Membangun Integritas Perjuangan

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks




Oleh :
Rifky Oemar Said Azhurry **


(sebuah catatan kecil perjalanan Gerakan Mahasiswa Indonesia dalam perspektif ekonomi-politik)


Sebuah Pengantar….

Sejarah perkembangan dari masyarakat selalu bersifat maju (progressive) dengan hukum-hukumnya yang bersifat dialektik (saling berlawanan) yang kemudian selalu membawa dampak terhadap terjadinya suatu perubahan. Khususnya dimulai pada abad ke 19 peranan Mahasiswa di berbagai belahan Dunia ini mewarnai perkembangan Sosio-Ekonomi-Politik masyarakat dunia bahkan, ia dapat menjadi suatu katalisator (penghantar) bagi terjadinya suatu Revolusi Sosial.
Kita bisa menelusuri jejak-jejak yang ada seperti apa yang terjadi di Amerika latin, di mana Gerakan Mahasiswa berkembang dari Manifesto Cordoba di Argentina (1918) dengan tuntutan yang bersifat akademis seperti kebebasan akademis, kesejahteraan Mahasiswa, sampai dengan menghasilkan bentuk perlawanan bersenjata (Arms Struggle/Gerilya). Kita juga dapat melihat di Cina dengan Kesetaraan akademis dan Revolusi Kebudayaan, di Jepang dengan Gerakan menentang Kapitalisme-Amerika, di Italia dengan Gerakan menentang kesewenangan pihak Kampus dan di Jerman dengan Gerakan anti-otoritarianisme . Kemudian pada periodesasi 1960-an di Eropa-Amerika yang kita kenal dengan gerakan “New-Left” (kiri-baru) dengan tuntutan diantaranya menolak kekerasan Militer (aneksasi AS atas Vietnam) dan ingin mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan akibat Industrialisasi yang menghasilkan keterasingan (“dehumanisasi”) manusia, dimana hal ini dipelopori oleh kaum “Hippies” (Flower-Generation) dengan karakternya yang menolak sikap Intelektual yang berlagak seperti Nabi serta sikap anti kemapanan dengan ekspresi dan penggunaan atribut mulai dari Jimmy Hendrix sampai dengan Jim Morisson (the Doors) sebagai simbol perlawanan terhadap Kapitalisme. Bahkan sampai dengan faksi-faksi garis keras dari kalangan Mahasiswa yang menghasilkan bentuk aksi Teror seperti pada Brigade-Merah di Prancis-Italia dan tentara Merah di Jepang. Dan kesemuanya itu menunjukan bahwa dalam setiap perubahan besar peran Mahasiswa tidak dapat di sepelekan begitu saja, ia tetap akan selalu berbicara tentang Masyarakat sebagai suatu Realitas yang harus dirubah.
Begitupun dengan di Indonesia sebagai Negara berkembang, peranan dari Mahasiswa sudah menjadi semacam “Truisme” bahwa mereka memainkan perananan sangat aktif dan berposisi sentral dalam percaturan politik. Bahkan peranan dari kalangan Intelektual-muda ini telah terbukti mengisi lembaran sejarah jauh sebelum negeri ini terbentuk.
Tak ada satupun penguasa di Negeri ketiga ini yang membantah dan mengabaikan posisi sosial dan pentingnya representasi politik serta dampak aspirasi dari golongan muda berpendidikan tinggi ini .
Dari situlah kita dapat melihat periodesasi Gerakan Mahasiswa mulai dari Angkatan 1966, 1974, 1978, 1990 sampai dengan angkatan 1998. Sampai-sampai diskursus tentang Fungsi, Peranan dan posisi Mahasiswapun di bahas oleh orang-orang yang bukan Mahasiswa. Lantas kita pun mengenal labelisasi mahasiswa sebagai “Agent of Chance”, “Gerakan Moral”, “Pressure Group”, “Social-Control” sampai bahkan menggambarkan bahwa peranan Mahasiswa itu bagaikan Koboy yang turun gunung memberantas Bandit di kota ataupun sebagai kaum Intelgensia yang bertingkah bagaikan “Resi” dalam budaya konsepsi Feodal-Kolonial Jawa .
Persoalannya yang mungkin bisa kita pertanyakan bersama adalah apakah itu gerakan Mahasiswa ?
Faktor-faktor penentu apakah yang kemudian melandasi terjadinya suatu gerakan ?
Kesemuanya itu tidak akan muncul begitu saja namun, ia terlahir dari proses dialektika yang panjang dan bersifat maju (progressive) dengan hukum-hukum kontradiksi yang menyertainya.

Kilas Balik Gerakan Mahasiswa/pemuda dalam menentang Imprealisme
Indonesia adalah negeri yang strategis, yang memiliki syarat-syarat untuk menjadi negeri yang makmur dan sejahtera; luas tanah dan laut, kekayaan alam, serta jumlah tenaga kerjanya melimpah (86.000.000 tenaga kerja); Letak geografisnya menguntungkan; terletak di antara dua benua, (Asia dan Australia), serta diapit dua Samudera, (Samudra Hindia dan Pasifik, pusat pertumbuhan ekonomi menjelang dan di abad ke 21 nantinya). Kebudayaannya kaya, beragam, dan bila berpapasan dengan kebudayaan rakyat negeri lain, bisa memberi syarat-syarat bagi tumbuhnya masyarakat yang dinamik dan kuat; Indonesia berpotensi membentuk kebudayaan rakyat dunia, satu-satunya kebudayaan yang layak dikembangkan. Tiada alasan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang miskin, tidak adil, dan berkebudayaan cupet (parokial).
Adapun, berbicara tentang status-sosial Mahasiswa pada masa pra-kemerdekaan adalah sesuatu hal yang bersifat ekslusive dan tidak umum, sehingga wajar saja apabila pada masa-masa ini lebih di kenal sebagai Gerakan-pemuda yang mengambil semangat pembaharuan dalam menentang imprealisme penjajah asing. Kalangan intelektual terdidik ini mampu mengambil kepeloporan (kepemimpinan rakyat) mulai dari tingkat pengorganisasian sampai dengan bentuk perlawanan terhadap Imprealisme Belanda.
Pada Tahun 1908-1909, lahir VSTP ( Vereeniging van Spooren Trramweg Personel ) atau Serikat Buruh Kereta Api, bersamaan dengan lahirnya Boedi Oetomo yaitu perkumpulan elite priyayi. Tidak kurang dari dua tahun kemudian tahun 1911 SDI berubah menjadi SI (Sarekat Islam) yang beranggotakan pedagang menengah (borjuis kecil) dimana SI (khususnya cabang Semarang di bawah pimpinan Semaun) sudah lebih berani memiliki orientasi sebagai organisasi sosial-politik, selain itu SI adalah organisasi yang memiliki massa terbesar dan memiliki cabang di berbagai daerah. Akan halnya dengan ISDV (1914) di bawah Sneevliet adalah organisasi sosialis pertama di Hindia yang mengajarkan secara sistematis tentang cara dan bentuk perlawanan terhadap Kapitalis Belanda. Pada saat itu ISDV meragukan kemapuan SI sebagai organisasi berbasis massa terbesar dikarenakan tidak memiliki orientasi politik yang jelas, sehingga pemimpin SI yang muda dan radikal (seperti, Semaun) kemudian secara tidak langsung di didik untuk di matangkan secara “ Sosialis-Revolusioner ”.
Bentuk hubungan antara SI dan ISDV ini, ditandai dengan semakin masifnya perlawanan buruh di kota-kota yang diwakili oleh ISDV dengan Serikat-serikat buruhnya kemudian bentuk perlawanan petani di desa-desa yang diwakili oleh Serikat Islam. Model perjuangan aliansi buruh dan kaum tani adalah bentuk perlawanan yang populer dimana keduanya merupakan elemen potensial revolusioner pada suatu negara yang masih mengalami kapitalisme tahap awal (Kapitalisme yang dicangkokkan oleh Imperialisme Barat) .
Pada periodesasi ini gerakan perlawanan modern pertama menentang Imprealisme Belanda sudah mulai terlihat secara jelas. kita sudah dapat melihat bentuk pelawanan dalam bentuk penerbitan-penerbitan, aksi-aksi massa, mimbar bebas dan pemogokan umum. Hal ini merangsang tumbuhnya organisasi modern di Indonesia maupun di Belanda seperti Perhimpunan Indonesia (PI) salah satu organisasi Mahasiswa Indonesia di Belanda dibawah Moh. Hatta, Iwa Soemantri, Indische Partij (IP) salah satu organisasi pelajar pribumi. Bentuk perlawanan seperti itu adalah sesuatu hal yang baru dan tidak pernah ada sebelumnya dalam sejarah perjuangan melawan Imprealisme Belanda.
Tahun 1923 beberapa mahasiswa Indonesia yang kuliah di Belanda, kembali ke tanah air, dimana beberapanya ada yang langsung bergabung ke dalam gerakan rakyat yang radikal, seperti SI dan PKI. Kemudian yang merasa belum siap mencoba mencari alternatif perjuangan dalam bentuk kelompok- kelompok studi. Kelompok Studi Indonesia (1923) adalah yang pertama berdiri ditanah air (surabaya, dengan tokohnya Dr. Soetomo). Hal yang serupa juga terjadi di Bandung pada tahun 1925 dimana salah satu mahasiswa THS (sekarang ITB) yang terkenal adalah Soekarno dengan nama Kelompok Studi Umum. Dikarenakan Sarekat Islam (SI) sering dikritik secara tajam oleh PKI karena Sarekat Islam (SI) dianggap mendukung kapitalisme (hal itu terlihat dari banyaknya kelompok pedagang yang sudah merasa cukup menikmati keadaan ini). Serta dianggap tidak memiliki orientasi politik yang jelas. Sehingga benih konflik yang tertanam dari dulu akhirnya terbuka dan mengakibatkan terpecahnya SI pada tahun 1924 menjadi dua kubu yaitu SI (dibawah pengaruh Agus Salim) dan SR (Sarekat Rakyat di bawah pengaruh Semaun). Pada tahun 1925 Tan Malaka di Canton Cina mengeluarkan sebuah brosur berjudul “Naar de Republeik Indonesia” atas dasar masih lemahnya orientasi politik dari organisasi pergerakan di Indonesia. Brosur ini berisi tentang program-program politik apa saja dalam usaha melepaskan Indonesia dari Imprealisme Belanda10.
Pada tahun 1926 terjadilah suatu pemogokan besar-besaran yang dilakukan oleh buruh dengan konsentrasi di jawa tengah dengan dukungan petani, di Jawa barat dan aksi serupa dari buruh tani perkebunan di Sumatra Barat. Akibatnya, sekitar 1300 orang ditangkap 1000 orang dibuang ke dalam pedalaman Papua dan 16 0rang di hukum mati. Sementara kalangan kaum terpelajar dan pemimpin-pemimpinnya ditangkap , dipenjara serta ada yang dibunuh. Rencana pemogokan ini sempat di tentang oleh Tan Malaka berdasarkan bahwa; Situasi Revolusioner belum ada,(kekuatan Buruh dan tani masih lemah), PKI masih lemah secara organisasional dan Imprealisme Internasional bersekutu melawan Komunisme. Kegagalan perlawanan ini menjadikan Sarekat Rakyat dan PKI resmi dinyatakan terlarang oleh Belanda.

Dengan dihancur-leburkannya gerakan radikal (sebagai motor dari perjuangan arus bawah) oleh Belanda maka otomatis kondisi politik Indonesia saat itu di pegang oleh generasi kedua (seperti : Perhimpoenan Indonesia dan Kelompok-kelompok study yang tidak memiliki basis massa). Setelah peristiwa itu secara, tersembunyi Semaun menemui Hatta dan menandatangani perjanjian rahasia, selain itu sisa-sisa kekuataan kiri yang ada mencoba membangun kembali dengan cara-cara “klanderstein” (secara sembunyi-sembunyi). Dalam situasi nasional yang buruk, Hatta telah berhasil merumuskan strategi dan taktik dengan munculnya program pembentukan “vanguard party” atau partai kepeloporan, sehingga pada awal tahun 1927 diadakan kongres nasional yang melibatkan ormas-ormas serta tokoh masyarakat dimana pada 4 Juli 1927 atas inisiatif soekarno di deklarasikan PNI (Perserikatan Nasional Indonesia) dengan Soekarno sebagai ketuanya. Dengan demikian upaya-upaya untuk mengkonsolidasikan termasuk melibatkan kalangan intelektual/mahasiswa serta rakyat dimulai. Rapat-rapat umum kembali di mulai, proganda-agitasi serta aksi-aksi massa di lakukan.
Dimana pada tanggal 28 Oktober 1928 sekelompok pemuda-pelajar Indonesia mencoba untuk membangun ikrar bersama lewat “Soempah Pemoeda”, yang menghasilkan 3 pokok pikiran antara lain;
1. tentang pengertian dari “bertanah air satu” merupakan suatu politik geografis imajiner tentang daerah-daerah jajahan Belanda di nusantara,
2. kemudian dari arti “Berbahasa satu” merupakan suatu Identitas baru dimana Belanda secara tidak langsung telah memperkenalkan Bahasa Melayu sebagai pengantar dalam dunia pendidikan11
3. adapun pengertian “Berbangsa satu” merupakan suatu sentimentil nasional12 dikarenakan saat itu masyarakat Indonesia hidup dalam suatu kelompok etnies dan agama.
Tujuan dari gerakan Mahasiswa pemuda pada tahapan ini adalah mempersatukan seluruh rakyat Indonesia dalam ssatu kebulatan tekad melawan Belanda. Pada moment ini konsepsi "nation" secara tidak langsung telah di bangun oleh Gerakan Mahasiswa/pemuda. Imprealisme Belanda kembali berhasil menghancurkan usaha gerakan kemerdekaan ini, dimana sisa-sisa kekuataan progresive yang bergabung dengan PNI (1929 PNI berubah menjadi Partai Nasional Indonesia) berhasil di gulung, pemimpin PNI diantaranya Ir. Soekarno di tangkap dan di penjarakan. PNI akhirnya di bubarkan oleh Ir.Soekarno sendiri (1931) dimana, sisa-sisa kekuataan yang ada membangun Partindo (Partai Indonesia) di ketuai oleh Sartono, adapun hal ini di tentang oleh Hatta karena pembubaran partai dianggap sebagai sikap gampang menyerah kepada Belanda. Sebagai tandingannya lahir kemudian PNI-Baru di bawah Sutan Syahrir, sebagai Partai yang berorientasikan pada pendidikan kader, dengan terjadinya perbedaan yang tidak prinsipil (hanya taktis bukan strategis) dimana pada tahun 1933 Soekarno yang baru keluar dari penjara akhirnya ditangkap kembali bersama Syahrir, Hatta yang kemudian mereka kemudian di asingkan.
Dengan merosotnya kepeminpinan PNI maka membawa akibat pada bentuk strategi dan taktik dalam perlawan itu sendiri, di satupihak ada yang memilih berkooperasi dengan penjajah disisi lain ada yang memilih dengan pola Non-Kooperasi, pro dan kontra semakin sengit sehingga sehingga akhirnya tidak bisa dihindarkan lagi terjadinya perpecahan di kalangan para pejuang kemerdekaan.

Gerakan Mahasiswa/Pemuda di antara Revolusi Nasional ( 17 Agustus 1945 )
Situasi Internasional pada tahun 1939 terjadi Perang dunia II, dimana sebab dari terjadinya PD II tersebut adalah persaingan perebutan pangsa pasar dan sumber bahan baku diantara Negara Imprealis itu sendiri. PD II disebut juga dengan perangnya kaum Kapitalis, karenanya siapapun pemenangnya tetap atas nama Imprealisme. Seiring dengan itu Jepang datang ke Indonesia dan dengan mudahnya mengalahkan Belanda, dimana pada tahun 1945 Jepang harus menyerah kepada sekutu dengan hancurnya Hiroshima dan Nagasaki akibat serangan Bom atom dari Amerika. Kekosongan kekuasaan ini dimanfaatkan oleh para pemuda yang kemudian kita tahu bersama mereka menculik Soekarno-Hatta untuk membacakan proklamasi Republik Indonesia. Beberapa pekan setelah Revolusi Nasional, Tan Malaka yang secara diam-diam kembali ke Indonesia telah memprakarsai aksi-aksi masa di berbagai tempat dengan melibatkan golongan pemuda seperti Adam Malik, Chaerul Shaleh dst. adalah massa aksi terbesar dalam sejarah perjuangan Indonesia. Tujuan massa aksi ini jelas untuk mendukung Republik Indonesia. Slogan-slogan yang di buatnya membakar semangat Revolusi13, istilah Anti-Feodalisme, Sosialisme, Anti-Imprealisme, Revolusioner bertebaran di mana-mana. Sampai-sampai seorang komponis ternama Indonesia Wage Rudolf Supratman membuat sebuah lagu “Indonesia Raya” yang diambil dari bagian akhir sebuah buku berjudul “Massa Actie14 ”
Suka-cita ini tidak berlangsung lama, tiga bulan setelah itu para Pemuda menolak keras upaya Inggris dan Belanda untuk berkompromi, mereka lebih memilih untuk mempertahankan kemerdekaan secara terbuka. Akibatnya pertempuran meletus, sementara Soekarno-Hatta (golongan tua) yang tidak percaya akan kekuatan perlawanan rakyat ini lebih memilih bentuk diplomasi dengan penjajah. Akhirnya pada tahun 1946 para pemimpin dari Persatuan Perjuangan (yang terdiri dari berbagai elemen perjuangan rakyat) di antaranya Tan Malaka di tahan oleh penguasa pemerintah yaitu Soekarno-Hatta. Bentuk penahanan ini merupakan suatu bentuk penggunaan kekuasaan pertama, dengan mengatasnamakan kepentingan Negara Indonesia yang masih seumur jagung. Dalam “Gerpolek” Tan Malaka menerangkan argumennya bahwa penangkapan atas para pemimpin Persatuan Perjuangan berarti pemerintah Republik menukar perjuangan “Massa Aksi” dengan bentuk diplomasi, menukar diplomasi “Bambu Runcing” dengan “Diplomasi Berunding” artinya kemerdekaan 100% Indonesia yang sudah ada di tangan ini sekarang harus mulai diperjuangkan lagi dari nol di karenakan adanya politik diplomasi15.
Perjanjian demi perjanjian di lewati yang mengakibatkan di pecah-pecahnya Republik Indonesia dengan adanya RIS (Republik Indonesia Serikat ) dan hal tersebut jelas merugikan bagi Republik itu sendiri16. Seiring dengan hal itu situasi Revolusioner mengalami anti-klimaknya dimana setelah adanya persetujuan KMB (Konfrensi Meja Bundar) pada tanggal 2 November 1949 di Den Haag Belanda di sepakati bahwa Indonesia harus mengembalikan sumber-sumber produksi yang telah di nasionalisasikan (di miliki oleh rakyat) kepada Belanda. Masa 1945-1950 merupakan momentum yang penting dalam gerakan pemuda dan pelajar: selain melucuti senjata Jepang, ia juga secara dinamis telah membangun kekuatan rakyat melalui melalui organisasi pemuda-pelajarnya seperti : Angkatan Pemuda Indonesia (API), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GERPRI), Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), Pemuda Putri Indoensia (PPI) dan banyak lagi. Namun sorak-sorak kemenangan kecil ini pada akhirnya di lucuti oleh kekuatan reaksioner yang anti perubahan. Rakyat dan kaum Muda progresif di hadapkan pada kenyataan pembelokan arah Revolusi, dengan kembali pulihnya keadaan maka, tradisi gerakan Pemuda-pelajar radikal dengan perjuangan bersenjata (arms struggle) berakhir dengan tanpa meninggalkan apa-apa, Rakyat Indonesia belumlah Merdeka 100%, ia masih terjajah secara Ekonomi dan politik. Revolusi Nasional hanya menghasilkan pembebasan nasional, namun gagal mendirikan pemerintahan kerakyatan.
Di saat Demokrasi Liberal (1950-1959 ) di berlakukan, ternyata tidak memberikan pendidikan politik yang berarti bagi mahasiwa. Pertemuan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) dalam bulan Desember 1955 di Bogor PPMI memutuskan untuk menarik keanggotaannya dari FPI. Dengan demikian jelaslah bahwa keanggotaan PPMI dan FPI yang secara sosiologis dapat memberikan dimensi lingkungan sosial yang lebih luas, dihindari oleh gerakan mahasiswa. Mahasiswa justru melumpuhkan akstivitas politik mereka. Kemudian membius diri dengan slogan-slogan “Kebeba-san Akademik” dan “Kembali ke Kampus”. Mahasiswa lebih aktiv dalam kegitan rekreatif, perploncoan, dan mencari dana.
Pada saat berikutnya, Mahasiswa/pemuda kemudian memasuki dinamika partai politik yang mana, di saat diadakan pemilu yang pertama untuk memilih DPR dan dewan konstituante maka, gerakan mahasiswa muncul dengan warna ideologi partai-partai yang menjadi afiliasinya. Pada saat-saat inilah berdiri organisasi-organisasi Mahasiswa, seperti : HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mhasiswa Nasional Indonesia), Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), CGMI (Central gerakan Mahasiswa Indonesia). Secara tidak langsung kondisi ini melahirkan pertikaian di kalangan Mahasiswa itu sendiri. Padahal pada saat itu rakyat indonesia sangat menuntut agar perjuangan Mahasiswa lebih tertuju terhadap kesejahteraan Rakyat dan melindungi ancaman dari praktek kolonialisme gaya baru (kapitalisme).
Depolitisasi gerakan pemuda dan mahasiswa bermula dari penandatanga-nan kerja sama antara pemuda dan Angkatan Darat 17 Juni 1957. Eskponen gerakan sosialis dan HMI diikut sertakan dalam aktivitas-aktivitas di luar kampus. Sejak awal 1959 mereka telah mengukuhkan hubungan dengan administratur-administratur militer yang berkaitan dengan urusan pemuda dan mahasiswa. Karenanya tidaklah heran apabila wacana gerakan mahasiswa yang pertama kali ada di Indonesia pada tahun 1966 sangat erat hubungannya antara gerakan Mahasiswa dengan kekuatan Militer (khususnya AD).
Kekuatan Militer yang sudah ikut-ikutan main politik sebelumnya mulai berpikir untuk merebut kekuasaan. Menurut Suryadi Radjab17 ada dua skenario besar yaitu;
pertama Skenario G-30 S/PKI dengan memanfaatkan Aksi-aksi Mahasiswa didalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) untuk menggulingkan Soekarno, dimana kekuatan Mahasiswa dianggap paling aman dalam menyerang kekuasaan.
Kedua pembersihan musuh-musuh politik mereka diantaranya perwira-perwira Militer yang di anggap setia-terhadap Soekarno. Dan pembersihan politik yang luas kepada masyarakat umum.
Sehingga meletuslah konflik politik dan Sosial pada tahun 1965-1967, dimana konflik politik diartikan makin meruncingnya perseteruan di kalangan elite Partai, sedangkan Konflik Sosial adalah terjadinya konflik horisontal di masyarakat.
Contoh kasus di Bali ada salah seorang anggota PNI- tiba-tiba bisa dibunuh tetangganya dikarenakan diduga orang PKI (PNI juga berazaskan marxisme namun bukan Komunis) dan hal ini tidak sedikit.
sehingga puncak dari ini adalah tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah politik modern Indonesia. Dimana hampir sekitar 2 juta orang di bantai karena di duga PKI18 dimana korban terbanyak terjadi di pulau Bali. Di mana Sekitar 1,4 juta Orang di jebloskan tanpa proses peradilan, 500.000 di bantai secara massal. Sampai saat ini peristiwa tersebut masih dianggap misteri bagi sebagian Masyarakat. Dengan memaksa keluarnya perintah dari presiden akan pengendalian keadaan darurat maka Supersemar diguanakan untuk mempreteli kekuasaan Soekarno sedikit demi sedikit. Sehingga dengan peristiwa ini maka runtuhlah kekuasaan Soekarno yang di kenal dengan ORDE LAMA.

Lahirnya (Kapitalisme Kroni)
ORDE BARU yang terlahir dari lumuran Darah Rakyat Indonesia tidak muncul begitu saja namun ada faktor-faktor yang mendukungnya antara lain Modal (Capital), Soeharto sebelumnnya sudah melakukan hubungan bisnis dengan para pedagang Tionghoa melalui jaringan perbankan Kostrad. Pada zaman Soekarno berkuasa, Soeharto sudah pengalaman dalam hal penyelundupan barang.
Lahirnya kekuasaan ORBA telah bisa mendominasi seluruh sektor kehidupan rakyat dan tidak ada satupun kekuataan rakyat, baik itu ormas, parpol dan gerakan tradisional di lumpuhkan. KAMI sebagai Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia yang telah berhasil menggulingkan Orde-Lama harus bubar-jalan di karenakan konflik kepentingan dan faksionalisasi di tubuh Gerakan Mahasiswa '66.
Dalam empat hari kekuasaannya Soeharto sudah melakukan pinjaman kepada Bank Dunia, dimana ia sebelumnya sudah mengkonsolidasikan modal beserta sekutunya ( pengusaha Tionghoa, Teknokrat dan Militer). Dengan semboyannya POLITIK NO dan EKONOMI YES Ia sesumbar bahwa yang dapat mengatasi segala permasalahan Rakyat Indonesia adalah Pembangunan. Sehingga munculah doktrin Stabilitas dan keamanan adalah hal yang utama dimana hal itu menjadikan Partai-partai Politik yang ada kemudian di satukan menjadi 2 Partai yaitu PDI dan PPP serta Golongan Karya (Golkar tidak mau disebut dengan Partai), berbagai macam organisasi Tani dan Buruh setelah di lumpuhkan kemudian di himpun dalam satu wadah HKTI (Himpunan Kerukunan Tani) dan FBSI (untuk organisai Buruh) dengan demikian Hak Politik Rakyat sudah dipreteli.
Pada awal 1967 Orientasi ekonomi ORBA adalah pasar bebas, dimana UU Penanaman Modal Asing (PMA) telah di berlakukan memungkinkan Investor asing mendominasi sektor kehutanan, pertambangan, Manufaktur dsb. Di mana dari perkembangan ini maka Gerakan Mahasiswa tahun 1974 merintis tumbuhnya nasionalisme ekonomi yang anti terhadap modal asing.
Adapun Ciri dari angkatan '74 yaitu mereka memiliki organisasi formal (Dewan mahasiswa) dengan isu politik menolak kapitalis jepang, menuntut pengadilan pemerintahan yang korup , menolak kesewenang-wenangan soeharto . Pada saat itu aksi rally (turun ke jalan) Mahasiswa mulai di identikan dengan destruktif dan memancing Kerusuhan. Lalu kita pun mengenal dalam buku sejarah peristiwa "MALARI".
Pada tahun 1978 di anggap sebagai kebangkitan kembali dari Gerakan Mahasiswa..pada saat itu kekuataan kelembagaan formal Mahasiswa dengan DEMA-nya ( Dewan-Mahasiswa) melakukan aksi protes terhadap pemerintahan Soeharto yang sudah di pandang sangat korup. Tuntutan Mahasiswa pada saat itu tidak tanggung-tanggung yaitu meminta "Soeharto mundur dari jabatannya" . Efek dari itu semua maka Dema di bubarkan dan di mulailah NKK-BKK di terapkan sebagai upaya untuk menghancurkan kekuataan Mahasiswa.Gerakan mahasiswa tahun 1978 gagal menumbangkan Soeharto karena pada saat itu sedang kuat-kuatnya, kemudian setelah anjloknya harga minyak, Soeharto mulai berpaling pada modal asing yang dilakukan lewat deregulasi dimana terjadi mono politik dan proteksi mulai dibuka akibatnya subsidi mulai dikurangi, kemudian industri dirubah menjadi eksport nonmigas (textil, pakaian jadi, kayu lapis.). implikasi dari berkembangnya industri ini tahun pada era 1980-an ini, menghasilkan pertumbuhan ekonomi kira-kira 11% tetapi jumlah buruh industri makin bertambah yang kemudian akan membuka kontradiksi baru antara buruh dan modal. Dan karena makin banyaknya buruh, demonstrasi dan mogok mulai berjalan dengan tujuan melakukan perlawanan terhadap pemodal. Disamping itu ada upaya-upaya pemodal dalam negeri dan asing yang mulai masuk ke dalam segi tani lewat intensifikasi dan dari sinilah muncullah kasus-kasus pertanahan.
Seiring dengan gerak sejarah Masyarakat progressive maka, Gerakan Mahasiswapun berubah metode dan geraknya mengikuti hukum-hukum perkembangan masyarakat. Dimana pada tahun 1980 sampai tahun 1997 mahasiswa mempunyai dinamika yang berebeda mereka mencari aktivitas lain diluar kampus dengan isu kerakyatan. Model organisasinya non formal (kantong-kantong gerakan), gerakannya bersifat menyeluruh, sinergis, melebar dengan model ragam komite aksi karena banyaknya isu yang diangkat. Maka model organisasinya beragam sehingga ada yang membentuk LSM, kellompok studi, kelompok aksi jalanan.
Memang secara moral mahasiswa mempunyai peran-peran yang cenderung reaktif hal tersebut terlihat dari organisasinya yang tidak tertata rapih. Gerakan mahasiswa tahun`78 melahirkan gerakan mahasiswa tahun 1980-an, dengan koreksinya adalah sebagai berikut :
1. Orientasi moral dari gerakan Mahasiswa itu sendiri, kelemahannya mahasiswa hanya menentang terhadap lahirnya rezim-rezim baru
2. Organisasi gerakan mahasiswa hanya menjadi hanya menjadi tangga jabatan bagi aktifis mahasiswanya, seperti Arief rahman hakim yang dikenal sebagai pahlawan tidak banyak memberikan perubahan sosial di masyaraykat
Ketika diberlakukannya NKK/BKK peran sosial politik mahasiswa termarginalisir secara sistematis. Peran cenderung hanya diberi kepada lembaga-lembaga formal (senat) yang pada kemudian hari justeru tidak lagi menjadi lembaga milik mahasiswa yang berjuang bagi aspirasi mahasiswa. Sistem, mekanisme dan hirarkis struktural dalam senat mengakibatkan lembaga itu hanya menjadi mesin pelegitimasi setiap keputusan pimpinan perguruan tinggi. Proses depolitisasi yang direkayasa ini semula dimaksudkan kekuasaan untuk meredam gerakan mahasiswa. Rekayasa ini memang pada tahun-tahun awalnya cukup efektif hingga berikutnya para aktivis mahasiswa justeru perlahan-lahan mulai ter-alienasi dari basis kampusnya. Sementara itu, senat cenderung dikuasai oleh mereka yang mampu menyenangkan hati pimpinan perguruan tinggi. Walaupun demikian, para aktivis mahasiswa tetap mencoba melakukan perlawanan terhadap rejim otoriter orde baru dengan mulai mencari pola dan metode gerakan yang berbeda dari sebelumnya. Ketika tidak lagi mendapat ruang di kampusnya, maka sebagian aktivis mahasiswa mulai terjun ke basis-basis rakyat bersama lembaga swadaya masyarakat, melalui berbagai advokasi kasus-kasus rakyat, seperti Cimacan, Badega, atau advokasi kasus buruh. Sebagian lagi aktif dalam lembaga-lembaga pers kampus.
Pola dan metode gerakan seperti itu sepertinya cukup efektif menjadi alat perekat dan membangun ikatan emosional yang lebih kental di antara sesama aktivis mahasiswa, sekaligus juga menjadi seleksi tingkat kepedulian terhadap mahasiswa-mahasiswa muda. Disisi yang lain, juga semakin mendekatkan mahasiswa pada denyut nadi rakyat dan meneguhkan komitmen keberpihakan serta orientasi gerak pada persoalan-persoalan rakyat. Sementara di tingkatan rakyat, advokasi tersebut serta-merta membangun kekuatan rakyat, sebab dalam sebuah proses advokasi biasanya rakyat akan melakukan pengorganisasian diri dan membangun organisasinya untuk dapat melakukan perlawanan. Tingkat represi orde baru yang cukup tinggi membuat para aktivis mahasiswa menjadi cepat matang, gigih dan terlatih dalam mengatur taktik dan strategi perlawanan. Berbagai peristiwa penangkapan aktivis mahasiswa seringkali muncul di berbagai pemberitaan media massa yang kemudian justeru menjadi pembangkit dan penebar semangat bagi para mahasiswa lainnya. Sebagai contoh, peristiwa April Makasar Berdarah tahun 1995 sedikit banyak juga membangkitkan semangat perlawanan kolektif dan membangun ikatan solidaritas yang semakin mengental, begitu juga penangkapan 21 mahasiswa di DPR/MPR dan berbagai kasus lainnya.
Sekitar tahun 1994 di Jakarta mulai bermunculan berbagai kelompok mahasiswa maupun jaringan mahasiswa yang jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Kelompok-kelompok ini jauh dari bentuk yang permanen sebab cenderung terbentuk karena ikatan-ikatan yang muncul dari isu-isu perekat seperti April Makasar Berdarah, kasus Sri Bintang Pamungkas, HKBP, Pembredelan Tempo, Detik dan Editor, hingga kemudian memuncak dan terakumulasi pada peristiwa 27 Juli 1996. Mulai dari tahun 1994 di antara gerakan mahasiswa sudah mulai nampak polarisasi gerakan yang sebenarnya terjadi karena berbagai persoalan yang tidak prinsipil atau ideologis, melainkan seringkali disebabkan oleh persoalan eksistensi maupun perbedaan analisa dan pola gerakan. Pada tahun-tahun berikutnya persoalan ini semakin meruncing dan mempolarisasikan gerakan mahasiswa pada persoalan yang mulai menyentuh hal-hal yang lebih prinsipil dan sedikit ideologis.
Dan dari koreksi tersebut lahirlah komite-komite advokasi.Sifat dari komite ini sementara sehingga kekuatan komite-komite dianggap lemah, kamudian dari komite-komite ini lahirlah LSM-LSM yang berpola advokasi. Yang terlahir dari aktifis mahasiswa dan LSM yang menganalisa bahwa penyebab semua ini adalah soeharto dan hal ini berlangsung sampai tahun 1992 dimana saat itu mereka mencoba mengajak PDI agar tidak mencalonkan Soeharto namun hal itu gagal sehingga mucul front-front aksi mahasiswa. Seiring dengan wacana pembangun ala Kapitalisme ini dan ditutupnya ruang politik pada masyarakat menjadikan masyarakat Indonesia sebagai Masyarakat-mengambang (masyarakat yang tidak memiliki hak politik) sehingga dengan gampangnya ORBA melakukan manajemen-konflik diantara sesama Rakyat Indonesia. Hal tersebut terbukti dengan maraknya konflik SARA diantara masyarakat dimana tercatat sekitar 437 tempat Ibadat terbakar, dengan separuhnya terjadi di Pulau Jawa dalam kurun waktu 1997 ( data dari Tempo ). Kekuasaan Rezim Orba yang bertahan cukup lama menjadikan pengamat politik dan ahli Tata-Negara mencoba menguraikan anatomi sistem Orba, adapun Negara adalah alat penjaga modal bagi Kepentingan Bisnis Keluarga Cendana dan Kroni-kroninya. Sangatlah fantastik bahwa Indonesia yang memiliki kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke hanya di peruntukan bagi Keluarga Cendana. Pada akhir 1997 bangunan ekonomi ORBA yang rapuh sudah terlihat amat jelas, dimulai dengan macetnya kredit disektor perbankan dikarenakan tidak berjalannya proyek-proyek dalam skala High-Value (bernilai Investasi besar), seperti Pembangkit Listrik Payton milik Tutut, Proyek Apartemen mewah. Sistem Ekonomi “Trickle Down Effect” yang di banggakan selama ini mulai dipertanyakan kembali oleh para Kapitalis-lokal ?
Krisis Ekonomi dimulai ketika IMF menagih hutang yang di pinjam Indonesia sebesar 144 Milyar dollar US. Dengan rendahnya ekspor, Indonesia memiliki cadangan devisa yang kecil. Hal itu menandakan awal dari tanda Krisis Ekonomi akan melanda Indonesia. Dimulai dengan harga obat naik yang kemudian muncul Isu Kudeta (politik) yang berakibat penyerbuan pembeli terhadap produk susu, dengan penimbunan sembako membuat harga semakin melambung, naiknya bahan bakar minyak sebesar 65% memukul 50 juta rakyat miskin di Indonesia, seiring dengan itu, maka harga-harga sembako merambat naik dengan pesat, dimana pada akhirnya Pemerintah Indonesia sangat terpukul dengan turun drastisnya rupiah sekitar 2400 level mendorong Indonesia masuk kedalam jurang krisis ekonomi
Pada akhirnya sesuai dengan hukum alam dari Kapitalisme yang saling memangsa satu sama lain ini maka Indonesia yang sudah berseteru sebelumnya dengan Jepang, Amerika dan Eropa mengenai kasus Mobnas Timor akhirnya harus di koresi juga oleh Kapitalisme Internasional, Inflasi meningkat sampai 135 %, kemudian pertumbuhan ekonomi -15% (sekitar 7 juta angkatan kerja hilang). Sementara aksi-aksi Mahasiswa semakin masif bergerak di hampir diberbagai daerah secara konsisten dalam bentuk aksi-aksi keprihatinan dan meningkat menjadi aksi protes terhadap kekuasaan Rezim Orba. Di mana pada tanggal 12 mei 1998 enam Mahasiswa Trisakti tertembak mati oleh aparat, keesokannya massa-rakyat yang bersimpati terhadap perjuangan Mahasiswa, sehingga kesokannya harinya terjadi Kerusuhan (chaoz) yang menjalar secara luas di Jakarta dengan secara sistematik, Isu SARA muncul dengan tujuan menciptakan gerakan anti-Tionghoa. Bangunan-bangunan Mewah perlambangan Kapitalisme rusak di bakar dan isinya di jarah, sementara perempuan etnies Cina di perkosa serta dibantai secara sadis.
Soeharto di gulingkan dari tahta kekuasaannya selama 32 tahun lebih berkuasa oleh Mahasiswa dan Rakyat.
REZIM 4 MUKA
Reformasi sudah berjalan lebih dua tahun lamanya, namun belumlah banyak memberikan hasil, krisis ekonomi masih berjalan, kerusuhan juga ada di mana-mana, Aceh-Ambon-Papua masih berdarah, penganguran makin bertambah, kejahatan meningkat, orang nggak bisa sekolah karena mahal namun alangkah bahagianya kita melihat elite politik yang ngakunya “demi-Rakyat” dengan kondisi seperti ini mereka masih ngeributin soal kenaikan gaji, tunjangan, mobil “Volvo” buat dinas, bahkan air mineral yang di Impor dari Swiss buat bikin ngomong tambah lancar di Sidang Tahunan MPR ini. Sementara kondisi sosial-politik-ekonomi saat ini tak menentu, baru-baru ini di seputar proses Pengadilan penjahat-kemanusiaan-terbesar di Indonesia yaitu Soeharto mengalami berbagai kendala. Kita bisa melihat kasus peledakan Bom di gedung Kejaksaan sampai dengan baru-baru ini di Bursa Efek Jakarta (Rabu,13 September 2000) yang memakan korban 7 orang tewas dan sedikitnya 26 orang luka berat. Hal itu menunjukan sudah sangat tidak sehatnya situasi yang ada, artinya kondisi Reformasi yang sudah loyo ini mengakibatkan semakin terpuruknya kondisi rakyat Indonesia !!
Rezim Populis Demokratik saat ini atau yang kita kenal sebagai Rezim-4-Muka (Gus-dur, Megawati, Akbar Tanjung dan Amien Rais) telah berhasil memanipulasi kesadaran Rakyat dengan mengatakan bahwa Pemilu 1999 adalah Pemilu yang sangat Demokratis. Kekuasaan yang ada saat ini tak lain adalah kekuasaan yang sangat kompromistik dan menyebalkan, dari segi departemensinya saja (susunan kabinetnya) sangat cair dan hal itu menunjukan lemahnya kinerja Kabinet. Dengan kondisi seperti itu jelaslah sangat sulit bagi Bangsa ini untuk keluar dari Krisis-multidimensional ini. Elite politik ini jelaslah tidak bisa melakukan pembenahan secara real dan konkrit, yang dilakukan oleh Rezim 4 muka ini tak lain adalah bentuk konsensi-konsensi politik yang bersifat tarik-ulur dalam setiap permasalahan. Dan kita bisa melihat dengan makin seringnya konflik di tubuh elite politik ini, sehingga mengakibatkan terjadinya “stagnasi-politik” (kemandekan) akibatnya, untuk yang kesekian kalinya Rakyatlah yang selalu menjadi Korban dan Tumbal.
Sementara itu kondisi Mahasiswa masih seperti biasa, bercelana jeans, makan kadang telat, jalan kaki dari kost ke kost-an buat cari pinjeman karena uang kiriman telat, bahkan dosen-dosen “killer” di Kampus masih belum insyaf juga. Dalam kondisi seperti ini Gerakan Mahasiswa sudah hampir sekarat, Demo kadang udah enggak populer di Masyarakat, malah ada yang bilang bikin macet sampai bikin rusuh. Asumsi yang menyudutkan Mahasiswa saat ini tidak lepas dari kelakuan Mahasiswa itu sendiri yang “terlena dalam Euforia-Reformasi.
Dengan segala kejujuran yang ada, seharusnya kita mengakui secara terang-terangan bahwa Gerakan Mahasiswa 98’ yang di gembar-gemborkan paling besar ini ternyata sangat prematur ( lahir bukan pada waktunya ) pada kenyataannya kita sebagai Mahasiswa harus menelan pahit bahwa, yang melengserkan Soeharto bukanlah murni peran Mahasiswa namun, faktor dominannya adalah karena krisis ekonomi akibat Indonesia kebanyakan hutang ke IMF dan Bank Dunia, sehingga akhirnya Soeharto harus di ”koreksi” oleh Kapitalisme-Global dengan perantaan Mahasiswa sebagai pelaku utamanya. Sementara Mahasiswa yang di eluk-elukan oleh Pers sebagai pahlawan Reformasi, menjadikan Mahasiswa itu mabuk kepayang atas berbagai pemberitaan tentang dirinya sebagai sosok-muda-Herostik yang peduli atas nasib Rakyat kecil. Akibatnya munculah persaingan dikalangan Mahasiswa itu sendiri, mulai dari rebutan pengaruh sampai dengan lawan jenis. Memang, begitulah kondisi Gerakan Mahasiswa ’98 bagaikan Raksasa berkaki lempung. yang artinya memiliki nilai Historis yang besar namun pada akhirnya tidak berbasis (perlawanan pada tingkatan bawah)
Karena itu ada beberapa hal yang mungkin harus kita ketahui bersama, dengan mencoba merefleksikan kembali dari peristiwa Mei’98. Dalam tulisan singkat ini, mari kita belajar bersama-sama untuk mengkaji dan menyadari segala bentuk kelemahan yang mendasar dari suatu Organisasi gerakan Mahasiswa.

Matinya Gerakan Mahasiswa !!
Kondisi nasional yang seakan tidak memberikan perspektif perubahan yang jelas (buntu) di karenakan adanya pemahaman yang harus kita anasir kembali mengenai pengertian “Masa Taransisi”. Apabila disaat perpindahan Orde-Baru Ke Orde Lama maka terjadi proses “Replacement”, di mana di dalamnya terjadi proses cleansing regime ( lihat korban tahun 1965-1967 ). Sedangkan apa yang terjadi hari ini dalam Orde-Reformasi hanyalah “Transplacement”, yang berarti perubahan elite kekuasaan hanya berganti baju saja, bukan perubahan substansial.
Hal ini terlihat dari sulitnya kalangan pro-demokrasi untuk mengadili bentuk kejahatan kemanusiaan terhadap Soeharto & Kroninya di karenakan masih bercokolnya kekuatan lama (Golkar dan Mikiter). Sementara berbagai konflik sosial-politik lebih mewarnai kehidupan Indonesia yang makin memprihatinkan ini, seperti Sambas, Aceh, Papua, Ambon, Banyuwangi dst (jumlah korban lebih besar dari Revolusi Rusia !!) adalah hal yang di luar kuasa (kemampuan) dari kalangan pro-demokrasi itu sendiri untuk mencegahnya.
Sejarah Gerakan Mahasiswa di Indonesia tidak banyak berbeda dengan sejarah Gerakan Mahasiswa pada umumnya dibelahan dunia manapun. Gerakan Mahasiswa yang didominasi oleh para pemuda yang memiliki watak orang muda yaitu menginginkan perubahan. Dan lahirnya Gerakan Mahasiswa itu tidak dengan perencanaan sebelumnya yang matang, melainkan banyak dikarenakan adanya momentum politik di Indonesia. Pembuktian sejarah gerakan mahasiswa Indonesia sesuai dengan konteks zamannya, haruslah memberikan kesimpulan apakah gerakan tersebut, dalam orientasi dan tindakan politiknya, benar-benar mengarah dan bersandar pada problem-problem dan kebutuhan struk¬tural rakyat Indonesia. Orientasi dan tindakan politik merupakan cermin dari bagaimana mahasiswa Indonesia memahami masyarakatnya, menentukan pemihakan pada rakyatnya serta kecakapan merealisasi nilai-nilai tujuan atau ideologinya.
Dari pemahaman tersebut kita bisa melihat bahwa, perjuangan Gerakan Mahasiswa tidaklah akan ada artinya
Apabila ia tidak memiliki orientasi untuk membangun Gerakan Rakyat. Gerakan Mahasiswa tidaklah dapat berdiri sendiri dan bebas nilai, ia harus memiliki keberpihakannya yang jelas. Karenanya penting untuk kita ingat !! bahwa kedepannya “Gerakan Mahasiswa” sebagai suatu paradigma sudahlah mati !! yang harus muncul di kemudian hari adalah Gerakan Rakyat.
Paradigma pemikiran dari sebuah gerakan harus di bangun berlandaskan landasan nilai-nilai kemanusian dan Moralitas serta rasionalitas yang benar dan bukan sikap emosional yang cenderung nantinya mendorong kita nantinya bersikap Reaksioner. Sebuah Gerakan tidaklah bisa lahir begitu saja tanpa suatu landasan yang jelas serta pembagian kerja yang proporsional. Sebuah Gerakan haruslah membutuhkan sebuah landasan (Teori) dalam bertindak (praktek), karena apabila tidak di landasi strategi dan taktik, sebuah Gerakan akan terjebak kepada :
• Sikap Aktivisme (ikut-ikutan) dari pelaku Gerakan tersebut.
• Tak mengenal arah dan Orientasi.
• Gampang sekali di patahkan dan di hancurkan.
• Sulit di kendalikan / di kontrol
Nilai lebih organisasi dalam gerakan mahasiswa hanyalah bermakna bahwa di dalam organisasi, mahasiswa ditempa dan dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Pemahaman terhadap masyarakat dan persoalan-persoalannya.
2. Pemihakan pada rakyat.
3. Kecakapan-kecakapan dalam mengolah massa.

Ketiga syarat tersebut mencerminkan:
1. Tujuan dan orientasi gerakan mahasiswa.
2. Metodologi gerakan mahasiswa.
3. Strukturalisasi sumber daya manusia, logistik dan keuangan gerakan mahasiswa, dan
4. Program-program gerakan mahasiswa yang bermakna strategis-taktis.

karenanya penting sekali untuk di ketahui bersama tentang landasan dan bangunan dasar (infrastruktur) dari suatu Gerakan tersebut,
Dalam kedepannya gerakan Mahasiswa harus mulai bisa menerjemahkan dari gerak Masyarakat dimana tugas utama Mahasiswa tetap bertumpu terhadap perubahan bagi Rakyat yang benar-benar tertindas. Karenanya ada beberapa hal yang harus di lakukan oleh Mahasiswa diantaranya :

1. PENGORGANISASIAN. Adalah hal yang tidak bisa di tawar lagi !!
Situasi politik sekarang sudah membuka banyak peluang ke arah sana. Regime 4-Muka jelas berbeda dengan Regime Soeharto. Semua itu menjadi dasar objektif untuk kita untuk mengorganisasikan diri dalam berbagai bentuk. Mau bikin partai poltik, Ormas, silahkan saja..!! orang sudah tidak di hambat kembali oleh UU-politik. Bahkan untuk memilih ketua Dewan Mahasiswa dan mengadakan Pemilu di Kampus sudah tidak di larang lagi.

2. BACK-TO CAMPUS
Pengertian dari back-to Campus tidak serta merta hanya sebatas menamatkan study saja..dan melupakan permasalahn di luar kampu sana (isu-isu rakyat), namun ada masalah yang jauh lebih Ideologis untuk di lawan di dalam kampus itu sendiri.
Persoalan Hak Akademis dan Hak politis haruslah bisa di selaraskan kembali. Dimana kemudian Mahasiswa harus mulai membangun wacana dari "student-power" sampai dengan menuju "student-Control" yang kemudian akan melahirkan STUDENT-GOVERNMENT.

3. PENGINTEGRASIAN antara Teori dan Praktek.
Hal ini berupa di bangunnya kembali 3 pilar kekuatan Mahasiswa yang terpecah-pecah saat ini.
3 pilar itu adalah : Kekuataan kelompok Study, pers Mahasiswa dan Parlemen jalanan. Sebagai korps dari kesatuan Gerakan mahasiswa dalam mewujudkan Gerakan Rakyat.

Apa yang kita Ambil dari semua ini ?
Dari gambaran diatas, apakah kita sepakat dengan landasan bergerak kita di dasari oleh moral yang melihat sebuah proses penindasan, proses ketidak adilan, dan proses kesewenang-wenangan yang di lakukan oleh Kaum Penindas terhadap Kaum tertindas ?
Kalau YA, mari kita berjuang bersama-sama untuk melawan setiap bentuk penindasan.
Kalau TIDAK memposisikan diri sebagai pelaku perubahan tersebut maka kalian akan berhadapan dengan Kami yang Tertindas !!..
Proses kesadaran dalam membangun sebuah organisasi perlawanan memang membutuhkan waktu yang sangat panjang. Kita Mahasiswa sebagai “Rakyat Terdidik” hanya mempunyai waktu yang relatif cukup singkat, antara 5 s/d 7 Tahun di bangku Perkuliahan dengan metode pengajaran di bangku kuliah yang kapitalistik, Mahasiswa di paksa dan di seret pada suatu realitas akan pilihan dia untuk menyelesaikan kuliahnya secepatnya. ( tapi tidak sepenuhnya dapat menjawab kemana/ngapain Mahasiswa setelah jadi Sarjana) Hal inilah yang membuat kita sebagai pelaku gerakan itu lupa/tidak sadar untuk menanamkan nilai-nilai perjuangannya itu, sehingga kita dan “Rakyat terdidik” lainnya cenderung menjadi aktivisme (dari aksi ke aksi) tanpa mempunyai landasan gerakan yang benar.
Dari situlah kita dituntut untuk membangun kesadaran melalui proses transformasi kepada “rakyat terdidik” (Mahasiswa) lainnya, dan hal itu bukanlah semacam doktrinisasi. Hal inilah yang membuat kita tidak sadar atau lupa untuk membangun kesadaran politik dengan landasan bergerak yang benar. Dari situlah kita di haruskan melakukan proses transformasi nilai-nilai perjuangannya (kaderisasi) kepada generasi selanjutnya untuk tetap bisa menjaga nilai-nilai idealisme perjuangan kita, serta agar Gerakan tersebut terus berlangsung tidak berhenti sampai disini saja.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa Sejarah yang telah dilakukan oleh Gerakan Mahasiswa tentunya tidak luput juga dari kesalahan-kesalahan sebagai layaknya manusia yang khilaf dan lemah. Bukan menjadi suatu rahasia lagi kalau figur-figur dari Gerakan Mahasiswa ‘98 itu bahkan juga hal itu terjadi di Bali, kadang arogan (angkuh), bertingkah reaksioner, tak bisa menahan diri (emosional), terkesan memaksakan kehendak sehingga nuansa Intrik lebih banyak ada ketimbang Kritik-membangun, dan kalau sudah begini bakal terjadi stagnasi (kemandekan dari suatu gerakan tersebut) dikarenakan terlalu banyaknya konflik ditubuh gerakan itu sendiri. Kondisi itulah akhirnya banyak membawa perpecahan ditubuh Mahasiswa itu sendiri, dan perpecahan tersebut lebih banyak terjadi di karenakan faktor ekstensialis dari pelaku-pelaku Gerakan itu sendiri.
Karena itu kita tidak bisa berlarut-larut melemparkan tudingan bahwa ini adalah kesalahannya siapa ?
Untuk kedepannya kita harus menghindarkan bebrapa sikap ini :
• Bersikap “Subsitusionisme” ,

Hal ini merupakan suatu sikap percaya bahwa hanyalah Gerakan Mahasiswa yang dapat membawa perubahan besar. Hal itu merupakan suatu kesalahan yang teramat fatal bagi Mahasiswa !! dalam sejarahnya yang namanya Mahasiswa belum pernah bisa melakukan Revolusi Sosial seorang diri, namun apabila Gerakan Mahasiswa adalah perangsang (katalisator) terhadap terjadinya suatu perubahan yang lebih besar itu benar adanya. Suatu proses perubahan yang mengatasnamakan “Rakyat” namun tanpa mengikut sertakan partisipasi rakyat adalah suatu kesia-sia-an belaka.
• Bersikap Curiga yang berlebihan dan menutup diri
Sikap curiga dan kehati-hatian yang berlebihan juga merupakan hal yang harus di hindari.
Manusia sebagai Individu yang bebas tentunya tidak lepas dari yang namanya Interaksi, dalam sepanjang sejarah Indonesia Interaksi bahkan meningkat pada akulturasi tidak menimbulkan pertentangan seperti konflik SARA yang marak akhir-akhir ini, Kekuasaanlah yang membuat Masyarakat itu bermusuhan.
Karenanya watak dari menutup diri dan mencurigai berlebihan merupakan ciri dari karakter Feodalisme, dan karena Feodalismelah Bangsa ini bisa dijajah dan diperbudak lebih dari 350 tahun. Pengertian Interaksi di analogikan sebagai Interfensi !! Kondisi seperti itu masih terjadi di kalangan Gerakan Mahasiswa itu sendiri dan itu haus di rubah secara pelan-pelan
• Bersikap Oportunisme
Sikap Opurtunisme sangat potensial melahirkan sikap tidak pernah konsisten terhadap apa yang kita yakini dari sebuah jalannya perubahan, dan hal ini dikarenakan dilandasi oleh metode bergerak yang salah, alias tidak memahami tentang kerja-kerja Gerakan.
• Memaknai Apa itu Manajemen-Konflik
Manusia lahir dalam perbedaan adalah suatu hal yang tidak bisa di salahkan, orang bisa berbeda Suku, Ras, Agama bahkan pemikiran merupakan sesuatu hal yang manusiawi.
Hal ini perlu di cermati, karena akibat perilaku emosional dari seorang Individu yang meledak-ledak dan cenderung memaksakan kehendak akan menimbulkan antipati terhadap orang lain. Pekerjaan yang sangat sulit dari seorang Organizer adalah mengajak orang yang pasif untuk bergerak aktif terhadap setiap permasalahan yang ada di sekelilingnya secara kritis. Karena itu permasalahan mengontrol Emosi adalah hal yang penting dalam memaknai arti Komunikasi dengan orang-orang lain.
Apabila kondisi ini di biarkan berlarut-larut maka visi dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur akan tenggelam dan terkubur karena perilaku Individu yang bodoh dan tidak memaknai tentang arti dari suatu komunikasi yang membawa kearah perubahan tersebut.
• Memaknai Apa itu Ide apa itu Alat ?
Banyak Individu yang tidak memahami arti ini, kadang pula pemahaman yang sempit ini menjadikan ruang gerak yang terbatas bagi seorang Organizer.
Seumpama : Orang kadang kita musuhi secara terbuka karena dia anaknya si anu ! (komunitas lain di luar kita) dimana secara tidak langsung kita sendiri telah mendoktrin diri sendiri bahwa, “Apabila kamu ada di Komunitas ini, maka hidup mati kamu harus di curahkan bagi komunitas ini”
Untuk hal yang satu ini, setidaknya kita harus mengenal terlebih dahulu apa itu Organisasi Gerakan.
Ide adalah sekumpulan pemikiran yang masih abstrak dan bersifat dinamis sedangkan Komunitas/organisasi adalah sekedar alat untuk merealisasikan sebagian kecil dari Ide Abstrak tadi menjadi sesuatu yang lebih Konkrit (nyata).
Untuk mengatasi dan menghindari berbagai hal diatas tersebut adalah dengan sikap kita yang sadar ini secara bersama-sama menjaga dan menyadarkan satu sama lain dalam setiap bentuk kekeliruan atau kesalahan dan kita harus saling mengingatkan bahwa kita masih memerlukan energi dan stamina yang kuat dalam merealisasikan suatu perubahan yang besar tersebut. Kadang, proses perjalanan dari suatu gerakan penuh liku-liku mulai dari berebut pengaruh, pacar bahkan uang kerap kali terjadi dalam dinamika gerakan.
Apabila kita ingin membangun basis-basis perlawanan rakyat maka, harus dimulai memulai membangun basius-basis perlawanan di Kampus yang kemudian di arahkan bahwa proses penyadaran itu harus bertumpu pada kepentingan Rakyat banyak, Rakyatlah yang berhak atas negeri ini. Kita harus menyadari bahwa bahaya terbesar bagi sebuah organisasi kepeloporan Mahasiswa adalah berdekatan dengan Kelompok reformis Gadungan, Kelompok reformis hidupnya sagat tergantung akan kekuasaan. Untuk menghindari kooptasi dan usaha memoderasi dari kalangan reformis ini kita harus bersikap Independen dan tetap menjadi Oposisi terhadap kekuataan kekuasaan. Karena kita percaya bahwa perlawanan yang hebat adalah perlawanan yang dilakukan oleh Massa Aksi dan percaya terhadap Garis Massa dengan membuat barisan bagaikan barisan semut marabunta dan laksana ombak mengikis batu karang.
Suatu proses langkah maju yang harus kita jalankan adalah percaya akan perjuangan dan nilai-nilai kemanusiaan dan moral itu sendiri karena hal itulah yang akan mengikat kita dalam sumpah di bawah panji-panji kebenaran dan keadilan untuk tetap bergerak dan siap sedia menghancurkan setiap bentuk penindasan yang ada.
Dengan tanggung Jawab yang penuh sempurna ini maka kita sudah memulai sebuah pertarungan dalam menegakkan nilai-nilai tersebut dan kita harus siap untuk mengakhiri pertarungan tersebut !!!!
Disinilah kita memulai…!! Disinilah kita Berjalan…!!

TUNDUK DITINDAS Enggak pernah berani Melawan..
KARENA DIAM ATAU MUNDUR ADALAH Hal yg biasa bagi Mahasiswa !!!
Diam dan MemBisu di Antara kEbetean Sosial…
adAlaH MempErpanjaNG SejAraH PerBuDakAN !!
Hidup MaHAsiswa Gaul !!



0 komentar: