Gerakan Mahasiswa, Ujung Tombak Revolusi

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks




Gerakan Mahasiswa, Ujung Tombak Revolusi
Elok dyah messwati





Kompas, Minggu, 21 November 1999

TANGAN-TANGAN terkepal membayang hitam pada sebuah tembok putih yang berfungsi sebagai layar film. Pada tembok itu, terputar film dokumenter berbagai aksi mahasiswa Indonesia selama dua tahun terakhir. Adegan represif aparat bersenjata kepada para mahasiswa yang berdemonstrasi ataupun rakyat sipil yang tengah berada di lokasi kejadian, mendominasi tayan Bersama dengan pemutaran film itu, dengan tangan terkepal, ratusan mahasiswa yang hadir pada pembukaan pameran dan diskusi "Kekerasan Politik dan Gerakan Mahasiswa" yang digelar harian Kompas di Bentara Budaya Jakarta, 16-19 November 1999, menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Setelah itu, serentak mereka mengucapkan "Sumpah Rakyat Indonesia":
Kami Rakyat Indonesia mengaku: bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan. Kami rakyat Indonesia mengaku: berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan. Kami rakyat Indonesia mengaku: berbahasa satu, bahasa kebenaran.
Dalam sambutannya pada pembukaan pameran, Pemimpin Redaksi harian Kompas, Jakob Oetama, mengatakan bahwa mahasiswa berjuang tanpa mengharapkan sesuatu. "Gus Dur menjadi Presiden, Megawati menjadi Wakil Presiden, Amien Rais menjadi Ketua MPR, Akbar Tandjung menjadi Ketua DPR. Sementara mahasiswa mendapat apa? Mahasiswa tidak mendapatkan apa-apa. Mahasiswa justru memberi...," ucap Jakob Oetama. Penyelenggaraan pameran dan diskusi ini berawal dari sebuah keinginan untuk mencatat serta mendokumentasikan rentetan peristiwa yang merupakan titik penting sejarah sosial-politik Indonesia. Rangkaian demonstrasi yang dimotori para mahasiswa menjelma menjadi pressure bagi pemerintahan Soeharto dan terbukti mampu menumbangkan rezim otoritarian itu, 21 Mei 1998, meski untuk menggapai "kemenangan" itu, empat nyawa mahasiswa Trisakti dan ratusan jiwa masyarakat sipil (korban kebakaran pasca 12 Mei 1998) menjadi tumbal.
Mahasiswa menilai, reformasi total belum jalan. Mereka lalu menolak pelaksanaan Sidang Istimewa, November 1998. Tan-pa surut selangkah pun, mahasiswa tetap menggelar aksinya. Korban mahasiswa kembali berjatuhan pada tragedi Se-manggi I, ketika aparat justru menjawab aksi damai mahasiswa dengan gempuran bom air, gas air mata, hingga berondongan peluru. Peristiwa Semanggi kembali terulang saat mahasiswa meneriakkan penolakan atas Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya, September 1999. Semua rangkaian peristiwa pedih itu terdokumentasi rapi lewat foto-foto karya para Pewarta Foto Indonesia dan lewat pemutaran film dokumentasi RCTI, SCTV, TPI, AN-Teve, Fokus-Indosiar, dan film karya Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famret)/Forum Kota (Forkot).
ACARA pameran dan diskusi dibuka oleh Ny Martini Asih Widodo, ibu dari Sigit Prasetyo (mahasiswa YAI korban tragedi Semanggi I). Kemudian dilanjutkan kesaksian oleh para orangtua korban, yakni Asih Widodo (ayah Sigit Prasetyo); Drs Zainal Khairanto, ayah Heru Sudibyo (mahasiswa Univer-sitas Terbuka); Bagus Yoga Nandita, ayah Elang Mulia Lesmana (mahasiswa Universitas Trisakti) dan Arief Priyadi, ayah BR Norma Irmawan/Wawan (mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta).

Melalui kesaksiannya, para orangtua tersebut menceritakan betapa mereka selalu "membentur dinding", ketika menuntut agar kasus kematian putra mereka diusut tuntas. Kekerasan struktural yang mereka alami dan beroperasinya kekerasan di jalanan oleh aparat, mereka bagikan kepada hadirin. "Kami sempat mengelus dada, ketika mobil ambulans yang membawa anak kami dari Ru-mah Sakit Jakarta menuju Ru-mah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk diotopsi, ditembaki oleh aparat pada bodi mobil dekat roda belakang kanan, meskipun melalui jendela mobil sudah dikibar-kibarkan bendera Palang Merah...," tutur Arief Priyadi.

Begitulah. Tindak kekerasan aparat itu terpresentasi pada instalasi Andar Manik (40), alumnus Fakultas Seni Rupa ITB Bandung. Pada ruang di sayap kanan Bentara Budaya, Andar Manik membangun "meja perjamuan" yang ditutup kain putih. Di atas meja tersebut dipampang peta Indonesia yang di sekitarnya diolesi bubuk hitam gas air mata. Terpajang peluru-peluru yang ditaruh di atas piring, gas air mata, bom molotov, ketapel. Dipasang pula tiga TV dan satu proyektor yang memutar film-film kekerasan aparat. Sementara di dinding yang dilapisi kain hitam bertengger helm aparat, tameng aparat, dan topi polisi yang tercecer selama aksi mahasiswa berlangsung. Barang-barang itu adalah milik organ-organ mahasiswa yang terlibat pameran.

Selain itu, juga didirikan stan-stan gerakan mahasiswa, seperti Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) dan Komite Aksi Mahasiswa Jakarta, Forkot, Famred, Forum Bersama (Forbes), Masyarakat Profesional untuk Demokrasi (MPD), Ikatan Generasi Muda Anak Bangsa (IGAB), dan Tim Medis Universitas Tarumanegara.

Forkot yang berdiri awal Maret 1998 dan merupakan gabungan 53 kampus se-Jabotabek, memamerkan media komunikasi mereka: Lapar (Laskar Perjuangan Rakyat). Organisasi ini berciri non-kooperatif dan cenderung radikal. Stan FKSMJ dan Komite Aksi Mahasiswa Jakarta menampilkan poster "Pemberian Gorbachev Award kepada BJ Habibie". Organisasi yang berdiri 1994 ini berciri non-kekerasan. Mereka juga menampilkan masker gas air mata, jaket mahasiswa, dan foto-foto saat berdemo.

Famred yang didirikan 13 September 1998 oleh mahasiswa IKIP Jakarta, STF Driyarkara, Universitas Jakarta, Universitas Atma Jaya, Universitas Taru-manegara dan IISIP, di outlet-nya memamerkan foto. Famred yang berciri aktif non-kekerasan ini juga memproduksi poster, antara lain Stop Militerisme dan No More Riot.

Diskusi pertama dilangsungkan 17 November lalu dengan Tema "Refleksi Gerakan Mahasiswa: Agenda Reformasi Menu-ju Indonesia Baru". Para pembicara adalah Arbi Sanit, Eep Saefulloh Fattah, Muridan, dan wakil komponen pergerakan mahasiswa. Malam harinya digelar festival musik dan puisi ja-lanan. Acara itu diramaikan oleh Harry Roesli. Diskusi kedua bertema "Presentasi Reformasi dalam Media Massa" dengan pembicara, Seno Gumira Aji-darma, Harry Roesli, dan Munir dari Kontras.

Diskusi terakhir, 19 November 1999, "Membentuk Kelas Menengah Kritis" menghadirkan Nono Anwar Makarim, Daniel Dhakidae, Goe I Siaw Hong (aktivis Bursa Efek Jakarta), Iman Librianto, Bara Hasibuan, Prasetyantoko (MPD), dan wakil Forkot/Famred. Rangkaian diskusi dan pameran itu, menurut Muhamad Yasin Pradjadisastra, salah seorang peserta diskusi, merupakan kegiatan untuk mengingatkan mahasiswa bahwa kerja mereka belum selesai. "Mahasiswa perlu terus memelihara semangat dan motivasi mereka agar tetap kritis," katanya. Betapa pun, mahasiswa adalah ujung tombak revolusi negeri ini. (lok)





0 komentar: