krisis pangan

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks


Badan Pangan Dunia (FAO) menandaskan, krisis pangan dunia kali ini akan menjadi krisis global terbesar abad ke-21. Krisis pangan akan menimpa 37 negara di dunia, termasuk Indonesia. Akibat stok yang terbatas harga berbagai komoditas pangan tahun ini akan menembus level yang mengkhawatirkan. Harga jagung akan mencapai rekor tertinggi dalam 11 tahun terakhir, kedelai dalam 35 tahun terakhir, dan gandum sepanjang sejarah.

Stok beras dunia akan mencapai titik terendah yang mendorong harga mencapai level tertinggi selama 20 tahun terakhir, sedangkan stok gandum mencapai titik terendah selama 50 tahun terakhir. Harga seluruh pangan meningkat pada angka fantastis 75 persen dibandingkan 2000. Bahkan harga beberapa komoditas meningkat lebih dari 200 persen.

Menurut perhitungan PBB, sampai awal 2008 secara global kenaikan harga makanan mencapai 35 persen. Harga benih jagung naik 36 persen, dan harga benih gandum naik 72 persen. Sementara itu, harga pupuk juga melonjak sampai 59 persen dan harga pakan naik 62 persen. Dampak kenaikan ini sangat dirasakan oleh masyarakat di negara-negara berkembang, dengan 50-60 persen pendapatan mereka habis untuk membeli kebutuhan makanan, sedangkan di negara-negara maju, hanya 10-20 persen.

PBB menyatakan bahwa perdamaian dunia terancam bahkan bisa mengakibatkan Perang Dunia III (PD III) akibat kecenderungan kenaikan harga-harga bahan makanan yang sudah terjadi di banyak negara. Menurut Direktur Jenderal FAO Jacques Diout, gejala itu sudah terlihat dengan jatuhnya korban dalam aksi massa yang memprotes kenaikan harga makanan.

Protes dan kerusuhan akibat harga pangan yang tinggi, yang dimulai pada akhir 2007, telah terjadi di banyak sudut dunia. Pada Oktober 2007, terjadi demonstrasi besar di Bengali Barat, India, disusul di Senegal, Mauritania, Meksiko, dan Yaman. Di Kamerun pada Januari 2008, terjadi kerusuhan besar yang memakan korban meninggal 20 orang. Kemudian pada bulan yang sama di Burkina Faso, Afrika Barat. Di Indonesia, Malaysia, Filipina, Inggris, dan Skotlandia demonstrasi akibat krisis pangan juga terjadi meskipun tidak semasif sebagaimana yang berlangsung di Afrika.

Di Haiti, misalnya, lima orang tewas dalam aksi unjuk rasa memprotes kenaikan harga makanan dan bahan bakar yang berujung dengan bentrokan. Korban serupa bisa terjadi di negara-negara yang saat ini sudah menunjukkan fenomena makin melangitnya harga-harga kebutuhan masyarakat, terutama bahan makanan dan bahan bakar dalam beberapa bulan terakhir, antara lain di Mesir, Kamerun, Pantai Gading, Mauritania, Ethiopia, Madagaskar, Filipina, Indonesia, dan beberapa negara lainnya. FAO menyerukan agar para pemimpin dunia hadir dalam pertemuan tingkat tinggi keamanan pangan dunia yang akan digelar di Roma pada 3-5 Juni mendatang.

Pangan dan Peradaban

Sebuah peradaban bisa hancur jika tidak ada pangan. Ungkapan ini tak berlebihan. Karena pangan merupakan komoditas strategis. Selain merupakan salah satu kebutuhan dasar umat manusia, pangan mempunyai nilai ekonomi dan politis tinggi. Pangan menempati prioritas yang tinggi dalam pembangunan ekonomi suatu bangsa. Jauh sebelum informasi dan teknologi menjadi pembuka kunci dunia, pangan sudah menjadi alat untuk menguasai dunia. Karena itu, sangat rasional ketika negara-negara maju dan besar di dunia, saat ini, ternyata juga produsen utama dan penentu pasar pangan dunia.

Masalah pangan dan pertanian seharusnya tidak diletakkan pada pasar global, tetapi pada kemampuan rakyat suatu negara. Di Indonesia, sejarah telah membuktikan bahwa unsur yang mampu menjamin keberlangsungan pangan dan pertanian adalah kearifan lokal dan keanekaragaman hayati.

Dengan demikian, urusan pangan menekankan kepada keputusan pemerintah nasional (lokal), bukan kepada badan perdagangan internasional, seperti WTO, yang selama ini lebih banyak menciptakan "jeratan" ketimbang solusi dalam persoalan pangan. Sebagai salah satu jawaban atas jeratan pangan global, pemahaman serius terhadap pola pikir kedaulatan pangan memang menjadi sangat strategis dan urgen. Terlebih-lebih bila terekam adanya sebuah suasana bahwa sekarang ini pangan diperjualbelikan demi menumpuk keuntungan sebesar-besarnya. Pangan sudah tidak dipandang sebagai bagian dari kebutuhan untuk mengganjal perut dari kondisi belaka. Pangan sudah tidak dipersepsikan sebagai komoditas kemanusiaan, yaitu sekiranya ada warga dunia yang tertimpa bencana, maka sebagai negara yang dinilai surplus pangan kita pun rela untuk menyumbangkan sebagian kelebihan pangan tersebut.

Prinsip akses pasar bebas WTO telah menempatkan pasar domestik di bawah kendali perusahaan- perusahaan raksasa agrobisnis yang tidak peduli apakah petani di suatu negara bangkrut atau tidak, karena semuanya diserahkan kepada mekanisme pasar. Saat konsep kedaulatan pangan digulirkan, hal itu dimaksudkan untuk melawan WTO yang dikenal dengan "Paket Juli"-nya. Dengan paket itu, organisasi perdagangan dunia ingin agar pasar dalam negeri bebas dimasuki siapa pun, bebas menjual di mana pun, dan harus dijamin oleh aturan global.

Kedaulatan pangan mengacu kepada aspek pengambilan keputusan secara berdaulat di tingkat nasional (lokal) dalam soal ketahanan pangan. Kedaulatan pangan juga hak rakyat untuk menentukan kebijakan dan strategi sendiri atas produksi, distribusi, dan konsumsi pangan berkelanjutan, yang menjamin hak atas pangan bagi seluruh penduduk bumi berdasarkan produksi berskala kecil dan menengah, menghargai kebudayaan lokal dan keberagaman kaum tani nelayan.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa timbulnya kelaparan, kemiskinan, dan kurang gizi adalah buah lemahnya pemahaman para pembuat kebijakan terhadap hak atas pangan. Kecenderungan pemerintah memaknai problema ketahanan pangan adalah menggunakan pendekatan food security dan bukan food sovereignty. Padahal, kebijakan pangan dengan pendekatan food security hanya menguntungkan sejumlah kecil pedagang, tetapi di sisi lain semakin menghancurkan pendekatan food sovereignty.

Aksesibilitas ekonomis (daya beli) masyarakat ditengarai menjadi sumber lain bencana kelaparan, busung lapar, dan kurang gizi, di samping ketidakpedulian pemerintah lokal terhadap kesejahteraan rakyatnya. Artinya, sudah seharusnya kebijakan pemenuhan hak atas pangan diletakkan dalam kerangka penanggulangan kemiskinan, yang mensyaratkan adanya langkah nyata dengan dukungan politik anggaran untuk melakukan pemberdayaan ekonomi. Bila ini dilakukan, dengan sendirinya daya beli masyarakat meningkat sehingga aksesibilitas ekonomis mereka pun meningkat.

Dalam konteks ke-Indonesia-an, konstitusi yang sudah diamendemen itu sebenarnya menjamin hak setiap orang mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya. Negara harus menjamin pemenuhan semua kebutuhan dasar itu. Sedangkan, pemerintah menerjemahkan hal itu sebagai kebebasan bagi rakyat untuk menanam jenis tanaman pangan tertentu sesuai kearifan lokal masing-masing daerah serta memberikan akses ekonomis kepada rakyatnya.

Kedaulatan pangan bukan berarti rakyat dari Sabang sampai Merauke menanam satu jenis tanaman pangan sebagaimana yang pernah terjadi pada pemerintahan Soeharto, dengan program swasembada pangan pada 1984. Namun, beri kebebasan rakyat untuk menanam tanaman pangannya masing-masing.

Kompleksitas masalah yang dihadapi dalam masalah pangan ini mengisyaratkan tidak ada single policy yang dapat mengatasi semua persoalan sekaligus. Hal ini dapat dipahami karena bicara pangan menyangkut banyak aspek dan stakeholders yang seringkali berbeda kepentingan. Dalam situasi ini peran pemerintah adalah satu keharusan, meski kecenderungan situasi global menghendaki dilepasnya kendali pada pasar, namun realitas kebijakan di berbagai negara justru sebaliknya.

Sebagaimana isi UU Ketahanan Pangan, persoalan pangan melingkupi banyak hal, mulai dari keharusan menyediakannya secara terjangkau hingga menjadi hak warga untuk mendapatkannya. Di tengah ancaman harga tinggi, pemerintah harus melakukan langkah-langkah penyelamatan yang cerdas.

0 komentar: