Bila Militer Masuk Kampus

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks



ABRI masuk desa manunggal dengan rakyat, ABRI (militer) masuk kampus, Ups... nanti dulu!
Pendidikan tinggi merupakan bagian dari komunitas ilmiah yang mempunyai otonomi dalam menjalankan peran dan fungsinya seperti yang tercakup dalam tridarma perguruan tinggi, pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Untuk itu kampus harus mempunyai otonomi dengan tetap memegang teguh konstitusi negara. Otonomi itu dapat berupa pembiayaan mandiri dalam pengembangan kampus, dapat memilih rektor dan dekannya secara demokratis tanpa adanya pertimbangan politis dari pemerintah. Selain itu, elemen akademisi kampus juga bisa melakukan kegiatan seperti mengundang tokoh masyarakat, guru besar-guru besar dari perguruan tinggi lain untuk memberikan ceramah atau diskusi, tanpa harus meminta izin terlebih dahulu dari pemerintah.
Menurut UU perizinan yang dikeluarkan tahun 1995, untuk kegiatan kemahasiswaan di dalam kampus tidak perlu dimintakan izin pada pihak kepolisian, cukup berupa pemberitahuan saja. Ini karena rektor selaku pimpinan kampus dianggap bertanggung jawab atas seluruh kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam kampusnya. Dan Rektor pula yang berhak untuk mengizinkan atau tidak suatu kegiatan.
UI pernah mempraktekkan hal itu ketika Prof. Mahar Mardjono menjabat sebagai rektor. Ketika itu sedang ramai-ramainya gelombang protes mahasiswa UI terhadap kebijakan dan jalannya pemerintahan. Kemudian pihak militer mencoba menghalau aksi tersebut dan berusaha memasuki kampus UI Salemba dan Alhamdulillah hal itu tidak terjadi. Masuknya militer ke kampus dalam penilaian Prof. Mahar Mardjono (Rektor UI periode 1973-1987) tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi malah akan menimbulkan kerusuhan dan mengakibatkan jatuhnya korban di kedua belah pihak. Karena secara psikologis, sikap represif militer tentu akan dilawan oleh semangat idealisme mahasiswa.
Melihat kasus-kasus yang terjadi belakangan ini berkaitan dengan masuknya militer ke kampus, seperti yang terjadi di Universitas Muslimin Indonesia di Ujung Pandang, Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, Unsyiah di Banda Aceh dan kampus lainnya di Indonesia hingga masuknya militer ke kampus Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta belum lama ini. Sejarah juga membuktikan bahwa kehadiran militer di kampus tidak pernah menyelesaikan masalah.
Dalam statuta Perguruan Tinggi disebutkan bahwa kampus mempunyai kebebasan mimbar. Kebebasan mimbar yang dimaksud adalah berupa kebebasan pengkajian akademis yang bersifat ilmiah dan bertanggung jawab. Luasnya wilayah akademis bukan menjadi alasan kebebasan tersebut digunakan untuk hal-hal yang destruktif keluar dari koridor yang telah ada.
Dalam diskusi yang dilaksanakan di Auditorium FEUI belakangan ini mengenai jaminan kepada mahasiswa dari tindak kekerasan di dalam kampus, terungkap bahwa terjadinya kekerasan di dalam kampus disebabkan oleh banyak hal. Dan yang berhak menyelesaikannya adalah elemen yang ada di kampus seperti dosen, mahasiswa melalui SM fakultas/Pusat, aparat keamanan (satpam, red), atau Resimen Mahasiswa yang merupakan perwujudan otoritas kampus dalam menjaga keamanan intern. Satu hal yang harus dihormati adalah bahwa masing-masing intitusi mempunyai integritas dalam memandang dan menyelesaikan permasalahan "dalam negerinya".
Dalam memandang berbagai kasus tindak kekerasan yang dilakukan oleh militer terhadap institusi pendidikan tinggi maka terlihat adanya pergeseran nilai di dalam tubuh militer. Bila sebelumnya kehadiran militer di kampus sebagai tamu tak diundang berorientasi politik maka kini yang lebih parah adalah militer sebagai aparat hukum melakukan tindakan main hakim sendiri yang disertai dengan tindakan perusakan fasilitas kampus. Dan ini terjadi dalam kurun waktu yang pendek. Itu menunjukkan masih adanya arogansi dalam tubuh miiter kita. Di samping itu juga menunjukkan bahwa tindakan represif masih jadi pilihan utama.
Maka wajar bila mahasiswa menuntut secara kelembagaan agar pihak militer bertanggung jawab bila ada oknum anggotanya yang memaksa masuk kampus tanpa seizin pimpinan kampus, apalagi disertai pengrusakan bangunan kampus seperti yang terjadi di UKI. Baharudin Lopa, salah satu pembicara dalam diskusi di FEUI, menegaskan bahwa kekerasan yang selama ini dilakukan oleh militer merupakan kesalahpahaman dan tidak bersifat komando, artinya itu dilakukan oleh oknum. Benar atau tidak, yang jelas tuntutan agar oknum militer itu ditindak sesuai hukum dan dihormatinya otoritas kampus oleh semua pihak termasuk militer harus dilaksanakan. Tapi, bagaimana bisa, kalau kalangan pendidikan sendiri tidak mendukungnya?
Sutono/Amarta



0 komentar: