gizi buruk

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks



Kesunyian ruang rawat anak Rumah Sakit M Hoesin Palembang, Rabu (26/3), terpecahkan oleh erangan Aldino (2), anak balita penderita gizi buruk.

Jamilah (52), ibu Aldino, lantas mengusap kepala anaknya itu agar tidur lagi. Senyum tipis untuk anaknya tak bisa menghilangkan kedukaan dan beratnya beban Jamilah.

Iba, dan rasa tidak tega, menjalar saat menyaksikan anak balita asal Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, yang tubuhnya tinggal kulit pembungkus tulang, itu.

Percakapan dengan Jamilah dimulai dengan tragedi yang menimpa Albagir (2), anak balita asal Kota Palembang, yang meninggal 25 Maret lalu pukul 04.00 di RS M Hoesin. Albagir juga menderita gizi buruk seperti Aldino. ”Meninggalnya Albagir terus menghantui pikiran. Saya takut kehilangan Aldino,” kata Jamilah.

Keprihatinan makin bertambah saat Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumsel Sahrul Muhammad menjelaskan hanya dalam waktu 10 hari pada bulan Maret ini sudah ada dua anak balita di Sumsel meninggal di rumah sakit akibat gizi buruk: Farel (3 bulan) dan Albagir (2).

Persoalan gizi buruk di Sumsel merupakan bagian dari merosotnya kesejahteraan warga masyarakat yang luput dari perhatian pemerintah.

Kasus gizi buruk juga dialami Ana Henuk (26 bulan), warga Kelurahan Naimata, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur; Dian Susanto (13), warga Kelurahan Karang Joang, Kota Balikpapan; dan Muhamad Irfan (4), warga Kota Samarinda, Kalimantan Timur.

Hingga usia 2 tahun lebih, berat badan Ana Henuk hanya 4,2 kg. Tubuhnya tinggal kulit pembungkus tulang. Bola matanya membengkak bersamaan dengan kelopak mata, dan kepala membesar.

Dian Susanto hanya bisa terbaring di rumahnya. Lengan dan kakinya agak bengkok, kepalanya hampir sebesar tubuh. Ia ternyata mengalami tahap tak mampu melihat, bicara, dan berjalan. Menurut ayahnya, Slamet (38), bobot Dian 10 kilogram dan panjang tubuh 150 sentimeter.

Lengan Muhamad Irfan nyaris tak berdaging. Bobotnya cuma 10 kg. Sudah empat minggu tubuhnya panas. Seminggu lalu tungkai kaki kiri terasa amat sakit sehingga tak bisa berjalan. Nurliana Adriati Noor dari Bagian Humas RSUD Abdoel Wahab Sjachranie, Kota Samarinda, mengatakan, Irfan sebelumnya hanya makan nasi, garam, air hangat, dan tak terbiasa minum susu.

Dinas Kesehatan Provinsi Sumsel pada Januari-Maret ini saja mencatat sembilan anak balita penderita gizi buruk dirawat di RS M Hoesin. Aldino adalah bungsu tujuh bersaudara. ”Pendapatan suami sebagai petani kecil, sangat kurang untuk hidup layak,” kata Jamilah.

Kondisi yang sama juga dialami orangtua almarhum Albagir. Mereka tinggal di rumah kontrakan di Lorong Asia, Pasar Kuto, Palembang. Alamsyah, ayah Albagir, buruh serabutan.

Siti Farida, ibunda Irfan, mengaku sulit menyediakan makanan bergizi di rumah. Rusdi (29), suaminya, berpenghasilan Rp 500.000 per bulan dari tempatnya bekerja, persewaan tenda nikah. Karena itu yang lebih sering ada di rumahnya hanya nasi, garam, dan air minum. Kadang-kadang, Farida membeli tempe, tahu, dan ikan. Namun, Irfan tak doyan, lalu minta mi instan. ”Uang habis untuk makan dan bayar listrik, susu tak terbeli,” katanya.

Data Dinas Kesehatan Provinsi Sumsel (2007) menunjukkan, dari total 193.782 anak dan anak balita di Sumsel, sebanyak 2.061 anak balita digolongkan gizi buruk dan 20.278 anak balita kurang gizi.

Sayang, saat Ana diperiksakan ke puskesmas, orangtuanya tak diberi tahu bahwa Ana mengalami gizi buruk. Ana cuma diberi vitamin dan obat cacing.

Kepala Sub-Dinas Penanggulangan Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan NTT Bobby Koamesah membenarkan, banyak petugas kesehatan di lapangan tidak paham tentang status gizi anak balita sebagaimana terjadi di Maulafa, Kota Kupang, Rote Ndao, dan daerah lain di NTT. (KOR/BRO)

0 komentar: