bumiku

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks


Hari ini, 38 tahun lalu, senator dari negara bagian Wisconsin, Gaylord Nelson, bersama jutaan orang dari semua negara bagian Amerika Serikat melakukan demo untuk usaha pelestarian udara, air bersih, dan alam.

Tidak kurang dari 1.500 perguruan tinggi dan 10.000 sekolah ikut ambil bagian dalam aksi yang hingga kini diperingati sebagai Hari Bumi.

Delapan tahun sebelumnya, tahun 1962, dari Springdale, Pennsylvania, Rachel Carson menyentakkan warga dunia dengan menerbitkan Silent Spring. Dan selanjutnya, hingga hari ini warga dunia terus berceloteh untuk menyelamatkan Bumi.

Perjalanan dimulai tahun 1962, saat Carson mengisahkan bagaimana alam pada musim semi yang semula cerah ceria penuh suara burung berkicau dan warna-warna bunga yang sedang mekar tiba-tiba sunyi karena semua itu hilang seketika. Kesadaran baru yang dibawa Silent Spring membuka mata tidak hanya bagi warga Amerika Serikat, tetapi juga warga dunia, yang ditandai usulan Swedia untuk menyelenggarakan konferensi tingkat dunia. Usulan itu disetujui dan akhirnya diselenggarakan konferensi tingkat tinggi di Stockholm tahun 1972.

Penyelamatan lingkungan

Sejak konferensi itu, badan-badan dunia baru dibentuk untuk tujuan penyelamatan lingkungan, salah satunya adalah Komisi Brundtland. Salah satu hasilnya adalah laporan berjudul Our Common Future. Dalam laporan itu, istilah pembangunan berkelanjutan diperkenalkan dan didefinisikan. Selain laporan itu, Komisi Brundtland mengusulkan untuk melaksanakan konferensi tingkat dunia untuk membicarakan berbagai lingkungan global, yang kemudian diselenggarakan di Rio de Janeiro, 1992.

Konferensi di Rio adalah rangkaian kompromi yang sulit, begitu menurut Boutros Boutros Ghali, Sekretaris Jenderal PBB saat itu. Pertemuan itu menghasilkan berbagai kesepakatan, salah satunya adalah Forestry Principles (prinsip-prinsip tentang hutan). Forestry Principles adalah kesepakatan khusus terkait kehutanan, yang menunjukkan bahwa hutan memiliki posisi penting bagi masa depan umat manusia.

Perjalanan penting selanjutnya terjadi akhir 2007 di Bali. Pertemuan selama dua minggu itu, menurut banyak pihak, adalah pertemuan untuk melunakkan hati Amerika Serikat. Hasil terbesar dari Bali adalah Bali Road Map. Selain itu, yang kini sedang menjadi isu hangat adalah Reduce Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD), sebuah mekanisme pembiayaan dari negara industri untuk negara pemilik hutan. REDD merupakan salah satu bentuk perdagangan karbon.

Meski demikian, jika merujuk pada berbagai kesepakatan sebelumnya, Bali Road Map dan REDD menurut beberapa pihak adalah sebuah kemunduran. Pendapat lain menyatakan, mekanisme REDD lebih baik dari Clean Development Mechanism (CDM), setidaknya untuk Indonesia. Namun, apakah hal itu juga lebih baik dalam konteks penyelamatan Bumi?

Pro-kontra REDD

REDD sebenarnya bukan hal baru yang tiba-tiba muncul di Bali. Beberapa tahun sebelumnya di Montreal, pada saat COP 11, salah satu keputusannya adalah tentang perlunya pembahasan insentif bagi Reduced Emission from Deforestation in Developing Country (atau disingkat RED), degradasi hutan belum dimasukkan. RED merupakan inisiatif Papua Niugini dan Kosta Rika yang mengusulkan perlu adanya insentif bagi negara yang melakukan konservasi, dan Brasil mengusulkan perlunya kompensasi bagi negara yang mampu mencegah deforestasi. Di Bali, Indonesia mengharapkan RED menjadi REDD, di mana degradasi hutan juga dimasukkan.

Sejak ide itu keluar, pro dan kontra terus mewarnai media massa, bahkan hingga mekanisme REDD sedang akan diujicobakan, perdebatan terus terjadi. Di kampus Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, REDD memicu perseteruan antaralumni dan beberapa dosen.

Pemerintah mengatakan, REDD memberi kesempatan kepada negara untuk mendapatkan keuntungan finansial dari potensi hutan tanpa menebang hutan. Lembaga konservasi internasional menyambut peluang itu sebagai tambahan dana untuk kegiatan konservasi di tiap-tiap wilayah kerja mereka. Beberapa pihak lain melihat ini sebagai sebuah bentuk baru penguasaan pemilik kapital untuk menguasai dan mengawasi hutan di negara berkembang.

Mekanisme REDD yang ditawarkan Indonesia dalam persidangan konferensi PBB mengenai perubahan iklim di Bali berpotensi membangkrutkan bangsa jika diterapkan di tengah lemahnya penegakan hukum dan kejahatan lingkungan (Kompas, 4/12/2007).

Beberapa pihak yang pesimistis dengan mekanisme REDD menyatakan kekhawatirannya, REDD hanya akan memberikan manfaat kepada lembaga keuangan yang mengelola dana itu dan pihak ketiga, yang dalam hal ini bisa lembaga konservasi, konsultan, atau lembaga penelitian. Sementara masyarakat sekitar hutan belum tentu mendapatkan manfaat langsung.

Selain itu, kita harus berhati-hati agar jangan sampai mekanisme REDD menjadi beban utang baru, seperti kekhawatiran yang disampaikan Emmy Hafid, Direktur Eksekutif Green Peace Asia Tenggara. ”Hati-hati dengan REDD karena jika kita ternyata mampu melestarikan hutan sebagai penangkap karbon, uang yang sudah didapat akan langsung dikonversi menjadi utang.”

Gagasan untuk mencegah kerusakan hutan atau deforestasi dengan memberi kredit bagi pihak-pihak yang bisa melestarikan hutan dikhawatirkan menjadi semacam ijon bagi pelestari hutan (Kompas, 14/12/2007).

Pembaruan komitmen

Mengingat perjalanan yang begitu panjang, dan agar semua itu tidak hanya menjadi celoteh belaka, perayaan hari ini seharusnya bukan hanya melestarikan tradisi, tetapi pembaruan komitmen. Seperti pernah diucapkan Presiden Palau Tommy E Remengesau, ”…Jika ingin merespons perubahan iklim, gaya hidup harus berubah.”

Siapkah kita untuk mengubah gaya hidup. Siapkah kita untuk memaknai a call for climate dalam kehidupan sehari-hari? Siapkah kita untuk mengurangi pemakaian tisu? Siapkah kita untuk mengurangi pemakaian AC? Siapkah kita mematikan lampu ketika penerangan tak diperlukan? Siapkah kita mematikan televisi saat tak seorang pun menonton? Siapkah kita untuk lebih mengonsumsi buah lokal daripada buah impor? Siapkah kita untuk semua itu?

Jika kita belum siap, benar adanya bahwa sejak beberapa tahun lalu kita hanya berceloteh untuk menyelamatkan Bumi.

0 komentar: