gizi buruk

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks



Gizi buruk masih membayangi kehidupan rakyat miskin di Indonesia. Di Makassar, Sulawesi Selatan, seorang ibu yang hamil tujuh bulan meninggal bersama anak balitanya karena gizi buruk.

Kematian ibu dan anak itu merupakan tragedi kemanusiaan. Ironis, Sulawesi Selatan adalah lumbung beras Indonesia bagian timur. Berita menyedihkan lain datang dari Cianjur, Jawa Barat. Kini ada 2.670 anak balita atau 1,7 persen dari jumlah penduduk di wilayah penghasil beras ini mengalami gizi buruk.

Kedua tragedi memilukan itu hanya menambah data empiris yang menunjukkan penderitaan rakyat kecil tidak lebih baik selama 10 tahun terakhir. Kasus gizi buruk dan kelaparan bukan kali ini muncul dan dikhawatirkan bukan pula yang terakhir. Tahun 1998, gizi buruk terjadi secara masif. Dari sekitar 300.000 balita yang meninggal tiap tahun, 180.000 di antaranya meninggal karena kurang gizi.

Kemiskinan

Setelah 10 tahun reformasi, apakah rakyat kian sejahtera?

Reformasi kehilangan makna. Rakyat terus mengalami proses pemiskinan. Jumlah penganggur memuai. Mereka tak mampu lagi membeli bahan makanan sebagai kebutuhan paling dasar. Dari perspektif ”kebutuhan dasar”, fenomena kelaparan yang berakhir kematian adalah pelanggaran HAM berat yang dilakukan negara terhadap rakyatnya (UU No 7/1996 tentang Pangan).

Munculnya kembali busung lapar—yang sejak 1973 diasumsikan lenyap dari Indonesia—hanya puncak gunung es. Bila muncul satu kasus, itu berarti ada ratusan bahkan ribuan kasus sama, tetapi tak dilaporkan karena malu disebut kurang gizi. Ironi, kelaparan di tengah kekayaan sumber alam acap ditunjukkan pemerintah lewat operasi pasar beras murah.

Indonesia masih dibayangi kemiskinan. Jumlah warga miskin hampir 109 juta—tingkat pendapatan di bawah dua dollar AS per hari—dan 50 persen dari total rumah tangga mengonsumsi makanan kurang dari 2.100 kkal.

Kenyataan ini amat kontradiktif dengan korupsi di republik ini. Kasus jaksa Urip dapat menjadi contoh, juga Bank Indonesia yang membagi-bagi ”dana taktis” untuk kepentingan pribadi.

Hasil reformasi hanya dinikmati elite politik. Mereka kelebihan gizi, perut membuncit, tapi rakyat dianjurkan mengencangkan ikat pinggang. Perhatian atas nasib rakyat miskin yang kurang gizi kian tipis. Mereka lebih asyik dengan dunianya sendiri.

Perilaku koruptif

Tragedi kelaparan dan kasus gizi buruk adalah buah perilaku koruptif yang virusnya bersemayam dalam tubuh dan jiwa para penguasa dan pengusaha republik ini. Harga yang harus dibayar akibat gizi buruk adalah merampas kecerdasan anak. Buktinya, indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia terus turun, kini di bawah Vietnam.

Perang terhadap perapuhan gizi ini dapat kita menangkan jika pemerintah memiliki political will guna memperbanyak program perbaikan ekonomi dan gizi masyarakat. Hal ini bisa didorong dengan menyediakan bantuan kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta merevitalisasi posyandu.

Pemerintah jangan lagi mengulang kesalahan pendahulunya di era Orba yang menganakemaskan industri berteknologi tinggi, tetapi produknya tak laku dijual. Saat itu sektor pertanian dianggap tidak marketable. Kini saatnya menempatkan pertanian sebagai leading sector karena mampu berperan sebagai mesin penggerak pertumbuhan perekonomian nasional.

Hal lain yang amat penting adalah memperbaiki sistem pemerintahan dengan menghentikan budaya suap dan menciptakan kondisi politik yang sungguh aman dan terkendali. Langkah itu merupakan upaya menuju cita-cita reformasi birokrasi yang good and clean government.

Pengalaman negara-negara Afrika dekade lalu patut menjadi perenungan kita. Bertahun-tahun mereka tidak hanya gagal meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi jatuh pada situasi krisis dan konflik berkepanjangan. Afrika menjadi pengutang terbesar di dunia dan masalah kelaparan tak terselesaikan.

Karena itu, pemerintah harus benar-benar mengupayakan agar krisis ekonomi segera berakhir. Jika tidak, negara bisa dituduh telah melakukan kelalaian atau penelantaran (state negligence) terhadap rakyatnya. Ini jelas melanggar Konvensi PBB untuk Hak-hak anak yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia

0 komentar: