upah buruh

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks



Keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak terhitung mulai 24 Mei 2008 berimplikasi terhadap kehidupan ekonomi masyarakat. Kenaikan harga BBM mendorong naiknya harga barang dan jasa, terutama kebutuhan pokok sehari-hari.

Menurut BPS, inflasi pada Mei 2008 sebesar 1,41 persen sedangkan laju inflasi year on year (Mei 2008 terhadap Mei 2007) sebesar 10,38 persen.

Menyadari implikasi kenaikan harga BBM tersebut, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan sebagai langkah pemberdayaan ekonomi masyarakat, seperti, program bantuan langsung tunai (BLT) dan pemberian gaji ke-13 kepada pegawai negeri sipil dan pensiunan PNS.

Kita pahami bahwa kedua bentuk kebijakan pemerintah di atas hanyalah menopang kehidupan ekonomi sebagian kecil masyarakat Indonesia. Di luar kelompok penerima program pemerintah tersebut terdapat jutaan anggota masyarakat yang sangat terpukul dengan kenaikan harga BBM. Anggota masyarakat tersebut, antara lain, kelompok pekerja/buruh yang menerima upah berdasarkan besaran upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah.

Beratnya beban ekonomi pekerja akan semakin bertambah dengan kebijakan pemerintah menaikkan tarif angkutan umum sampai 40 persen terhitung Juni 2008.

Beban ekonomi pekerja kita sebut berat karena sesungguhnya besar upah yang mereka terima ditentukan berdasarkan perhitungan kebutuhan seorang pekerja lajang dalam sebulan. Dalam praktiknya, upah minimum menjadi upah standar, bahkan menjadi upah tertinggi dalam satu perusahaan, termasuk bagi pekerja yang sudah berkeluarga dengan beberapa anak.

Kondisi tersebut terjadi karena lemahnya daya tawar pekerja. Tingginya angka pengangguran yang mencapai 8 persen dari jumlah angkatan kerja dan rendahnya tingkat pendidikan/keterampilan pekerja merupakan faktor utama yang menyebabkan lemahnya daya tawar pekerja.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, jumlah pekerja dengan status kontrak dan outsourcing terus meningkat dari tahun ke tahun. Para pengusaha lebih nyaman meraup keuntungan dengan merekrut tenaga kerja melalui sistem kontrak dan outsourcing. Saat ini, pola outsourcing lebih diminati karena sangat fleksibel. Bahkan ada perusahaan yang rela memberhentikan pekerjanya dengan membayar pesangon kemudian menggantikannya dengan pekerja baru melalui agen penyedia tenaga kerja outsourcing.

Ironisnya, pola outsourcing bukan saja diterapkan oleh perusahaan-perusahaan swasta yang lebih berorientasi kepada keuntungan semata, tetapi juga diadopsi oleh pemerintah melalui perusahaan BUMN.

Hebatnya, perusahaan asing yang sudah berhasil meraup keuntungan dan kenikmatan dari pengelolaan sumber daya alam Indonesia akan mendapatkan bonus tambahan dengan murahnya harga sumber daya manusia yang disediakan pasar tenaga kerja melalui fasilitas pemerintah dengan pola outsourcing ini.

Para pekerja/buruh dengan status kontrak dan outsourcing pada umumnya menerima upah pada basis upah minimum, dan akan mengalami kenaikan kalau upah minimum naik. Tidak ada tawar-menawar upah di sini, karena pemberi kerja mereka adalah agen pemasok tenaga kerja, bukan manajemen perusahaan tempat mereka bekerja. Apabila mereka menuntut upah yang lebih tinggi maka respons terbaik yang dapat mereka terima adalah permohonan maaf dan silakan cari pekerjaan di tempat lain.

Upah minimum ditetapkan pemerintah (dalam hal ini gubernur) dengan mempertimbangkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan yang dibentuk di tingkat provinsi dan masing-masing kota/kabupaten. Dalam menyusun rekomendasi, Dewan Pengupahan terlebih dulu melakukan survei tentang harga barang kebutuhan pokok sebanyak 46 komponen yang dikonsumsi oleh seorang pekerja lajang. Hasil survei kemudian diolah oleh BPS dan selanjutnya ditentukan besar kebutuhan hidup seorang pekerja lajang dalam sebulan.

Setelah besar kebutuhan hidup tersebut diketahui, tidak lantas upah minimum segera dapat ditetapkan. Dewan Pengupahan masih harus mempertimbangkan faktor lain, yaitu produktivitas, pertumbuhan ekonomi, usaha marginal dan kondisi pasar kerja. Faktor-faktor penentu upah minimum tersebut diatur dalam Permenakertrans No. Per-17/Men/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak yang dipakai oleh Dewan Pengupahan sebagai pedoman dalam menetapkan rekomendasi kepada gubernur.

Sekalipun belum ada rumusan teori yang secara kuantitatif dapat menjelaskan hubungan upah minimum dengan faktor produktivitas, pertumbuhan ekonomi, usaha marginal dan kondisi pasar kerja, namun dalam praktik faktor-faktor tersebut menjadi penghambat penetapan upah minimum setara hasil survei kebutuhan hidup minimum.

Mengambil contoh besar UMP DKI Jakarta 2008 sebesar Rp 972.604, hanya 92 persen dari besar kebutuhan hidup minimum seorang pekerja lajang sebesar Rp 1.055.275 yang ditetapkan berdasarkan hasil survei pada Juli, Agustus dan September 2007. Ditinjau dari proporsinya, sebesar 29,61 persen merupakan kebutuhan makanan dan minuman, sebesar 7,66 persen kebutuhan sandang, 45,54 persen kebutuhan (kelompok) perumahan, kemudian 1,09 persen kebutuhan pendidikan, 11,37 persen kebutuhan jasa transportasi, 2,65 persen kebutuhan kesehatan dan 2,08 persen kebutuhan rekreasi.

Biaya Transportasi

Dari 46 komponen kebutuhan hidup seorang pekerja lajang, nilai kebutuhan transportasi tidak ditentukan melalui hasil survei, tetapi hanya mengutip tarif angkutan umum (tarif pemerintah) satu kali jalan dikali dua (pulang pergi) dengan frekuensi 30 hari dalam sebulan. Nilai ini tentu jauh dari biaya riil yang dikeluarkan oleh seorang pekerja lajang dalam sebulan. Untuk menuju tempat kerja, pekerja pada umumnya harus menumpang angkutan umum dengan berpindah kendaraan. Apalagi sebagian dari pekerja harus menumpang ojek yang tarifnya jauh lebih mahal.

Semakin jelas kita pahami bahwa UMP DKI Jakarta tahun 2008 sebesar Rp 972.604 sesungguhnya hanyalah memadai untuk hidup bagi seorang pekerja berstatus lajang, di mana kebutuhan hidupnya berdasarkan survei kebutuhan hidup pada Juli-September 2007 sebesar Rp 1.055.275.

Bagaimana pekerja dapat bertahan hidup dengan kondisi ini? Dari berbagai penelitian yang dilakukan terhadap kehidupan pekerja, disimpulkan bahwa kalangan pekerja menyiasati hidup dengan mengurangi kualitas barang dan jasa yang dikonsumsi sehari-hari, seperti, memilih tinggal di daerah kumuh dan padat penduduk, beberapa rumah tangga pekerja tinggal dalam satu rumah kontrakan, hidup berpisah sementara dengan istri/suami dan anak-anak yang ditinggal di kampung halaman, meminjam uang di koperasi atau menggunakan kartu kredit (karena akses perbankan semakin mudah). Tidak heran apabila dari kelompok pekerja banyak yang gagal membayar kartu kredit, sehingga nama mereka tercantum dalam daftar hitam di Bank Indonesia, berurusan dengan debt collector atau aset mereka berupa sepeda motor yang mereka peroleh secara kredit, ditarik oleh dealer. Singkatnya, sesungguhnya setiap bulan mereka defisit keuangan.

Kembali ke masalah BBM di atas, kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok dan jasa pasca 24 Mei 2008 semakin menyulitkan kondisi pekerja. Apalagi dengan naiknya tarif angkutan umum mulai Juni yang mencapai 40 persen akan semakin melemahkan daya beli mereka. Menurut ukuran pemerintah, pekerja tidak termasuk kategori miskin, sehingga bukan merupakan rumah tangga sasaran yang berhak mendapatkan Bantuan Langsung Tunai.

Lalu, apa yang bisa diperbuat pemerintah bagi kelompok pekerja yang upahnya hanya sebatas upah minimum? Ada satu jalan terbuka bagi pemerintah, yaitu merevisi Upah Minimum 2008. Hal ini pernah dilakukan pada 2001, yaitu pada April 2001 ketika pemerintah menetapkan upah minimum baru sebagai pengganti Upah Minimum 2001 yang diberlakukan mulai 1 Januari 2001. Revisi tersebut merupakan respons atas kenaikan harga-harga pascakenaikan harga BBM.

0 komentar: