LANDASAN IMPLEMENTASI PERGURUAN TINGGI SEBAGAI BADAN

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks



Draft 21/12/01

LANDASAN IMPLEMENTASI PERGURUAN TINGGI SEBAGAI BADAN
HUKUM MILIK NEGARA

Satryo Soemantri Brodjonegoro
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi

Manfaat Perubahan Menjadi Badan Hukum Milik Negara

1. Perubahan sistem pendidikan tinggi terjadi di berbagai negara dan perubahan tersebut umumnya meliputi kebutuhan untuk otonomi yang lebih luas. Perubahan tersebut tidak terjadi tanpa adanya ketegangan. Oleh karena itu seluruh pelaku perubahan harus yakin akan nilai/hakekat/norma perubahan tersebut, paling tidak ditinjau dari perspektif kepentingan nasional dan bukan dari perspektif kepentingan individu. Seperti halnya di berbagai negara, pemahaman nilai/hakekat/norma perubahan tersebut ternyata masih rancu dan rentan terhadap penyalahgunaan.
2. Pada perguruan tinggi yang bersangkutan, pemahaman akan perubahan tersebut masih rancu karena adanya benturan kepentingan sebagian personil perguruan tinggi. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu pemahaman publik tentang manfaat perubahan tersebut, tidak hanya pada tingkat perguruan tinggi akan tetapi juga pada tingkatan pemerintah dan lembaga legislatif. Dengan demikian diperlukan adanya pendefinisian terhadap tingkat otonomi yang diharapkan untuk setiap jenjang beserta argumentasi pendukungnya.
3. Dalam konsep Badan Hukum Milik Negara yang telah dicanangkan, ditetapkan bahwa otonomi diberikan kepada perguruan tinggi negeri agar dapat berperan sebagai kekuatan moral, dan hal ini merupakan salah satu aspek penting dalam reformasi pendidikan tinggi yang saat ini sedang dijalankan. Namun pengertian “kekuatan moral” tersebut masih abstrak dan perlu penterjemahan dalam bentuk rambu/panduan pelaksanaan untuk tiap perguruan tinggi. Tanpa adanya kejelasan tersebut, dikhawatirkan terjadinya penterjemahan otonomi secara bebas oleh setiap pihak yang berkepentingan yang disesuaikan dengan kepentingan pribadi masing-masing. Otonomi fiskal mungkin diterjemahkan oleh para dosen sebagai kenaikan gaji, yang kemudian dapat berakibat kepada kenaikan SPP mahasiswa. Otonomi bagi mahasiswa mungkin diterjemahkan sebagai kebebasan mahasiswa untuk bertindak bebas termasuk misalnya menolak kenaikan SPP. Departemen Keuangan mungkin menterjemahkan otonomi sebagai lepasnya tanggung jawab untuk pendanaan perguruan tinggi yang dapat berakibat kepada hilangnya fungsi pemerintah untuk menyelamatkan tugas mulia yang harus diembannya.
4. Tidak adanya konsensus ataupun kesamaan persepsi mengenai otonomi tersebut akan menyebabkan terjadinya kondisi yang tidak menentu. Oleh karena itu saat ini dibutuhkan suatu pemahaman secara nasional yang utuh mengenai otonomi yang dapat menggalang peran seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders), di mana setiap kelompok harus bersedia sedikit berkorban.
5. Untuk dapat menyamakan persepsi tentang otonomi tersebut, salah satu argumentasi yang harus digunakan adalah bahwa perguruan tinggi harus melakukan berbagai perubahan kearah otonomi dalam rangka pengembangan sumber daya manusia abad 21. Jelas bahwa kecepatan perubahan global akan membutuhkan sumber daya manusia dengan kemampuan yang adaptif dan lentur/luwes, mempunyai kemampuan belajar sepanjang hayat, kritis, inovatif, kreatif dan mampu bekerja sama.
6. Untuk perguruan tinggi, hal ini berarti bahwa perguruan tinggi harus mampu lebih adaptif dan lentur/luwes, dengan kemampuan fasilitas untuk merespons setiap perubahan dengan cepat. Perguruan tinggi harus dapat mendeteksi secara dini perubahan yang akan terjadi dan mempunyai kapasitas untuk mengembangkan program baru ataupun menutup program yang sudah ada sesuai perkembangan yang ada di masyarakat.
7. Untuk dapat melakukan hal tersebut di atas, maka perguruan tinggi harus mempunyai otonomi dalam kadar yang cukup signifikan. Dengan adanya otonomi tersebut maka perguruan tinggi dapat merancang kurikulumnya dan melakukan perubahan terhadap kurikulum tersebut, dapat melakukan pengelolaan staf/personil disesuaikan dengan beban kerja yang ada (termasuk relokasi/mutasi/penugasan lain), dapat mengalokasikan sumber daya yang ada disesuaikan dengan perubahan yang terjadi, dan mampu mengubah struktur manajemen yang memungkinkan otonomi dilaksanakan dengan baik.
8. Ada 2 keuntungan dengan adanya otonomi yaitu 1) tingkat akuntabilitas yang lebih tinggi dan 2) kemampuan pemerintah untuk menerapkan kebijakannya kepada perguruan tinggi. Kedua keuntungan tersebut tampaknya kontradiksi dengan pemahaman otonomi selama ini yang seolah-olah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya.
9. Pendekatan otonomi dalam pendanaan perguruan tinggi ditekankan kepada perhitungan berbasis keluaran (output) dan bukan berbasis masukan (input). Untuk ini perlu pendefinisian keluaran secara cermat dan dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengukur keluaran yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dalam bentuk jumlah lulusan, mutu lulusan dan relevansinya dengan kebutuhan nasional. Hal ini untuk menunjukkan akuntabilitas publik terhadap dana yang digunakan oleh perguruan tinggi. Pendanaan yang berbasis masukan (misalnya berdasarkan jumlah dosen) mempunyai risiko yang lebih besar kearah penyalahgunaan karena akan lebih banyak digunakan untuk kepentingan pribadi dosen dan tidak mengarah kepada produktivitas lembaga. Akibatnya efisiensi penggunaan dana tidak dapat tercapai.
10. Dengan adanya otonomi memungkinkan pemerintah untuk menetapkan kebijakannya secara lebih tegas kepada perguruan tinggi, hal ini tampaknya kontradiksi namun apabila dilihat dari mekanisme pendanaan pemerintah yang didasarkan kepada keluaran maka perguruan tinggi dapat diarahkan supaya memperhatikan kepentingan nasional.
11. Beberapa kepentingan nasional yang seyogyanya menjadi perhatian perguruan tinggi

a. kontribusi kepada pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan otonomi daerah
b. responsif terhadap perkembangan/perubahan tuntutan dunia kerja
c. perluasan wawasan peserta didik melalui program lintas disiplin
d. promosi dan mengamankan bidang-bidang studi unggulan dan penting serta langka
e. menuju peningkatan mutu dan keunggulan
f. mengamankan pendidikan bagi mereka yang kurang mampu
g. peningkatan efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya
12. Mekanisme pendanaan pemerintah untuk perguruan tinggi akan diarahkan berbasis keluaran yang ditujukan agar kebijakan tersebut di atas dapat diemban oleh perguruan tinggi.
13. Untuk dapat mencapai sasaran kebijakan tersebut di atas, maka perguruan tinggi perlu mempunyai fasilitas/kemungkinan untuk beroperasi secara otonom (misalnya dalam hal kurikulum, ketenagaan dan keuangan) dan mempunyai kapasitas serta kemauan untuk melaksanakannya (secara managerial). Fasilitas dimaksud harus diberikan dalam suatu kerangka legislatif yang menjamin konsistensi seluruh pihak yang terkait. Kapasitas managerial harus dibentuk di dalam perguruan tinggi itu sendiri.
14. Berbagai perubahan yang harus terjadi secara komprehensif untuk keberhasilan pelaksanaan otonomi adalah:
a. perubahan kebijakan pemerintah terhadap pendidikan tinggi
b. kerangka legislatif dan pengaturan tentang hakekat otonomi
c. kebutuhan akan akuntabilitas
d. mekanisme pendanaan
e. kesiapan perguruan tinggi untuk mengemban otonomi
15. Hambatan pelaksanaan otonomi di beberapa negara terjadi karena fokus perhatiannya hanya pada satu atau dua aspek tersebut di atas tanpa memperhatikan aspek lainnya. Untuk keberhasilan otonomi, diperlukan adanya pembenahan seluruh aspek tersebut di atas.

Kerangka Legislatif dan Peraturan
16. Kerangka Legislatif dan peraturan untuk sistem pendidikan tinggi yang otonom haruslah konsisten secara internal. Perkembangan yang ada selama ini di Indonesia, tampaknya bahwa satu aspek lebih cepat berkembang dari yang lainnya sehingga dapat menyebabkan terjadinya kebuntuan proses. Paling tidak saat ini terasa bahwa pihak pemerintah belum sepenuhnya yakin akan validitas konsep otonomi pendidikan tinggi tersebut. Karena peraturan pemerintah tentang Badan Hukum Milik Negara sudah terbit maka perlu adanya konsensus dari seluruh pimpinan politik dan badan pemerintah untuk menyiapkan perangkat peraturan dan perundangan yang mendukung.
17. Di banyak negara terdapat 4 aspek otonomi utama yang memerlukan perubahan pengaturannya seperti : masalah kurikulum, ketenagaan, keuangan dan akuntabilitas.
18. Kondisi ketenagaan di perguruan tinggi negeri pada saat ini terdiri dan mayoritas pegawai negeri sipil yang tunduk kepada peraturan yang berlaku. Perubahan yang diperlukan adalah ketentuan tentang pegawai perguruan tinggi yang akan diterapkan selama masa transisi dan setelah transisi. Termasuk dalam hal ini ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian serta Mekanisme kontrak.
19. Dalam bidang keuangan diperlukan suatu ketentuan yang berlaku bagi Badan Hukum Milik Negara dalam hal penerimaan uang baik dari pemerintah maupun dari masyarakat. Peraturan yang ada pada saat ini menyatakan bahwa hanya instansi pemerintah yang dapat menerima subsidi pemerintah dan hanya ada 3 bentuk badan hukum yang dikenal di Indonesia yaitu Perusahaan Jawatan, Badan Usaha Milik Negara dan Persero (yang tidak memperoleh dana rutin dari pemerintah).
20. Persoalan yang dihadapi oleh BHMN adalah di satu sisi mendapat dana pemerintah (dana publik) dan di sisi lain mempunyai kebebasan untuk memperoleh dana masyarakat (seperti halnya swasta). Pada dasarnya BHMN tersebut adalah milik pemerintah karena melakukan tugas yang diberikan oleh pemerintah. Apabila BHMN tersebut kemudian juga melakukan kegiatan “swasta” di samping tugas utamanya yang dari pemerintah, maka pemerintah harus memastikan bahwa ada dua syarat yang harus dipenuhi.

Pertama, kegiatan “swasta” tersebut harus konsisten dan komplemen dengan misi utama perguruan tinggi dalam hal pendidikan dan penelitian.
Ke dua, kegiatan “swasta” tersebut harus dikelola sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kegiatan yang didanai pemerintah - artinya dana pemerintah tidak digunakan untuk mensubsidi kegiatan “swasta”. Hal ini berarti bahwa kegiatan “swasta” tersebut harus sepenuhnya dibiayai oleh peserta/pelaku - termasuk di sini biaya untuk utilitas dan perawatan serta administrasi.
21. Dalam rangka penegasan kembali peran pemerintah dalam bidang pendidikan tinggi, perlu diperhatikan berbagai dampak negatif yang terjadi apabila pendidikan tinggi sepenuhnya diberikan kepada pihak swasta. Dampak negatif tersebut antara lain :
(a) Kemungkinan terjadinya penurunan mutu pendidikan dalam segala bidang;
(b) Minimnya pendidikan sains dan teknologi karena tingginya biaya operasi dan investasi;
(c) Minimnya kegiatan penelitian;
(d) Terjadinya disparitas sosial dan ekonomi antara daerah. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu ditetapkan target yang harus dicapai oleh perguruan tinggi negeri atau milik negara, atau oleh perguruan tinggi swasta dengan mendapat bantuan dari pemerintah, dan hal ini yang kemudian menjadi peran pemerintah.
22. Pemerintah mempunyai kepentingan bahwa dana pemerintah yang dialokasikan kepada perguruan tinggi harus digunakan sepenuhnya sesuai dengan tujuannya. Artinya dana pemerintah tersebut tidak dapat digunakan untuk kegiatan lain, misalkan program ekstensi, program pasca sarjana dan program-program lain yang memungut biaya cukup besar dari masyarakat. Hal ini terkait dengan akuntabilitas perguruan tinggi terhadap penggunaan dana yang berasal dari pajak masyarakat (melalui pemerintah). Hal yang sama juga berlaku bagi para dosen, sampai sejauh mana akuntabilitas dosen terhadap masyarakat ditinjau dari segi komitmennya sebagai dosen.

Akuntabilitas
23. Untuk menjamin akuntabilitas diperlukan tiga macam mekanisme berikut ini perwakilan dalam keanggotaan dan mekanisnie kerja Majelis Wali Amanat; validasi independen terhadap keluaran penguruan tinggi; pengaturan proses audit terhadap penggunaan dana publik untuk menghasilkan keluaran tersebut.
24. Adanya Majelis Wali Amanat merupakan mekanisme utama untuk memperoleh akuntabilitas terhadap publik secara luas. Dengan cara ini komunitas dapat memberikan pandangannya terhadap formulasi strategi pengembangan perguruan tinggi dan di lain pihak perguruan tinggi dapat memberikan umpan balik kepada komunitas. Majelis Wali Amanat merupakan lembaga tertinggi dari perguruan tinggi dan oleh karena itu harus menunjukkan akuntabilitasnya.
25. Keanggotaan dalam Majelis Wali Amanat menjadi penting untuk dapat memberikan akuntabilitas publik, sehingga keanggotaannya harus dapat mewakili pihak-pihak yang berkepentingan (stake-holders) secara luas. Perguruan tinggi bertanggung jawab kepada masyarakat sehingga keanggotaan MWA juga harus merepresentasikan masyarakat tersebut. Keanggotaan MWA seyogyanya tidak didominasi oleh kalangan perguruan tinggi sendiri akan tetapi didominasi oleh kalangan luar penguruan tinggi sehingga jelas akuntabilitasnya.
26. Dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi yang sudah otonom (berbadan hukum), pemerintah akan menugaskan perguruan tinggi untuk menyediakan keluaran tertentu sebagai konsekwensi pendanaan yang berasal dari pemerintah. Keluaran tersebut dapat berupa sejumlah lulusan dengan mutu tertentu pada bidang tertentu, maupun berupa hasil penelitian termasuk paten dan publikasi ilmiah, dan juga berupa karya pengembangan kapasitas masyarakat secara luas.
27. Aspek yang ketiga dalam akuntabilitas adalah perlunya audit terhadap penggunaan dana publik yang disediakan oleh pemerintah kepada perguruan tinggi. Apabila pendanaan diberikan secara block-funding berdasarkan tolok ukur keluaran, maka audit dilaksanakan secara post-hoc yang memang masih asing untuk Indonesia.
28. Dengan perubahan bentuk menjadi badan hukum, maka dalam kondisi yang paling buruk dapat terjadi 2 kemungkinan yaitu : perguruan tinggi menjadi bangkrut secara teknis dan jika demikian perlu ditetapkan bagaimana penanganannya; atau perguruan tinggi menjadi unit komersial yang menyimpang dan tugasnya dalam bidang pendidikan dan penelitian serta pengabdian pada masyarakat.

Rancangan Pendanaan
29. Untuk keberhasilan proses akuntabilitas kelembagaan maka perlu dukungan pendanaan yang sesuai dengan semangat akuntabilitas yaitu pendanaan yang bersifat block-funding, adanya kebebasan dan keluwesan dalam penggunaan dana yang diarahkan kepada pencapaian hasil yang optimal. Dengan demikian pendanaan yang berbasis kepada keluaran (output/outcome based funding mechanism) menjadi penting karena adanya beberapa alasan kebijakan yang kuat.
30. Pada saat ini pendanaan oleh pemerintah kepada perguruan tinggi negeri terdiri atas dana rutin (DIK) yang ditujukan untuk menanggung biaya operasional perguruan tinggi (90% untuk gaji pegawai) dan dana pembangunan (DIP) yang ditujukan untuk pembangunan/investasi/pengembangan termasuk di dalamnya tambahan biaya operasional sebesar 15% dari DIP tersebut.
31. Sebuah pemikiran sedang dikembangkan untuk bagaimana dana DIK tersebut dapat diberikan dalam bentuk block-funding, dan tidak dalam bentuk seperti yang sekarang berlaku (itemized allocation). Penetapan besarannya menggunakan suatu formula dan kewenangan penggunaan sepenuhnya ada pada pimpinan institusi.
32. Pemikiran tersebut diarahkan kepada pembagian yang semula adalah 2 bagian menjadi 5 bagian, yaitu dana DIK dibagi menjadi 3 komponen dan dana DIP dibagi menjadi 2 komponen sebagai berikut:
Dana Rutin terdiri atas:
1. Dana dasar untuk penyelenggaraan pendidikan sarjana (R1);
2. Dana tambahan/insentif sesuai kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan sarjana (R2);
3. Dana khusus untuk penugasan spesifik (R3);
4. (R1+R2+R3 kurang lebih sama dengan DIK saat ini).
Dana Pembangunan terdiri atas
1. Dana investasi untuk perbaikan/penataan (I1);
2. Dana pengembangan berdasarkan kompetisi/seleksi (I2);
3. (I1+I2 kurang lebih sama dengan DIP saat ini)
33. Untuk menerapkan formula pendanaan berbasis keluaran, maka 4 isu berikut ini perlu diperhatikan:
a. penetapan jumlah mahasiswa yang akan didanai oleh pemerintah, termasuk dalam hal ini bidang studinya, target lulusan, distribusi di antara perguruan tinggi, definisi mahasiswa (penuh waktu atau paruh waktu), dll;
b. seberapa besar peran masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan tinggi, apakah mahasiswa sanggup mendanai biaya pendidikannya?, bagaimana kontribusi pemerintah untuk biaya pendidikan tinggi?, hal ini akan mengakibatkan kepada besaran SPP yang akan ditetapkan;
c. formula pendanaan yang menggunakan parameter yang terukur;
d. perlunya data yang akurat dan terpercaya serta konsisten.
34. Mengenai jumlah mahasiswa yang akan didanai oleh pemerintah, terkait dengan 4 aspek yang perlu mendapat kepastian. Yang pertama adalah mengenai pembagian/pengkategorian bidang studi yang akan ditempuh oleh para mahasiswa tersebut. Pengkategorian tersebut harus cukup tajam supaya ada kejelasan akan kualifikasi lulusan yang diharapkan, sedangkan di lain pihak pengkategorian tersebut harus cukup luas/lebar sehingga pembagian jumlahnya tidak terlalu kecil. Pengkategorian tersebut perlu memperhatikan pula kemungkinan variasi besaran biaya pendidikan per kategori bidang studi, dan dengan memperhatikan hal tersebut diperkirakan akan ada 10 kategori bidang studi.
35. Yang ke dua adalah mengenai perkiraan jumlah mahasiswa untuk tiap kategori bidang studi. Perkiraan tersebut dapat didasarkan atas dasar analisis kebutuhan ekonomi maupun atas dasar kecenderungan minat mahasiswa, yang kemudian harus diperhitungkan implikasinya terhadap manfaat secara nasional.
36. Yang ke tiga adalah mengenai distribusi mahasiswa yang akan didanai setiap kategori bidang studi per perguruan tinggi. Untuk hal ini perlu dilakukan kajian mengenai kinerja perguruan tinggi tersebut sebelumnya dalam hal menghasilkan lulusan. Disamping itu perlu dilakukan juga kajian wilayah untuk pemerataan dan keadilan bagi kepentingan nasional.
37. Yang ke empat adalah mengenai definisi mahasiswa yang akan didanai oleh pemerintah. Untuk kepentingan perhitungan, akan lebih mudah menggunakan input (masukan, mahasiswa baru) sebagai tolok ukur dibandingkan dengan penggunaan tolok ukur keluaran (lulusan) karena mengandung ketidak pastian proses antara jumlah mahasiswa baru dengan jumlah lulusan. Apabila masukan dijadikan tolok ukur, dikhawatirkan akan terjadi kecenderungan menerima mahasiswa sebanyak-¬banyaknya tanpa kemudian peduli terhadap proses pendidikan dan bahkan kurang peduli terhadap mutu lulusan maupun jumlah lulusan yang dihasilkan. Hal ini akan terkesan input oriented dan tidak peduli terhadap kinerja.
38. Pendidikan tinggi memberikan manfaat pribadi seumur hidup bagi para mahasiswanya disamping itu juga memberikan manfaat publik secara nasional. Oleh karena itu pembiayaan pendidikan tinggi seyogyanya dipikul bersama antara pemerintah dan masyarakat/mahasiswa. Mengenai besarnya pembagian porsi antara pemerintah dan masyarakat sampai saat ini tidak besaran yang pasti, akan lebih merupakan keputusan politik. Di banyak negara, mahasiswa berkontribusi sekitar 25% dari biaya pendidikan tinggi yang diperlukan.
39. Akses pemerataan, khususnya untuk mahasiswa dari golongan ekonomi lemah, merupakan hal yang penting untuk ditangani. Salah satu cara adalah melalui pola pemberian beasiswa atau bantuan mahasiswa yang sejenis, atau dapat pula melalui pola subsidi silang. Penetapan SPP yang terlalu rendah untuk sebuah penguruan tinggi tidak akan memberikan pemerataan yang adil karena justru terjadi subsidi bagi yang kaya oleh mereka yang miskin.
40. Secara teoritis penetapan besaran SPP dapat diserahkan sepenuhnya kepada perguruan tinggi tanpa adanya batas maksimal. Hal ini tampaknya kurang bijaksana ditinjau dari 2 aspek. Pertama, perguruan tinggi yang terkenal akan dapat menerapkan SPP yang tinggi sehingga menutup akses bagi kelompok masyarakat yang kurang mampu. Ke dua, pemerintah perlu mengetahui berapa kontribusi mahasiswa melalui SPP untuk menutupi kebutuhan biaya pendidikan sebenarnya sehingga besaran alokasi dana pemerintah dapat diatur sedemikian rupa sehingga tidak tumpang tindih. Yang dikhawatirkan adalah pendanaan ganda untuk suatu komponen pendidikan tertentu, sehingga terjadi pemborosan.
41. Hal ini tidak berarti bahwa pemerintah harus menetapkan besaran SPP secara rinci, akan tetapi perlu adanya asumsi publik mengenai besaran yang memadai untuk penetapan besaran SPP. Dengan demikian masyarakat mengetahui besarnya SPP yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dan apabila perguruan tinggi memungut SPP yang lebih tinggi harus ada alasan yang dapat dipertanggung-jawabkan.
42. Dalam kenyataannya ke depan, berapapun besaran SPP ditetapkan (betapapun rendahnya SPP tersebut) pasti ada sejumlah mahasiswa yang tidak mampu membayarnya. Untuk mengatasi hal ini perlu dikembangkan sistem pemberian beasiswa bagi mereka, baik di tingkat perguruan tinggi maupun di tingkat nasional.
43. Pendekatan lain untuk mengatasi hal di atas adalah melalui program kredit mahasiswa di tingkat nasional. Program tersebut perlu mempunyai sistem pengembalian kredit yang efektif dan kuat misalnya melalui sistem pajak atau sistem perbankan. Jika tidak, maka program kredit mahasiswa tersebut akan gagal dan tidak mencapai sasaran. Ditinjau dari biaya pcngelolaan, maka sistem pemberian beasiswa akan jauh lebih murah daripada sistem kredit mahasiswa. Program kredit mahasiswa, jika tidak ditangani secara cermat dapat menimbulkan ketidak adilan baru, yaitu oleh mereka yang dengan sengaja tidak membayar kredit tersebut namun tidak dapat dijerat karena ketiadaan mekanisme yang efektif.

Formula Pendanaan
44. Besarnya pendanaan dari pemerintah memerlukan suatu formula yang dapat diterapkan di semua perguruan tinggi, berlaku secara nasional. Besaran yang perlu ditetapkan formulanya utamanya adalah pendanaan yang langsung untuk kegiatan pendidikan (R1 dan R2 sesuai paragraf 32).
45. Untuk menetapkan besaran komponen R1, tingkatan pendanaan harus dapat ditetapkan dan diterima di tingkat nasional, dan menggunakan satuan biaya pendidikan yang saat ini berlaku. Besaran tersebut kemudian didefinisikan sebagai kemampuan pemerintah untuk mendanai pendidikan mahasiswa di perguruan tinggi. Besaran tersebut diasumsikan cukup untuk mendanai berbagai kegiatan penyelenggaraan pendidikan tinggi di perguruan tinggi.
46. Kendala dalam penetapan besaran komponen R1 antara lain : 1) adanya mahasiswa program non-reguler yang ternyata juga menggunakan fasilitas perguruan tinggi yang didanai oleh pemerintah, dan 2) biaya yang tidak sama untuk setiap program studi. Dengan kendala tersebut maka perlu adanya penegasan mengenai definisi mahasiswa dalam perhitungan satuan biaya pendidikan, dan juga perlunya jenis satuan biaya pendidikan menurut program studi (minimal adanya pengelompokan).
47. Ada pemikiran untuk perhitungan R1 berdasarkan atas jumlah lulusan untuk bidang tertentu dengan mutu/kualitas tententu. Kendala terhadap hal ini antara lain :
kecenderungan perguruan tinggi untuk menggunakan mahasiswa pindahan, mahasiswa kaya atau mahasiswa non-reguler sehingga dapat mengacaukan pola perhitungan satuan biaya pendidikan yang sebenarnya. Kendala lain adalah kecenderungan perguruan tinggi untuk mempercepat proses kelulusan dengan cara jalan pintas sehingga merancukan proses pendidikan yang sebenarnya diinginkan oleh pemerintah. Kendala tersebut jelas akan mempersulit akuntabilitas penggunaan dana pemerintah yang notabene adalah uang rakyat.
48. Dengan pertimbangan di atas, maka pengalokasian R1 seyogyanya dikombinasikan antara perhitungan berdasarkan jumlah lulusan dan jumlah mahasiswa baru.
49. Untuk penetapan besaran R2, diperlukan suatu konsep mengenai bagaimana dapat mempromosikan suatu perguruan tinggi melalui pendanaan tersebut. Sehingga diperlukan kebijakan penetapan dan pemberian R2 sehingga tidak menimbulkan gejolak persoalan di dalam perguruan tinggi maupun antar perguruan tinggi, bahkan sedapat mungkin justru menumbuhkan perguruan tinggi tersebut.
50. Apabila R1 dan R2 telah ditetapkan formulanya, maka kemudian diimplementasikan dalam bentuk block grant kepada perguruan tinggi, dan digunakan untuk menutupi biaya operasional pendidikan sesuai dengan penugasan yang diberikan. Dengan perhitungan tersebut, ada kemungkinan terjadi perbedaan antara tingkatan pendanaan yang saat ini dengan yang biasanya diperoleh dengan cara lama. Untuk itu diperlukan suatu proses transisi ke arah sistem pendanaan yang baru, dan di Inggris diperlukan waktu sekitar 20 tahun untuk menyelesaikan transisi tersebut.
51. Untuk penetapan besaran komponen R3, didasarkan kepada pemikiran bahwa pada setiap sistem pendidikan tinggi pasti ada beberapa fasilitas khusus dan spesifik yang diberikan kepada beberapa perguruan tinggi. Hal ini tentunya terkait dengan penugasan khusus yang diberikan kepada perguruan tinggi tersebut.
52. Penetapan besaran dana investasi I1 dilakukan dengan memperhatikan kegiatan yang secara langsung meningkatkan proses dan mutu pendidikan. Bentuknya dapat berupa perbaikan fasilitas pendidikan ataupun perbaikan metode pembelajaran.
53. Penetapan besaran dana investasi I2 didasarkan kepada proyek atau kegiatan khusus yang ditujukan hanya kepada beberapa institusi saja, tidak semuanya. Hal ini berkaitan dengan prioritas nasional untuk program-program khusus.
54. Perguruan tinggi perlu memahami adanya perbedaan antara I1 dan I2 tersebut. Pemberian I1 sama pentingnya baik untuk mendukung perguruan tinggi yang kuat maupun yang lemah. Untuk ini diperlukan keadilan dalam pendistribusiannya dan institusi yang lemah perlu dibantu untuk dapat memanfaatkannya dengan optimal.
55. Untuk mencapai hal tersebut di atas maka sebaiknya digunakan pola pendanaan berbasis usulan/proposal yang kompetitif, namun demikian tidak untuk menentukan siapa pemenangnya akan tetapi seberapa besar manfaat yang dapat mereka peroleh dengan pendanaan yang akan mereka terima dan pemerintah. Perguruan tinggi yang kuat maupun yang lemah akan dinilai proposalnya, dan semuanya akan mendapat I1 sesuai dengan kemampuan daya serap serta manfaat maksimal yang dapat mereka sajikan.
56. Sebaliknya, untuk pendanaan yang sifatnya selektif, kompetisi didasarkan pada keunggulan proposal sehingga yang terbaik yang akan memperoleh dana tersebut. Untuk kasus ini memang tidak ada istilah keadilan/pemerataan akan tetapi keunggulan. Tujuannya adalah untuk memunculkan institusi yang mempunyai keunggulan kompetitif internasional.
57. Aspek lainnya yang terkait dengan pola pendanaan investasi adalah: 1) apakah pendanaan tersebut juga terbuka bagi perguruan tinggi swasta? Tidak ada rasional yang obyektif dan pasti untuk hal ini, sepenuhnya merupakan kebijakan pemerintah, yang penting adalah adanya konsistensi; 2) pendanaan seyogyanya menggunakan pola block-funding supaya efisien dan efektif; 3) institusi perlu mempunyai rekening khusus untuk dana investasi ini agar supaya jelas akuntabilitasnya.
58. Perguruan tinggi negeri pada saat ini cenderung mencari pendapatan lain dengan cara mengeksploitasi semua potensi yang ada. Hal ini tidak jarang menimbulkan berbagai persoalan seperti mengalahkan kepentingan akademik untuk kepentingan komersial. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, karena lembaga pendidikan tinggi adalah non-profit dan pendidikan tinggi bukanlah komoditi komersial, maka perlu diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga lembaga tersebut.
59. Pada saat ini terdapat dua cara untuk memperoleh tambahan pendapatan bagi perguruan tinggi negeri, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Yang pertama adalah melalui mahasiswa non-reguler yang membayar penuh seluruh biaya pendidikannya (tanpa subsidi pemerintah). Mahasiswa ini adalah mereka yang dibiayai oleh perusahaan atau membayar sendiri untuk mengikuti kursus singkat/pelatihan (pendidikan sepanjang hayat — lifelong learning). Cara ini adalah cara yang elegan untuk memperoleh tambahan pendapatan dan sejalan dengan misi perguruan tinggi. Namun demikian perlu diwaspadai adanya hal negatif berikut ini.
60. Pertama, ada kecenderungan bagi para staf pengajar untuk melayani mahasiswa non-¬reguler tersebut dengan lebih baik dibandingkan dengan pelayanan untuk mahasiswa reguler (karena adanya perbedaan status). Ke dua, ada kecenderungan bahwa matakuliah tertentu yang sangat populer hanya ditawarkan kepada mahasiswa non¬-reguler karena akan mendatangkan uang. Ke tiga, ada kesulitan dalam pembukuan keuangan perguruan tinggi dalam menentukan besaran satuan biaya pendidikan yang sebenarnya, karena ada kemungkinan kerancuan dalam penggunaan fasilitas pendidikan yang disubsidi pemerintah untuk mereka yang non-reguler sehingga pada akhirnya yang terjadi adalah subsidi silang oleh pemerintah bagi mahasiswa non-¬reguler.
61. Perguruan tinggi negeri dan pemerintah harus mengupayakan adanya kendali dan pengawasan yang ketat sehingga ke tiga hal yang dikhawatirkan di atas tidak akan terjadi. Adanya otonomi dan pendanaan berbasis block-funding menjadi sangat penting untuk meminimalkan terjadi hal di atas.
62. Cara ke dua untuk memperoleh pendanaan adalah melalui kegiatan penelitian dan proyek kontrak lainnya. Kegiatan tersebut dapat didanai oleh sektor swasta atau oleh pemerintah pusat maupun daerah sesuai dengan jenis pekerjaannya.

Pengawasan
63. Bagi institusi yang memperoleh otonomi finansial, fungsi pengawasan menjadi sangat penting dan konsep pengawasannya sangat berbeda dengan pengawasan yang selama ini dikenal di instansi pemerintah. Pengawasan tersebut akan diarahkan kepada pemenuhan kewajiban sesuai dengan peruntukan block-funding, apakah telah sesuai dengan tujuan pendanaan tersebut.
64. Termasuk dalam pengawasan ini adalah pengawasan terhadap tindakan korupsi dan penyalahgunaan dana pemerintah untuk sektor yang seharusnya tidak disubsidi. Dengan demikian pengawasan dilakukan tidak hanya terhadap perolehan dana dari pemerintah akan tetapi juga terhadap dana yang diperoleh dan sumber lainnya secara komprehensif. Pola pengawasan semacam ini sudah normal dilakukan untuk institusi yang otonomi secara finansial.
65. Untuk keperluan tersebut di atas, perlu ditetapkan adanya pengawas eksternal yang mampu melakukan post-hoc auditing. Hasil pengawasan oleh pengawas eksternal tersebut kemudian dijadikan dokumen publik.
Transisi
66. Untuk menjembatani antara kondisi saat ini (sebagai PTN) sampai dengan saat sudah menjadi BHMN sepenuhnya, perlu adanya pola transisi yang sesuai sehingga tidak terjadi stagnasi proses pendidikan di perguruan tinggi. Dalam Peraturan Pemerintah yang terbit untuk ke 4 PTN (UI, UGM, ITB, IPB) dinyatakan bahwa masa peralihan untuk masalah kepegawaian (dari semula PNS menjadi non-PNS) adalah selama 10 tahun. Untuk masa transisi ini diperlukan pola pendanaan yang tepat karena masih tercampur antara pegawai yang PNS dan non-PNS serta pendanaan berbasis block-funding sudah harus dimulai.
Kesiapan Perguruan Tinggi
67. Sebelum perguruan tinggi siap melakukan proses otonomi sebagai BHMN, maka paling tidak terdapat tujuh butir yang harus dipersiapkan oleh perguruan tinggi sampai kepada tingkat sistem dan operasionalnya:
a. mahasiswa
b. matakuliah
c. manajemen
d. sumber daya manusia
c. keuangan
f. perolehan pendapatan
g. administrasi yang profesional
68. Perguruan tinggi umumnya telah siap dengan sistem dan operasional untuk ke dua butir teratas, yaitu sistem untuk mahasiswa (misalnya pendaftanan, pendataan, pemantauan, hasil ujian, profil mahasiswa, data alumni dll.) dan sistem untuk matakuliah ( misalnya isi kurikulum, tatacara dan modus penyajian, matakuliah yang terkait, dosen yang relevan, pencatatan dan pendataan matakuliah, hasil pembelajaran yang diharapkan, tuntutan mahasiswa, tingkat keberhasilan mahasiswa, dll).
69. Kelima butir lainnya perlu dipersiapkan baik secara khusus oleh perguruan tinggi maupun bersama dengan pemerintah pusat (Ditjen Dikti dan instansi terkait lainnya). Persiapan terhadap ke lima butir dimaksud hendaknya menjadi prioritas utama demi terlaksananya proses perubahan menjadi PT-BHMN.
70. Dalam bidang manajemen, perguruan tinggi hendaknya mempunyai beberapa hal sebagai berikut:
a. tatacara keterlibatan Majelis Wali Amanat dalam hal penetapan kebijakan strategis perguruan tinggi maupun keputusan penting lainnya. termasuk di sini kemampuan Majelis Wali Amanat untuk memberikan akuntabilitas perguruan tinggi terhadap external-stakeholders;
b. suatu sistem yang menggambarkan strategi masa depan yang didasarkan pada evaluasi diri;
c. suatu proses perencanaan yang meliputi seluruh kegiatan operasional (termasuk cara penetapan dibuka/ditutupnya suatu program/kegiatan) yang juga dapat digunakan untuk menetapkan anggaran total perguruan tinggi;
d. mekanisme pengalokasian sumber daya di antara berbagai komponen yang ada di perguruan tinggi;
e. adanya kebijakan perguruan tinggi mengenai kegiatan pembelajaran (bukan pengajaran), kegiatan penelitian, pemasaran/promosi, kegiatan perolehan dana maupun kegiatan tambahan para staf;
f. mekanisme internal yang efektif untuk jaminan kualitas pembelajaran dan penelitian - hal ini untuk pengukuran tingkat keberhasilan ditinjau dari aspek mutu;
g. tatacara penilaian akuntabilitas setiap individu perguruan tinggi (akademik maupun non-akademik).
h. sistem informasi manajemen yang memadai (tidak harus terlalu canggih);
i. struktur manajemen yang jelas dalam hal pendelegasian kewenangan, hal ini untuk mencegah kesalahpahaman antara individu dengan panitia/kelompok kerja dalam hal pembagian tugas.
71. Dalam bidang sumber daya manusia, perguruan tinggi perlu mempersiapkan beberapa hal berikut ini untuk kesiapan menjadi BHMN :
a. rancangan kontrak kerja untuk seluruh kategori staf yang ada;
b. rancangan skala pembayaran beserta kriteria yang akan diterapkan kepada staf perguruan tinggi;
c. rancangan tunjangan pensiun bagi staf perguruan tinggi, termasuk pembagian tanggungjawab antara pemerintah, perguruan tinggi dan individu yang bersangkutan;
d. kebijakan dan prosedur pemberian penghargaan dan rekrutmen staf berdasarkan prestasi/kinenja yang terukur, termasuk di sini pola penilaian staf dan pengembangan staf;
e. pola pemberian sanksi bagi staf yang tidak menunjukkan prestasi/kinerja;
f. tatacara penanganan jika terjadi tuntutan oleh staf (sebagai pegawai) terhadap pimpinan perguruan tinggi (sebagai pemberi kerja);
g. sistem pencatatan personil yang dikaitkan dengan sistem pembayaran gaji.
72. Dalam bidang keuangan, perguruan tinggi perlu mempersiapkan beberapa hal berikut ini untuk kesiapan menjadi BHMN
a. prosedur finansial lengkap dengan tingkat pendelegasian kewenangannya;
b. sistem pembukuan yang lengkap termasuk rekening masuk maupun yang harus dibayarkan;
c. sistem pembayaran gaji yang dikaitkan dengan pengeluaran lain di perguruan tinggi;
d. adanya metode analisis biaya yang memungkinkan perkiraan pembiayaan berbasis aktivitas;
e. mekanisme untuk pemantauan- pengendalian terhadap pemasukan dan pengeluaran yang bersifat regular;
f. pengaturan manajemen aliran uang tunai;
g. pengaturan proses pengadaan;
h. pencatatan aset kapital dan sistem finansial untuk pengelolaan lahan dan bangunan termasuk pemeliharaannya;
i. pengaturan perihal perbankan dan perpajakan serta kewajiban finansial lainnya.
73. Adanya otonomi finansial bagi perguruan tinggi mempunyai konskwensi bahwa jika tidak ditangani secara cermat keuangannya akan dapat menyebabkan kebangkrutan perguruan tinggi tersebut. Hal ini telah terjadi di beberapa negara, dan jika ini terjadi maka baik pemerintah maupun perguruan tinggi akan mengalami suatu kerugian. Dana masyarakat yang ada di perguruan tinggi tersebut harus dilindungi/diamankan sebagai bentuk pertanggung jawaban/akuntabilitas publik.
74. Dalam bidang perolehan pendapatan, perguruan tinggi perlu mempersiapkan beberapa hal berikut ini agar siap menjadi BHMN :
a. kebijakan perguruan tinggi untuk mendorong stafnya untuk memperoleh pendapatan tambahan atas nama perguruan tinggi;
b. mekanisme yang mengendalikan proses perolehan pendapatan sehingga tidak mengorbankan misi akademik perguruan tinggi;
c. aspek legal dan ketentuan pajak bagi setiap perusahaan yang didirikan oleh perguruan tinggi tersebut dalam rangka perolehan tambahan pendapatan;
d. kebijakan pendistribusian pendapatan yang diperolch oleh staf atas nama perguruan tinggi (pembagian keuntungan di antara staf bersangkutan, institusi dan lainnya);
e. kebijakan mengenai penanganan paten dan royalti yang diperoleh staf atas nama perguruan tinggi;
f. sistem yang akurat mengenai perhitungan biaya pekerjaan yang dilakukan staf atas nama perguruan tinggi (termasuk perhitungan overhead perguruan tinggi), dan sistem pemantauan penggunaan dana selama pekerjaan berlangsung;
g. ketentuan internal mengenai peluang mencari tambahan pendapatan bagi staf tetap (full-time staff) sehingga tidak meninggalkan tugas utama dan tidak kemudian dikategorikan sebagai staf tidak tetap (part-time).
75. Untuk penanganan administrasi yang profesional, pada saat ini perguruan tinggi mengalami kesulitan untuk memperoleh tenaga yang memenuhi syarat karena berbagai macam alasan, diantaranya belum memadainya penghargaan dengan ketrampilan mereka. Untuk mengatasi hal ini, perguruan tinggi perlu bekerja keras secara bertahap menseleksi personil administrasi yang profesional dan bila perlu melakukan bcrbagai pelatihan.
76. Pemerintah perlu melakukan pembimbingan dan asistensi serta dialog dengan perguruan tinggi dalam rangka mempersiapkan diri menjadi BHMN, terutama dalam hal pemenuhan seluruh aspek yang telah diuraikan di atas. Keberhasilan otonomi sangat tergantung pada landasan vital antara lain : kerangka legal yang kuat, mekanisme block-funding, jaminan mutu dan administrasi yang profesional.

----oOo---

SALINAN
KEPUTUSAN
DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28/DIKTI/Kep/2002
Tentang
PENYELENGGARAAN PROGRAM REGULER DAN NON REGULER
DI PERGURUAN TINGGI NEGERI
DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI,
Menimbang :
a. bahwa penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri hanya dapat dilakukan dalam bentuk program reguler dan non reguler;
b. bahwa program non reguler di Perguruan Tinggi Negeri dapat membuka kesempatan bagi masyarakat untuk menggunakan fasilitas belajar di luar waktu penyelenggaraan program reguler;
c. bahwa penyelenggaraan program non reguler dapat memberikan kesempatan bagi Perguruan Tinggi Negeri untuk memperoleh tambahan dana dari masyarakat;
d. bahwa penyelenggaraan program reguler dan non reguler perlu diatur dengan cermat agar terjadi sinergi serta dapat terwujudnya kesinambungan/peningkatan sarana dalam proses pembelajaran;
e. bahwa Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri perlu mengarahkan dalam pengendalian penyelenggaraan program reguler dan non reguler;
f. bahwa untuk hal-hal tersebut dalam butir a sampai dengan e, perlu ditetapkan ketentuan tentang penyelenggaraan program reguler dan non reguler di Perguruan Tinggi Negeri;
g. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perlu ditetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi tentang Penyeleng-garaan Program Reguler dan Non reguler di Perguruan Tinggi Negeri.
Mengingat :
1. UndangUndang Nomor 2 Tahun 1989;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 1999;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia :
a.. Nomor 85/M Tahun 1999;
b. Nomor 102 tahun 2001
4. 4. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional :
a. Nomor 232/U/2000;
b. Nomor 234/U/2000;
c. Nomor 173/U/2001
d. Nomor 176/O/2001
e. Nomor 178/U/2001;
f. Nomor 184/U/2001
g. Nomor 045/U/2002
Memperhatikan : Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi No. 982/D/T/2002.
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
KETENTUAN MENGENAI PENYELENGGARAAN PROGRAM REGULER DAN NON REGULER PADA PERGURUAN TINGGI NEGERI.
Pasal 1
(1) Program reguler adalah program pendidikan yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi Negeri yang diikuti oleh peserta didik secara penuh waktu pada program studi yang telah memperoleh ijin penyelenggaraan dari pemerintah;
(2) Progran non reguler adalah program pendidikan yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi Negeri yang diikuti oleh peserta didik secara paruh waktu pada program studi yang telah memperoleh ijin penyelenggaraan dari pemerintah;
(3) Peserta didik program reguler menempuh pendidikan secara penuh waktu sesuai dengan beban studi nominal sebesar 18 (delapan belas) sks per semester untuk program diploma dan program sarjana, dan sebesar 12 (dua belas) sks per semester untuk program pasca sarjana;
(4) Peserta didik program non reguler menempuh pendidikan secara paruh waktu dengan beban studi maksimal 9 (sembilan) sks per semester untuk program diploma dan program sarjana, dan maksimal 6 (enam) sks per semester untuk program pasca sarjana;

Pasal 2
(1) Penyelenggaraan program non reguler hanya dapat dilakukan pada program studi yang mempunyai program reguler;
(2) Keputusan penyelenggaraan program non reguler ditetapkan oleh Senat Perguruan Tinggi;
(3) Pada tiap program studi jumlah peserta didik program non reguler tidak boleh melebihi jumlah peserta didik program reguler;
Pasal 3
(1) Seleksi peserta didik program reguler dilakukan melalui salah satu dari 3 (tiga) alternatif sebagai berikut :
a. Seluruh calon peserta didik diseleksi oleh Perguruan Tinggi Negeri berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Senat Perguruan Tinggi Negeri;
atau
b. Sebagian calon peserta didik diseleksi melalui pola penelusuran minat dan bakat atau pola penjaringan bibit unggul daerah dalam rangka pemerataan, dan sebagian lainnya diseleksi melalui ujian masuk bersama, di mana penetapan proporsi antara ke dua bagian tersebut dilakukan oleh Senat Perguruan Tinggi Negeri;
atau
c. Seluruh calon peserta didik diseleksi melalui ujian masuk bersama;
(2) Tata cara seleksi peserta didik program non reguler ditetapkan oleh Senat Perguruan Tinggi Negeri;
(3) Seleksi peserta didik harus menganut prinsip berkeadilan, tidak eksklusif, mampu menjaring calon yang berasal dari golongan ekonomi lemah, dan tidak menggunakan standar ganda;
Pasal 4
Penyeleggaraan program non reguler tidak boleh mengurangi peluang pengembangan kapasitas dan kesempatan belajar maupun suatu penyeleng-garaan serta kesinambungan/peningkatan sarana dan proses pembelajaran program reguler;
Pasal 5
(1) Penyelenggaraan program reguler dan non reguler harus sesuai dengan kaidah, norma dan kepatutan akademik tanpa ada pemampatan, penyederhanaan dan berbagai tindakan lain yang cenderung memper-mudah.
(2) Mutu lulusan program non reguler tidak boleh lebih rendah dari program reguler;
Pasal 6
(1) Biaya pendidikan yang dikenakan kepada peserta didik program reguler dapat ditetapkan secara proporsional atau berjenjang dengan memperhatikan 4 (empat) aspek sebagai berikut :
a. Besarnya kebutuhan dana untuk operasional pendidikan berdasarkan standar mutu yang berlaku;
b. Besarnya subsidi pemerintah dalam bentuk anggaran rutin dan anggaran pembangunan;
c. Kemampuan ekonomi rata-rata masyarakat di propinsi tempat perguruan tinggi berada;
d. Mendapatkan persetujuan dari pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) diantaranya Gubernur Propinsi;
(2) Biaya pendidikan yang dikenakan kepada peserta didik program non reguler lebih tinggi daripada biaya pendidikan yang dikenakan kepada peserta didik program reguler karena program non reguler tidak memperoleh subsidi pemerintah.
(3) Penetapan besarnya biaya pendidikan yang dikenakan kepada peserta didik dilakukan oleh Senat Perguruan Tinggi Negeri;
Pasal 7
Perencanaan dan penggunaan dana yang diperoleh dari penyelenggaraan program reguler maupun non reguler serta pengalokasiannya dilakukan sepenuhnya oleh Rektor Universitas/Institut Negeri, Ketua Sekolah Tinggi Negeri, atau Direktur Politeknik Negeri berdasarkan ketentuan yang berlaku, termasuk pelaporan dalam bentuk Daftar Urutan Rencana Kegiatan (DURK) dan Laporan Keuangan Tahunan kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.
Pasal 8
Hal-hal lain yang belum diatur dalam Keputusan ini akan ditetapkan lebih lanjut dalam ketentuan tersendiri
Pasal 9
Dengan berlakunya Keputusan ini maka Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 199/DIKTI/Kep/1996 tanggal 24 Juni 1996 dinyatakan tidak berlaku;

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 5 Juni 2002
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Ttd,
Satryo Soemantri Brodjonegoro
NIP. 130 889 802
SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada :

Salinan Keputusan ini disampaikan kepada :
1. Sekretariat Negara
2. Sekretariat Kabinet
3. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
4. Menteri Pendidikan Nasional
5. Inspektur Jenderal Departemen Pendidikan Nasional
6. Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional
7. Kepala Balitbang pada Departemen Pendidikan Nasional
8. Semua Dirjen dalam lingkungan Departemen Pendidikan Nasional
9. Semua Sekretaris Ditjen, Itjen dan Balitbang dalam lingkungan
Departemen Pendidikan Nasional
10. Semua Direktur dalam lingkungan Ditjen Dikti
Disalin sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Kepegawaian dan Tatalaksana
Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional
Drs. Syuaiban Muhammad
NIP. 130 818 954



0 komentar: