Namun, terdapat dua paradigma yang berseberangan tentang cara pencapaiannya. Pertama, asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi adalah resep terbaik pemberantasan kemiskinan karena akan menyerap tenaga kerja, meski selama ini kenyataan empiris sepenuhnya menunjukkan kenyataan berbeda dari asumsi tersebut. Hal yang menjadi penyebab, kuatnya kecenderungan cara berproduksi industrial yang padat modal dan hemat tenaga kerja. Meski demikian, percepatan globalisasi memberikan argumentasi baru kepada para pendukung pertumbuhan.

Asumsinya, persaingan global hanya memberikan hak hidup kepada cara berproduksi menggunakan teknologi mutakhir yang hemat biaya dan tenaga kerja serta padat modal.

Berseberangan dengan paradigma di atas, adalah keyakinan bahwa orang miskin harus dibantu memperoleh penghasilan. Asumsi dasarnya, usaha kecil adalah perekonomian rakyat yang sejati. Dukungan perlu diberikan pada penghapusan diskriminasi, reformasi regulasi, terciptanya ruang usaha, serta akses pada komponen produksi dan sumber daya. Ketika persamaan kesempatan dengan usaha menengah dan besar tersedia, diharapkan usaha kecil akan mampu menaikkan investasi, inovasi, pengembangan usaha, maupun penghasilan.

Namun, belum ditemukan bukti empiris yang meyakinkan bahwa harapan tersebut bisa menjadi kenyataan massal. Lagipula, berhasil tidaknya sebuah usaha lebih banyak ditentukan oleh pasar. Berangkat dari kenyataan yang relatif pesimistis ini, opsi apa yang harus dipilih dalam kebijakan pembangunan? Tampaknya, meski tidak ada resep instan dan dipastikan manjur, beberapa hal berikut ini harus menjadi pegangan dalam kebijakan memberantas kemiskinan.

Pertama manusia, kesejahteraannya dan pengamanan masa depannya harus selalu menjadi fokus utama kebijakan pembangunan; bukan pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, kemampuan bersaing, atau integrasi ke dalam pasar dunia. Sebagai bahan abstraksi, semua itu bisa saja merupakan gambaran tentang tingkat kesejahteraan sebuah bangsa. Namun, secara konkret, data tentang pendapatan per kapita, kegagalan pasar, bad governance, sering kali mengaburkan banyak detail serta melupakan hambatan (ceteris-paribus) yang merugikan orang dan negara miskin serta relasi asimetrik pasar global.

Kedua, lewat kebijakan dan re-gulasi, kesempatan yang sama harus diberikan dalam persaingan antara usaha kecil dengan usaha menengah dan besar maupun antarusaha kecil itu sendiri. Ketiga, pemberantasan kemiskinan lewat pengadaan lapangan kerja, harus memerhatikan tingkat pengembangan industri dan integrasi sebuah negara dalam pasar dunia. Negara yang tingkat pertumbuhan industrinya belum terlalu maju sementara sektor informalnya masih mendominasi seperti halnya Indonesia, perlu mempertimbangkan strategi yang pas. Ambisi agar mampu bersaing dalam pasar global sebaiknya dibarengi upaya mendukung usaha kecil sebagai basis industrialisasi.

Keempat, pemetaan masalah dan potensi sebuah negara serta akseptansi strategi pembangunan yang spesifik, hanya akan bisa diterima luas bila hal tersebut dilakukan dengan melibatkan semua pihak terkait, termasuk orang miskin. Kelima, negara berkembang dengan potensi pasar luas seperti halnya Indonesia, tak jarang akan ditekan oleh lembaga multilateral (terutama WTO, IMF dan Bank Dunia) serta negara adidaya (khususnya Amerika Serikat) untuk membuka pasarnya dan menghilangkan subsidi.

Bila hal ini dituruti, paling tidak secara jangka pendek, berdampak pada anjloknya tingkat upah dan meningkatnya PHK yang berarti meningkatnya jumlah orang miskin. Seperti diungkapkan di atas, sebuah kebijakan pemberantasan kemiskinan yang berhasil sekali pun, dalam jangka waktu menengah dan panjang, bisa saja masuk ke dalam “perangkap globalisasi”.

Meski demikian, tiada ada alasan untuk menyerah sejak awal. Bahwa cara pandang, nilai, dan struktur dalam perekonomian selalu berubah, terlihat jelas dalam semakin pentingnya lingkungan sebagai faktor perekonomian. Tuntutan negara-negara berkembang berpenduduk besar—seperti China, India, dan Brasil yang seharusnya juga dilakukan Indonesia—atas cadangan air, oksigen dan energi yang semakin terbatas, akan mendorong perubahan drastis dalam pola konsumen di negara-negara maju.

Hal ini membuat cara berproduksi padat modal (capital intensive) yang tergantung pada sumber energi eksternal dan tak terbarui (unrenewal energy) menjadi semakin mahal, sehingga tenaga kerja sebagai faktor produksi (kembali) menjadi penting.

Jalan menuju pengadaan lapangan kerja dan penghasilan, hemat sumber daya alam, dan bentuk-bentuk perekonomian yang ramah lingkungan akan lebih mudah dijalani bila orang miskin berkesempatan memperoleh pendidikan dan standar hidup yang lebih tinggi. Dengan demikian, mereka lebih mampu menyuarakan kepentingan sendiri dan terlibat dalam posisi yang setara dengan lainnya dalam wacana pembentukan struktur ekonomi nasional dan internasional yang adil.

0 komentar: