REFORMASI PENDIDIKAN

. Kamis, 20 November 2008
0 komentar


REFORMASI PENDIDIKAN
IDENTIFIKASI MASALAH, SOLUSI DAN TERGET WAKTU RELASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


1. Fasilitas pendidikan yang memadai
Solusinya
a. Ruang kuliah : Segera dicari alternatif gedung lain.
b. Praktikum : Segera dibangun Laboratoriu dan perlengkapannya atau bekerjasama dengan institusi atau lembaga Perguruan Tinggi lain yang memiliki fasilitas praktikum.
c. Perpustakaan : Perlunya segeradisediakan buku-buku yang up to date dan cukup jumlanya atau bekerjasaa denan Perguruan Tingi lain dan atau instansi yang mempunyai perpustakaan sesuai dengan disiplin ilmu yang diajarkadi UMI atau disediakan buku-buku baru yang menjadi kebutuhan bagi para mahasiswa dan para dosen.
d. Peralatan Penunjang. : Sediakan OHP tiap ruangan kuliah.
- Sediakan pengeras suara untuk ruangan dan kelas yang besar.
- Sediakan tempat oleh raga dan peralatannya.
- Sediakan peralatan kesenian.

2. Keuangan Kampus.
Solusinya
a. Audit Yayasan dan birokrat kampus dengan akuntan publik yang Independent.
b. Pecat oknum yang terlibat korupsi sekecil apapun.
c. Kembalikan dana yang dikorupsi tersebut.
d. Transparansi asal dan alokasi dana.

3. Sistem Belajar Mengajar
solusinya.
a. Tetapkan kalender akademik sesuai dengan tahun ajaran yang berlaku secara nasional.
b. Hapuskan Intervensi Yayasan terhadap sistem belajar mengajar.
c. kurikulum dan silabusnya didiskusikan terlebih dahulu dengan mahasiswa kepada mahasiswa agar pendidikan lebih demokatis, mengingat perkembangan arus ilmu dan teknologi serta inforasi yang begitu cepat.
d. Libatkan Mahasiswa 80 % dalam pengambilan keputusan tentang sistem pendidikan seperti, pembahasan kurikulum, fasilitas kampus, pembayaran spp, dan lainnya yang menyangkut massa mahasiswa.

4. Kesejahteraan pegawai
solusinya
a. Naikkan upah pegawai agar pegawai giat melaksanakan tugasnya dan Stop buruh/karyawan Kontrak khususnya untuk satpam dan cleaning service.
b. Berikan jaminan kesehatan pegawai
c. Gaji pegawai ditentukan oleh universitas bukan yayasan.

5. Diskriminasi dan intervensi terhadap mahasiswa.
Solusinya
a. Kembalikan kemerdekaan mahasiswa dalam berorganisasi tanpa pembedaan.
b. Oranisasi mahasiswa berkoordinasi denganPimpinan universitas bukan keada yayasan dan tidak bertanggung awab kepada keduanya tetapi kepada massa mahasiswa.
c. Segala urusan tentang kemahasiswaan adalah tanggung jawab Pimpinan universitas dengan mahasiswa dan diselesaikan di kampus tanpa melibatkan pihak ketiga (aparat misalnya).

6. Kualitas dosen.
Solusinya.
a. Angkat dosen-dosen ahli dibidangnya masing-masing
b. Angkat dosen-dosen muda yang cakap dan berbakat untuk segera dikirim tugas belajar agar bisa menjadi dosen yang berkualitas dan memiliki rasa memiliki Universitas
c. Pecat dosen-dosen yang tidak berkualitas dan malas mengajar.

7. Organisasi mahasiswa dan kegiatannya yang mandiri dan independent
Solusinya.
a. Segera disediakan fasilitas yang dibutuhkan lembaga mahasiswa, termasuk komputer dan internet yang pengunaannya dipertanggung jawabkan kepada mahasiswaq dan birokrasi fakultas serta universitas.
b. Memberi fasilitas kepada mahasiswa dalam membentuk model lembaga yang aspiratif bukan yang kahir dari intervensi birokrat kampus.
c. Bebaskan kegiatan mahasiswa tanpa intervensi apalagi sanksi.

8. Otonomi kampus.
Solusinya.
a. Segera berikan otonomi kepada Lembaga Universitas, agar mampu mengelola pendidikan secara professional.
b. Menarik diri dari kopertis yang hanya merupakan kepanjangan tangan dari penguasa dan mendesak kepada kampus lain untuk menyuarakan pembubaran kopertis. Dan hapuskan ujian Negara karena hanya menambah beban mahasiswa danorang tua mahasiswa
c. Membuat kurikulum tersendiri yang sesuai dengan kebutuhan kampus tanpa harus terpatok pada peraturan yang memasung cara berfikir mahasiswa termasuk mata kuliah kewiraan dan pancasila.

Target waktu
Mengingat sudah demikian parahnya kondisi kampus kita maka waktu yang kita berikan untuk dapat direspon lebih birokrasi kampus adalah 2.7 hari apabila belum ada tanda-tanda perubahan maka kami menuntut kepada yayasan untuk mengembalikan seluruh uang kami.
Makassar, 18 oktober 2001

WUJUDKAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
SEBAGAI KAMPUS YANG MURAH ILMIAH, RELIGIUS DAN DEMOKRATIS.



Read More......

Rasionalisasi dan Demokratisasi

.
0 komentar


Rasionalisasi dan Demokratisasi
Kelembagaan Mahasiswa

Arie Y. Mirjaya


I. GENESIS
Mahasiswa, bagaiamanapun juga adalah representasi kekuatan penyeimbang yang akan selalu ada dalam dinamika perkembangan budaya sebuah masyarakat yang diaktualisasikan dalam kerangka organisasi maupun kapasitas individunya. Kerangka organisasi kemahasiswaan pada dasarnya merupakan sebuah bagian integral dari investasi idiologi dan dinamika perkembangan hubungan antara masyarakat, dan kampus sebagai sebuah miniatur kehidupan masyarakat yang terkecil, merupakan benteng kebenaran terakhir yang sering kali diharapkan menjadi avant garde terhadap semua dinamika perubahan yang terjadi. Kerangka objektifitas intelektual harus menjadi kerangka berfikir yang mutlak ada, dan moralitas kebebasan menjadi inspirasi dari kelompok yang memang memiliki tingkat kesadaran yang jauh lebih baik.
Maka ketika realitas sosial diluar sudah berjalan keluar dari rel – nya, tanggung jawab moral untuk mengembalikannya dalam jalurnya yang semula harus dilakukan oleh kekuatan mahasiswa, baik dalam kerangka kelembagaan formal maupun yang lainnya. Karena bagaimana – pun juga, kelompok kelas menengah yang ada pada batas kesadaran terbaik ini, harus dapat mengggantikan fungsi sosial yang sebelumnya tidak berjalan.

II. KAMPUS SEBAGAI BENTENG KEBENARAN
Dinamika perubahan dan kekuatan intelektual suatu bangsa akan sangat dipengaruhi dengan tempat dimana manusia dari suatu bangsa tersebut melakukan proses interaksi, pembelajaran dan pembebasan berfikir untuk memajukan system budaya masyarakat sambil berupaya menjawab pertanyaan – pertanyaan terhadap persoalan yang ada dimasyarakat. Tempat dimana kerangka rasionalitas dan obyektifitas berfikir menjadi basis dari setiap interaksi yang terjadi di dalamnya.
Gambaran tentang tempat ini, seharusnya merupakan syarat mutlak lembaga pendidikan tinggi (kampus) yang mau tidak mau adalah dapur dari seluruh kerangka berfikir dan pembentukan carakter dari suatu bangsa. Rasioalitas berfikir yang harus dikembangkan dan hidup dalam dinamika kampus pada dasarnya adalah sebuah simbol kebenaran yang selalu menjadi contoh bagi dinamika objektif yang muncul dimasyarakat. Sederhananya, proses evolusi dari suatu bangsa akan sangat dipengaruhi oleh kwalitas generasi intelektualnya yang memang terlahir dari sebuah ruangan tempat dimana segala aktivitas akan berkembang secara ideal, yaitu kampus. Namun selama kurun waktu 32 tahun pemerintahan orde baru, kampus malah menjadi mercusuar otoriterianisme rezim dan rumah jagal bagi wacana kebebasan intelektual. Malah kekuatan yang ada didalamnya turut bertanggung jawab terhadap proses rekayasa sosial dimasyarakat. Dan hanya sekedar mengingatkan bahwa kita tidak pernah punya Universitas tiran, namun kita selalu punya stock tirani yang cukup banyak.

III. MAHASISWA
Gambaran umum tentang mahasiswa adalah suatu komunitas majemuk yang cenderung dinamis, intelektual, idealis dan punya kecenderungan komunal. Mahasiswa yang pada hakekatnya selalu berangkat dari kelompok kelas menengah atau dengan kata lain terdapat dalam kelompok pragmatis (sebatas pelaksana ide menjadi kenyataan) harus mempu berfungsi sebagai social control pada kekuasaan yang berlangsung. Fungsi kontrol tersebut akan serta merta berlaku apabila kekuasaan yang ada sudah dirasakan tidak aspiratif atas kepentingan rakyat, dan ketika itu terjadi posisioning mahasiswa yang ideal adalah sebagai sebuah elemen yang progresif (berfikir – ide – bertindak – realisasi). Kerangka progresifitasnya harus selalu dalam kerangka memajukan sistem budaya masyarakat dan berupaya memberikan jawaban – jawaban terhadap persoalan yang ada dalam suatu masyarakat.
Kerangka berfikir mahasiswa harus benar – benar terbebaskan dari ruang sempit pemikiran yang menghambat dinamika masyarakat, oleh karenanya, walau – pun mahasiswa bukan dewa yang mampu menjawab semua permasalahan, namun intelektualitasnya harus benar – benar didasari atas sense of critics yang independent, dan aktualisasinya tidak dapat dikekang oleh kekuatan manapun kecuali norma dan nilai – nilai kebenaran.
Sejarah selalu menyatakan bahwa kekuatan mahasiswa selalu dapat dijadikan filial awal dari proses perubahan dinamika masyarakat dan realitas kebangsaan serta keorganisasian masyarakat(baca negara), meski dalam awal perkembangannya, istilah mahasiswa belum begitu populer dibandingkan istilah “Pemuda”, yang memang telah jauh lebih populer dalam masa pergerakan perjuangan kemerdekaan.

IV. LEMBAGA KEMAHASISWAAN DALAM DINAMIKA PERUBAHAN MASYARAKAT
Aktualisasi dari kerangka berpikir mahasiswa sebagai bagian dalam dinamika perubahan masyarakat direpresentasikan dalam kelembagaan mahasiswa sendiri, baik diluar kampus maupun didalam. Sepanjang sejarahnya, kekuatan lembaga mahasiswa baik exstra maupun intra kampus selalu dapat menjadi stimulus dari perubahan yang terjadi dimasyarakat. Ketika pada awal pergerakan perlawan nasional, kekuatan mahasiswa mempunyai afiliasi yang sangat kuat dengan gerakan kepemudaan kebangsaan lainnya. Kerangka idiologi dan politik kelompok atau lembaga kepemudaan mengalami sebuah proses dinamisasi yang sangat luar biasa, bagaimana kemudian para pemuda tersebut mampu menjawab pertanyaan tentang kerangka berbangsa yang pada saat itu jauh dari bayangan banyak orang.
Realitas yang muncul pasca perjuangan kemerdekaan, justru mengalami stagnasi, atau boleh dapat dikatakan mundur, apa lagi ketika kekuatan orde baru muncul sebagai kekuatan tunggal yang sangat sentralistik, kekuatan mahasiswa mengalami disorientasi yang sangat jauh. Kerangka berorganisasi dihancurkan dan mahasiswa dijauhkan dari realitas yang ada di masyarakat. Sejarah juga mengatakan bahwa, angkatan 66 dulu bukanlah kekuatan real ideal dari mahasiswa, karena bagaimanapun juga KAMI dan KAPI tidak pernah lepas dari kekuatan militer (Angkatan Darat) yang menjadi supporting system. Bangunan rapuh yang ditinggalkan oleh para “alumnus” KAMI, pada akhirnya diturunkan kepada lapisan dibawahnya, angkatan 74, yang juga dicatat dalam sejarah tidak dapat melepaskan kebobrokan generasi sebelumnya, kalau mau jujur hariman siregar yang juga kader SGU (Study Group UI), pada waktu itu tidak dapat dilepaskan dari pertarungan politik praktis antara ASPRI keprsidenan dengan KOPKAMTIB. Akhirnya culture berorganisasi sering menjadi sangat kaku dan jauh dari kerangka objektif sebuah organisasi yang ideal, apa lagi ketika menteri pendidikan pada waktu itu (Daud jusoef) memberlalkukan NKK/BKK sebagai sebuah model pengkebirian lembaga kemahsiswaan. Dan kondisi tersebut masih sangat terasa hingga saat ini.

IV. A. LEMBAGA EXSTRA KAMPUS (sebuah kritik)
Sebagai sebuah media aktualisasi yang ada diluar kampus, maka komponen exstra kampus mempunyai kecenderungan terhadap kebutuhan dan tuntutan kekuatan yang memang mengafiliasikannya, keberadaan kawan – kawan exstra kampus memiliki kerangka berfikir yang terkadang lebih fleksibel dibandingkan kawan – kawan yang ada dalam kelembagaan formal intra kampus. Karakter organisasinya tidak dapat dipukul rata, antara sesama organ – organ exstra kamus lainnya, karena tiap – tiap organ exstra kampus memiliki kecenderungan untuk berbeda satu dengan yang lainnya. Namun tetap objektifitasnya harus selalu dipertanyaakan. Artinya tidak akan pernah ada jaminan bahwa kerangka organisasi exstra kampus bebas dari nilai. Kondisi objektif yang sering terlihat adalah bagaimana kekuatan mahasiswa exstra kampus akan selalu menyesuaikan platform organisasinya terhadap platform organisasi induk yang memang menjadi buffer diluar kampus. Dan yang akan sangat memprihatinkan adalah, ketika kekuatan buffer tersebut adalah sebuah partai politik ataupun kekuatan massa yang main stream, maka kekuataan mahasiswa yang didalamnya (exstra kampus), mau tidak mau adalah sub ordinate dari kekuatan partai politik tadi, karena pada akhirnya intervensi kekuasaan terhadap dinamika kampus dan kerangka berfikirnya akan sangat mungkin terjadi. Dan jika ini terjadi, sah jika banyak kelompok yang akan mempertanyakan kerangka objektifitas dan intelektual mahasiswa yang seharusnya memang independent.

IV. B. LEMBAGA FORMAL INTRA KAMPUS
Sejarah masih terus mengingatkan kita bahwa selama 30 tahun lebih ruang politik dan aktualisasi mahasiswa ditutup dengan sangat rapat oleh kekuatan rezim orde baru. Cetak biru sejarah nasional kita menorah tinta merah tentang kekuatan para mahasiswa angkatan ’66 yang berkolaborasi dengan para local army friend – nya Amerika, berhasil “menumbangkan” kekuatan rezim soekarno. Cacat sejarah rezim orde baru kembali terulang, ketika pada tahun 70an kekuasaan memberlakukan NKK/BKK, masa – masa kegelapan pada organisasi kemahasiswaan dimulai, dan kekuatan mahasiswa dalam lembaganya mengalami disorientasi, batas kesadaran mahasiswa seperti sangat sempit, sampai akhirnya, format kelembagaan mahasiswa hanya menjadi sapi yang selalu menurut dan tunduk pada kekuasaan. Jangankan mencoba mendekonstuksi, berbeda pendapatpun adalah sesuatu yang tabu. Lembag formal pada akhirnya hanya menjadi tempat berkumpulnya para birokrat mahasiswa, bahkan mungkin biro jodoh ilegal. Hingga saat ini banyak kawan kawan percaya bahwa perubahan tidak akan pernah datang dari lembaga formal kampus, karena memang syarat dan kerangka organisasinya dihancurkan sedemikian rupa oleh rezim orde baru. Kritik yang paling tajam terhadap lembag formal kampus adalah ketika mekanisme formalnya menjadi sangat formalistik dan kaku hingga komponen didalamnya sangat asing dari basisnya.
Format ideal organisasi pada hakekatnya harus dipenuhi beberapa syarat yang mutlak harus ada, terutama culture berorganisasi itu sendiri. Tapi jauh sebelum hal tersebut ada, filial awal yang harus ada yaitu :
 sebuah kerangka filosofi dari komponen yang ada di dalamnya, artinya, bagaimana filosofi harus dapat menjadi kekuatan yang mendasar tentang cita – cita dan bangunan dari sebuah organisasi.
 Pra syarat yang kedua adalah, kerangka idiologi dari organisasi itu sendiri, dimana idiologi organisasi adalah penerjemahan dari wacana filosofi yang ada pada komponen – komponen di dalamnya.
 Yang ketiga garis politik dari organisasi, hal ini tidak serta merta menjustifikasi bahwa organisasi ini adalah sebuah partai politik, namun lebih merupakan suatu kerangka strategis sebagai arah dari organisasi tersebut.
 Dan yang terakhir adalah mekanisme organisasi, dimana hal ini merupakan sebuah kerangka taktis yang lebih bersifat pragmatis, namun syarat mutlak dalam organisasi, mekanisme organisasi sesungguhnya merupkan representasi dari seluruh kerangka organisasi yang diatasnya.
Sesungguhnya kerangka ideal inilah yang sangat ditakuti oleh kekuatan rezim manapun, karena sangat potensial untuk dapat menjadi fungsi control yang tidak akan ada hentinya kepada kekuasaan. Dan rezim orde baru berhasil mematikannya, namun tidaklah mengherankan karena bangunan rezim itupun pada awalnya dikonstruksi oleh para pelacur intelektual yang membunuh idealisme meraka sendiri.

V. BENTUK ORGANISASI
Turunan dari keempat syarat ideal dalam sebuah organisasi diatas pada akhirnya akan diturunkan dalam bentuk organisasi yang harus saling menjadi support system dari perlawanan tadi, pada prinsipnya tiga bentuk ideal yang harus selalu sinergis dalam kerja – kerjanya adalah :
1. Organisasi legal (formal), kerangka formal yang ada didalamnya seharusnya dibentuk oleh organisasi yang juga menjadi supporting systemnya yaitu organisasi semi legal. Namun kerangka formal mutlak dibuat agar pilar tersebut dapat melakukan kerja – kerja populis yang strategis, dan mekanisme kerjanya kadang menjadi kaku, namun terkadang hal ini dibutuhkan agar organisasi ini dapat menjaga kamuflase suppoting system yang lainnya. Ciri khasnya adalah mekanisme kelembagaannya sangat struktural.
2. Organisasi semi legal, memerankan fungsi yang tidak dapat dikerjakan oleh kekuatan formal, artinya bagaimana kerja – kerjanya memiliki kecenderungan yang klendestein, dan agak tertutup kemudian bangunan organisasinya sangat sederhana, namun memiliki kepemimpinan yang tegas.
3. Organisasi ilegal, dimana komponennya sudah harus memahami tugasnya masing – masing namun dapat terkoordinasi dengan baik, organisasi ini tidak mengenal struktur dan bentuk kelembagaan, namun tetap merupakan lingkar yang sinergis dari support system yang lainnya. Kecenderungan dari organisasi ini adalah sangat tertutup dan orde baru mmbahasakannya sebagai organisasi tanpa bentuk.
4.
VI. PILAR ORGANISASI MAHASISWA IDEAL
Dalam format yang ideal, sebelum bentuk organisasi di hancurkan melalui NKK/BKK oleh rezim soeharto, bentuk – bentuk organisasi akan saling bersinerigi satu dengan yang lainnya. Dan format tersebut dibangun atas tiga pilar perlawanan yang mutlak harus ada, baru kemudian muncul pilar keempat sebagai suatu realitas dari kerangka kelembagaan mahasiswa yang memang disistematiskan oleh rezim, namun realitas kelembagaan tersebut selalu dupayakan untuk mampu melakukan posisioning yang jelas sebagai bagian dari coor group untuk juga berfungsi sebagai coor group dalam melakukan social control kepada kekuasaan, yaitu :
1. Kelompok study mahasiswa, dimana didalamnya dibangun kerangka filosofi dari komponen mahasiswa, dan harus menjadi pilar utama dari gerakan perlawanan mahasiswa itu sendiri, kelompok study harus dapat mendialektikakan berbagai realitas dimasyarakat kemudian membahasakanya dalam kerangka intelektual.
2. Pilar yang kedua adalah, kekuatan pers mahasiswa yang harus dapat mengaktulisasikan kerangka berfikir yang didialektikakan dalam kelompok study mahasiswa, pers mahasiswa harus memihak pada kekuatan masyarakat dan kebebasan intelektual kampus, pers mahasiswa juga harus dapat menjadi kekuatan antitessa dari media main stream.
3. Pilar kekuatan yang ketiga adalah komite aksi, dimana dialektika diturunkan dalam dalam mekanisme praksis guna melakukan perang gerakan terhadap kekuasaan ataupun hegemoni lama yang tidak memihak.
4. Pilar keempat sebenarnya merupakan sebuah realitas yang tidak mungkin dapat dinaifkan, yaitu kelembagaan formal mahasiswa, karena bagaimanapun juga pertarungan kekuatan politik terkecil adalah perebutan lembaga formal intra kampus, dimana ia adalah salah satu supporting system yang paling mampu melakukan bargaining kepada kekuatan formal lainnya yang ada di kekuasaan, baik otoritas kampus maupun kekuatan kekuasaan politik lainnya.
Keempat pilar ideal terbut pada perkembangannya, selalu dimandulkan oleh kekuasaan (Baca : Birokrat Kampus), hingga akhirnya kekuatan – kekuatan tersebut berjalan sendiri – sendiri dan tidak dapat bersinergi apalagi menjadi supporting system. Dalam hal ini akhirnya tawaran dan strategi yang ideal adalah bagaimana melakukan kerja – kerja yang klendestein namun terorganisir, dan tetap ada yang selalu diingat, bahwa kekuatan mahasiswa terletak pada kerangka intelektualnya, dimana objektifitas harus dijunjung tinggi, dan mahasiswa tetap tidak dapat disamakan dalam kerangka berfikir partai, karena subjektifitas atas kerangka idiologi dan garis politik akan sangat mengganggu wacana ideal dari cita – cita intelektualits mahasiswa. Harus diingat bahwa, jiwa jaman yang tumbuh akan selalu berbeda, maksudnya, proses dekonstruksi pada kerangka ideal akan selalu terjadi, dan kerangka moral dari gerakan mahasiswa akan selalu di pertanyakan, karena memang mahasiswa sebagai gerakan moral sangat berbeda dari moral gerakan itu sendiri. Pada akhirnya mau tidak mau harus benar – benar dipahami bahwa gerakan mahasiswa adalah bagian dari gerakan politik untuk suatu perubahan, meskipun kerangkanya sangat jauh dari kerangka kekuasaan, dan jika memang kesemua pilar ideal tersebut dapat dibangun maka tidak akan pernah ada kejenuhan terhadap gerakan mahasiswa, karena cowboy - cowboy muda ini akan selalu mengalami regenerasi. Dan tiap komponennya selalu punya spirit yang tidak akan pernah mati untuk menegakkan keadilan.



Read More......

Peran Negara dan Gerakan Mahasiswa-Rakyat

.
0 komentar



Peran Negara dan Gerakan Mahasiswa-Rakyat

Kapitalisme Negara Orde Baru
Kapitalisme yang berkembang di Indonesia merupakan kapita¬lisme yang datang/dibawa/dicangkokkan oleh kolonialisme. Hal ini selanjutnya mempengaruhi karakter dari kelas-kelas yang muncul (lebih khusus lagi kelas borjuasinya). Kekhususan ini menyebabkan banyak bermunculan sebutan-sebutan yang bermacam-macam sebagai hasil dari perilaku sosial-ekonomi, serta karakter politik mere¬ka. Kelas borjuasi yang muncul banyak dianalisa, karena asumsi yang sifatnya mendasar bahwa kelas borjuasilah yang akan menjadikekuatan utama pendorong demokrasi. Kelas inilah yang nantinya akan menjadi pemimpin dan pembela kepentingan dari seluruh golongan masyarakat dalam proses menuju terbentuknya masyarakat demokratis. Bagi saya, ini hanya merupakan sebuah ilusi belaka. Dalam kenyataannya, asumsi bahwa kelas borjuasi akan menjadi kekuatan utama pendorong demokrasi merupakan asumsi yang sama sekali tidak membumi dalam sejarah kapitalisme di Indonesia. Lalu pertanyaan yang timbul: bila bukan borjuasi, maka kelas sosial manakah yang akan menjadi kekuatan pendorong demokrasi? Sehubun¬gan dengan ini, penting sekali melihat sekilas teori tentang negara.
Dalam teori negara "klasik" dikatakan bahwa negara merupakan refleksi dari masyarakat, yang muncul sebagai produk dari tak terdamaikannya kontradiksi kelas. Banyak yang mengeritik teori ini, yang semuanya menurut Cokro hanya "didasarkan atas logika sistem politik yang ada." Bahkan ia mengatakan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang paling dikuasai oleh kelas kapitalis, kelas yang berkuasa. (Lihat: Cokro, "Kediktatoran Kelas dan Asal Usul Pemerintahan Orde Baru, Progress, Australia, 1992). Ia mencontohkan bila para "penguasa" mati, perusahaan-perusahaan (modal) yang ia miliki akan jatuh ke keluarganya bukan ke negara. Ia meletakkan teori perjuangan kelas merupakan konteks terbaik dalam menganalisa negara Indonesia. Tetapi, minimal yang harus kita terima dari teori-teori negara adalah bahwa negara tidaklah netral, ia adalah penjaga dari sistem yang menguntungkan sebagian kecil dari masyarakat, semen¬tara sebagian besar lainnya yang tidak berpunya hidup di bawah penindasan sistem kapitalisme ini. Kembali kepada teori negara klasik, negara merupakan alat dari kelas penguasa untuk menindas. Alat (negara) mengesahkan penindasan dengan bantuan lembaga pemaksa yang paling utama yaitu: tentara, pengadilan dan penjara, sehingga apa yang disebut dengan negara kapitalis merupakan negara yang berfungsi sebagai alat untuk melipatgandakan modal.
Seperti telah dikatakan di atas bahwa kelas borjuasi atau kapitalis atau bahkan kelas menengah secara keseluruhan tidak akan menjadi kekuatan utama pendorong demokrasi di Indonesia, karena kebanyakan kelas borjuasi justru sering muncul (menyatu) dari dalam negara (ingat: negara Indonesia adalah negara yang paling dikuasai oleh kelas kapitalis!). Kelas kapitalis dan juga kelas menengah (borjuis kecil) bahkan menguatkan atau mendukung stabilitas ekonomi untuk proses pertumbuhan ekonomi kapitalistis melalui sistem politik yang ANTI DEMOKRASI. Jadi siapakah yang paling berkepentingan dan yang paling mampu menciptakan demokrasi di Indonesia?

Gerakan Mahasiswa dan Buruh
Gerakan Demokrasi Kita (mahasiswa) menyadari bahwa kita tidak dapat mengharap¬kan kelas borjuasi atau kelas menengah. Yang saya maksudkan kelas menengah di sini adalah para manajer, kaum profesional, teknokrat dan juga dari kaum sekolahan. Kelas menengah bagaimanapun tidak akan menghasilkan kekuatan yang efektif di orde baru ini. Apalagi depolitisasi serta ketiadaan basis material mereka untuk merespon deregulasi dan liberalisa¬si ekonomi orde baru menyebabkan mereka cenderung untuk mendukung kekuasaan atau paling "mentok" yang muncul pada kelas menengah hanyalah rasa nasionalisme dan rasa humanisme ketimbang demokrasi. Mereka mungkin saja akan memainkan peranan efektif bila terjadi "perpecahan" di antara elit penguasa, tetapi hal ini adalah utopis belaka, karena biasanya perpecahan di tingkat elit akan benar-benar menjadi kenyataan bila ada gerakan dari bawah yang akan memainkan peranan utama dalam proses demokratisasi di Indonesia. Sedangkan posisi kelas mahasiswa "tidak jelas" serta kenyataan historis gerakan mahasiswa dalam masa orde baru menunjukkan kenyataan yang tidak dapat dibantah, bahwa gerakan mahasiswa tidak akan mempunyai kekuatan apa-apa bila tidak bersatu dengan kekuatan mayoritas lain yang ada di masyarakat. Namun, persoalannya ialah dengan siapakah kita harus bersatu dan bersama-sama berjuang menciptakan demokrasi di Indonesia?.
Pada saat sekarang tuntutan terhadap liberalisasi dan demokratisasi kebanyakan dipimpin dari kaum intelektual maupun kaum profesional tertentu. Mereka ini terdiri banyak diwakili dari dunia profesi (LBH), kaum intelejensia, PSI (yang merupakan wakil-wakil dari kaum sosial-demokrat Indonesia) Petisi 50 dan Muslim (ICMI dan NU dengan Abdurrahman Wahid-nya), tetapi mereka tidak mempunyai kemampuan untuk memaksa tuntutan mereka terpenuhi. Dan mereka ini sebenarnya sangat lemah dan secara tak terelakkan mereka menjalankan politik aliansi dengan salah satu atau sejumlah faksi tertentu yang saling bertikai di kalangan elit di pemerintahan (demi menaikkan posisi tawar menawar mereka) dan menjalin (baca: meng¬kooptasi) hubungan gerakan mahasiswa. Dan hubungan ini, mau tak mau, adalah hubungan subordinasi, dimana yang mencuat adalah figur dari tokoh oposisi politik dan bukan tuntutan atau program politik mereka bagi terbukanya ruang-ruang demokrasi di Indone¬sia.
Seperti telah dikatakan di atas bahwa mereka, secara struk¬tural, tidak mempunyai kekuatan. Dalam hal ini kita akan melihat siapakah yang menjadi tenaga penggerak utama dalam proses demok¬ratisasi di Indonesia. Arti penting tenaga penggerak utama di sini dimaksudkan bukan hanya terletak pada ketertarikan/kepentin¬gan mereka terhadap demokrasi, tetapi yang lebih penting lagi adalah apakah mereka mempunyai kekuatan yang sanggup memaksa negara terpaksa menyelenggarakan sistem demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang saya maksudkan di sini jangan dipandang hanya dari segi aturan formal belaka. Demokrasi harus nyata, yaitu kebebasan berbicara, berserikat dan --bahkan-- berpartai, yang dalam abstraksinya adalah memunculkan kekuatan-kekuatan di Rakyat sehingga negara tidak dapat memaksakan kehendaknya dengan sewe¬nang-wenang kepada Rakyat. Parlemen (baca: DPR dan MPR) juga harus lebih berkuasa dibandingkan dengan pemerintah dan harus dipahami bahwa perjuangan demokrasi juga selalu beriringan dengan perjuangan di tingkat ekonomi rakyat, dan inilah alasan mengapa yang paling berkepentingan dan mempunyai kekuatan untuk mencapai masyarakat demokratis adalah "Rakyat".
Rakyat yang dimaksud di sini lebih dikhususkan pada kelas buruh (buruh dibagi-bagi menjadi buruh tani, manufaktur, jasa dan lain-lain), tetapi yang paling mempunyai potensi untuk menjadi kekuatan demokrasi pada sistem kapitalisme yang dijalankan Orde Baru adalah buruh manufaktur ini ditambah lagi dengan krisis kapitalisme dunia yang mengharuskan mereka memberi tekanan terhadap kondisi perburuhan di Indonesia bagi kepentingan kapital mereka. Kekuatan buruh manufaktur sebagai kekuatan demokrasi di masa Orde Baru dapat disamakan dengan posisi buruh perkebunan pada masa kolonial. Pada saat sekarang jumlah buruh manufaktur telah mencapai 10,5 juta, walaupun dari segi jumlah buruh tani menempati proporsi lebih dari 40% dari jumlah seluruh angkatan kerja. Kenyataan bahwa pada saat sekarang mereka masih belum terorganisasi dan gerakannya masih spontan, itu merupakan hasil depolitisasi (pasifikasi) Orde Baru. Dan kekurangan ini harus kita kembalikan kepada kita yang masih sangat kurang menjalin hubungan yang "erat" dengan mereka.
Gerakan mahasiswa beberapa tahun belakangan ini juga telah mengambil isu-isu kerakyatan sebagai agenda gerakan seperti kasus-kasus penggusuran tanah baik oleh proyek pemerintah maupun swasta, kenaikan harga listrik, serta undang-undang lalu lintas dan sebagainya. Tetapi yang harus disadari adalah bagaimana memunculkan dan membangun kekuatan mahasiswa dan yang lebih penting lagi adalah membangun kekuatan rakyat yang telah kita ketahui sebagai satu-satunya kekuatan utama demokrasi. Tidak ada cara lain bagi perjuangan yang sulit dan panjang ini kecuali dengan berhubungan langsung dengan mereka, mengorbankan waktu kita untuk mendengarkan, belajar dan memecahkan persoalan-persoa¬lan yang dihadapi oleh mereka secara bersama-sama, yang selanjut¬kan dapat menyadarkan rakyat akan arti pentingnya pendirian organisasi yang membela kepentingan mereka. Kita tahu bahwa selama ini rakyat tidak mempunyai alat/organisasi untuk memper¬baiki kondisi kehidupan mereka. Sedangkan kebebasan berorganisasi dihambat/dilarang di negeri ini. Sehingga tuntutan utama bagi proses demokrasi di Indonesia (Orde Baru) adalah KEBEBASAN BAGI RAKYAT UNTUK MENDIRIKAN ORGANISASI. Tuntutan ini harus menjadi tema utama bagi gerakan demokrasi di masa Orde Baru. Tetapi tuntutan ini tidak boleh hanya disuarakan oleh mahasiswa tetapi yang lebih penting lagi adalah tuntutan oleh rakyat sendiri yang telah sadar akan pentingnya organisasi bagi perjuangan memperbai¬ki kondisi sosial ekonomi dan politik mereka. Oleh karena itu tugas yang paling berat dan panjang adalah menyatukan gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat, terutama gerakan buruh serta proses pendidikan politik rakyat dan ini merupakan salah satu tindakan politik yang selama ini telah dihalang-halangi sekian lama. Protes-protes mahasiswa dan buruh menjadi mata rantai bagi per-juangan demokrasi.
Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa untuk melakukan tugas ini tidak ada cara lain selain berhubungan langsung dengan mereka. Melihat kasus-kasus yang muncul di rakyat, khususnya di buruh, pada saat sekarang telah menunjukkan bahwa mereka siap menjalankan tugasnya sebagi kekuatan utama bagi proses demokratisasi Melihat kasus-kasus pemogokan yang terus bertambah sejak tahun 1990, menunjukkan bahwa mereka tidak hanya tertarik pada tuntutan upah, tunjangan dan lain-lain yang sifatnya ekonomis belaka tetapi mereka tertarik pada kebebasan berbicara, berserikat dan lain-lain. Ini dibuktikan dengan banyaknya tuntutan untuk pemben¬tukan SPSI juga pembubaran SPSI. Dalam kasus yang pertama menunjukkan bahwa mereka telah sadar akan pen¬tingnya organisasi perjuangan mereka, sedangkan yang kedua telah lebih sadar bahwa SPSI bukanlah organisa¬si yang dapat membela kepentingan mereka. Dan kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh SBSI untuk menuntut diakuinya\disyahkannya SBSI sebagai serikat buruh diluar SPSI. Apakah SBSI nantinya akan membela kepentingan buruh atau hanyalah akan menjadi serikat buruh yang tidak berbeda dengan SPSI akan dapat ditentukan di kemudian hari. Di samping itu terlihat budaya politik buruh juga telah maju. Dalam pemogokan, mereka telah mengerti kekuatan-kekuatan yang dipunyai mereka; untuk kepentingan siapakah militer ikut serta dalam setiap kasus pemogokan buruh, contoh dari keterlibatan militer ini adalah kasus pembunuhan Marsinah yang membawa reaksi dari berbagai pihak sehingga akhirnya pemerintah terpaksa menghapuskan peraturan yang mensahkan keterlibatan militer dalam konflik buruh dan pengusaha; aksi-aksi mereka juga dilakukan tidak hanya di pabrik-pabrik tempat mereka bekerja tetapi juga pada lembaga-lembaga negara seperti Depnaker, DPRD, DPR bahkan rally dengan aksi turun ke jalan; budaya politik dalam aksi-aksi mereka juga hampir mirip dengan budaya politik dari gerakan mahasiswa misalnya adanya poster, spanduk, yel-yel, mengundang wartawan dan lain-lain; yang semuanya menunjukkan bahwa mereka telah siap menjadi motor demokrasi. Jadi tugas mendesak dari gerakan mahasiswa adalah bagaimana menyatukan gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat dan oleh karenanya yang harus dilakukan oleh gerakan mahasiswa ini adalah bagaimana membangun kekuatan gerakan mahasiswa dengan secara politis dan harus terus didorong hingga pada level organisasional serta mengkaitkannya dengan gerakan rakyat.
Mendirikan dan membangun organisasi demokratis gerakan mahasiswa secara nasional yang kuat, yang terdiri dari berbagai serikat-serikat mahasiswa yang telah terbentuk sekarang ini di berbagai daerah merupakan langkah yang tepat. Sekedar contoh dapat disebutkan disini seperti LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi) yang terdiri dari 26 organ mahasiswa yang tersebar di 18 kota di Indonesia. Tuntutan terhadap kebutuhan sentral organisasi gerakan mahasiswa secara nasional merupakan tuntutan yang muncul sebagai hasil dari kebangkitan kembali gerakan mahasiswa dan gerakan-gerakan demokrasi lainnya. Jadi tugas mendesak gerakan mahasiswa bagi proses demokrasi di Indone¬sia adalah terbentuknya sentral organisasi mahasiswa. Tugas utama dari sentral organisasi mahasiswa ini adalah mengangkat isu-isu kerakyatan (lebih terutama isu-isu buruh, karena pada saat ini merekalah yang paling maju) disamping isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan sektor mereka (baca: mahasiswa) dan isu ini biasanya efektif sebagai langkah awal untuk menggalang massa di kampus. Bentuk gerakan lain dari gera¬kan mahasiswa ini adalah gerakan turun ke rakyat (apalagi bagi mahasiswa yang telah bukan menjadi mahasiswa lagi baik karena Drop Out, keluar sendiri maupun yang telah mendapat gelar sarja¬nanya). Persoalan untuk mewujudkan cita-cita ini justru ada pada mahasiswa itu sendiri, apakah ia tetap bersikeras untuk terus bertahan dengan sektarianisme mereka (baik regionalisme maupun sektarian isu sektor mahasiswa saja), elitis mereka dan juga karakter dari bojuis kecil mereka yang "enggan" menjalin hubungan dengan rakyat dan hidup bersama rakyat.
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa menjadi penting ketika ia dapat bersama-sama rakyat (terutama buruh) menuntut kebebasan berorganisasi sebagai penjabaran kongkret tuntutan demokrasi di Indonesia serta menjalin "hubungan yang akrab" dengan mereka. Dengan berhubungan dengan rakyat maka akan "menguatkan" komitmen serta konsistensi mereka terhadap perjuan¬gan demokrasi bahkan setelah mereka lulus atau sudah bukan maha¬siswa lagi. Dan kasus-kasus "larinya" mereka ke institusi-institusi yang tidak berbasis massa (diantaranya LSM-LSM) yang sekaligus membawa pengaruh berkurangnya/ turunnya praktek mereka dalam melebur dengan massa, dalam memperjuangkan demokrasi dengan metode-metode massa, akan dapat dihindari. Selanjutnya setelah proses ini berhasil dilewati maka dibutuhkan suatu organisasi yang dapat menjadi jembatan bagi terjadinya persatuan antara gerakan rakyat dan gerakan mahasiswa sebagai gerakan demokrasi di Indonesia.
Dengan bersatunya gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat maka¬ perbedaan-perbedaan antara mahasiswa dan buruh atau rakyat secara keseluruhan akan menjadi semakin kecil yang selanjutnya akan lenyap dan terbentuknya program tuntutan politik demokratis: menghapuskan otoriterisme Orde Baru, yaitu direbutnya kebebasan politik bagi masyarakat sipil --kebebasan organisasi, pawai, mendirikan organisasi, suratkabar, menulis, dll.
Setelah proses ini tercapai maka perjuangan demokrasi akan merupakan kenyataan. Akhirnya tidak beralasan bagi sebagian "intelektual" kita yang "keras kepala" yang mengecilkan arti penting gerakan mahasiswa, dan juga bagi mahasiswa yang tetap menolak untuk berhubungan dengan kelas yang paling mempunyai kekuatan untuk mendorong demokrasi.
Akhir dari tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa proses yang diuraikan diatas tidak mudah. Ia akan meminta kerelaan waktu, materi bahkan hidup kita sendiri. Dan yang lebih penting lagi kita harus dapat menghilangkan sifat sektarianisme kita. Kita telah melihat kawan-kawan kita yang ditangkap, dimasukkan dalam penjara serta dikeluarkan dari kampusnya. Kita juga melihat kawan kita yang hilang satu persatu --demoralisasi, dekadensi, dan menyerah--, tetapi kita juga melihat munculnya beratus-ratus kawan-kawan baru kita yang lebih maju dan siap terhadap tugas mulia, suci dan mendesak ini. Oleh karena itu wajar diakhir tulisan ini saya teriakkan: “HIDUP GERAKAN DEMOKRASI DI INDONESIA!”

Read More......

Peran Negara dan Gerakan Mahasiswa-Rakyat

.
0 komentar


Peran Negara dan Gerakan Mahasiswa-Rakyat

Kapitalisme Negara Orde Baru
Kapitalisme yang berkembang di Indonesia merupakan kapita¬lisme yang datang/dibawa/dicangkokkan oleh kolonialisme. Hal ini selanjutnya mempengaruhi karakter dari kelas-kelas yang muncul (lebih khusus lagi kelas borjuasinya). Kekhususan ini menyebabkan banyak bermunculan sebutan-sebutan yang bermacam-macam sebagai hasil dari perilaku sosial-ekonomi, serta karakter politik mere¬ka. Kelas borjuasi yang muncul banyak dianalisa, karena asumsi yang sifatnya mendasar bahwa kelas borjuasilah yang akan menjadikekuatan utama pendorong demokrasi. Kelas inilah yang nantinya akan menjadi pemimpin dan pembela kepentingan dari seluruh golongan masyarakat dalam proses menuju terbentuknya masyarakat demokratis. Bagi saya, ini hanya merupakan sebuah ilusi belaka. Dalam kenyataannya, asumsi bahwa kelas borjuasi akan menjadi kekuatan utama pendorong demokrasi merupakan asumsi yang sama sekali tidak membumi dalam sejarah kapitalisme di Indonesia. Lalu pertanyaan yang timbul: bila bukan borjuasi, maka kelas sosial manakah yang akan menjadi kekuatan pendorong demokrasi? Sehubun¬gan dengan ini, penting sekali melihat sekilas teori tentang negara.
Dalam teori negara "klasik" dikatakan bahwa negara merupakan refleksi dari masyarakat, yang muncul sebagai produk dari tak terdamaikannya kontradiksi kelas. Banyak yang mengeritik teori ini, yang semuanya menurut Cokro hanya "didasarkan atas logika sistem politik yang ada." Bahkan ia mengatakan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang paling dikuasai oleh kelas kapitalis, kelas yang berkuasa. (Lihat: Cokro, "Kediktatoran Kelas dan Asal Usul Pemerintahan Orde Baru, Progress, Australia, 1992). Ia mencontohkan bila para "penguasa" mati, perusahaan-perusahaan (modal) yang ia miliki akan jatuh ke keluarganya bukan ke negara. Ia meletakkan teori perjuangan kelas merupakan konteks terbaik dalam menganalisa negara Indonesia. Tetapi, minimal yang harus kita terima dari teori-teori negara adalah bahwa negara tidaklah netral, ia adalah penjaga dari sistem yang menguntungkan sebagian kecil dari masyarakat, semen¬tara sebagian besar lainnya yang tidak berpunya hidup di bawah penindasan sistem kapitalisme ini. Kembali kepada teori negara klasik, negara merupakan alat dari kelas penguasa untuk menindas. Alat (negara) mengesahkan penindasan dengan bantuan lembaga pemaksa yang paling utama yaitu: tentara, pengadilan dan penjara, sehingga apa yang disebut dengan negara kapitalis merupakan negara yang berfungsi sebagai alat untuk melipatgandakan modal.
Seperti telah dikatakan di atas bahwa kelas borjuasi atau kapitalis atau bahkan kelas menengah secara keseluruhan tidak akan menjadi kekuatan utama pendorong demokrasi di Indonesia, karena kebanyakan kelas borjuasi justru sering muncul (menyatu) dari dalam negara (ingat: negara Indonesia adalah negara yang paling dikuasai oleh kelas kapitalis!). Kelas kapitalis dan juga kelas menengah (borjuis kecil) bahkan menguatkan atau mendukung stabilitas ekonomi untuk proses pertumbuhan ekonomi kapitalistis melalui sistem politik yang ANTI DEMOKRASI. Jadi siapakah yang paling berkepentingan dan yang paling mampu menciptakan demokrasi di Indonesia?

Gerakan Mahasiswa dan Buruh
Gerakan Demokrasi Kita (mahasiswa) menyadari bahwa kita tidak dapat mengharap¬kan kelas borjuasi atau kelas menengah. Yang saya maksudkan kelas menengah di sini adalah para manajer, kaum profesional, teknokrat dan juga dari kaum sekolahan. Kelas menengah bagaimanapun tidak akan menghasilkan kekuatan yang efektif di orde baru ini. Apalagi depolitisasi serta ketiadaan basis material mereka untuk merespon deregulasi dan liberalisa¬si ekonomi orde baru menyebabkan mereka cenderung untuk mendukung kekuasaan atau paling "mentok" yang muncul pada kelas menengah hanyalah rasa nasionalisme dan rasa humanisme ketimbang demokrasi. Mereka mungkin saja akan memainkan peranan efektif bila terjadi "perpecahan" di antara elit penguasa, tetapi hal ini adalah utopis belaka, karena biasanya perpecahan di tingkat elit akan benar-benar menjadi kenyataan bila ada gerakan dari bawah yang akan memainkan peranan utama dalam proses demokratisasi di Indonesia. Sedangkan posisi kelas mahasiswa "tidak jelas" serta kenyataan historis gerakan mahasiswa dalam masa orde baru menunjukkan kenyataan yang tidak dapat dibantah, bahwa gerakan mahasiswa tidak akan mempunyai kekuatan apa-apa bila tidak bersatu dengan kekuatan mayoritas lain yang ada di masyarakat. Namun, persoalannya ialah dengan siapakah kita harus bersatu dan bersama-sama berjuang menciptakan demokrasi di Indonesia?.
Pada saat sekarang tuntutan terhadap liberalisasi dan demokratisasi kebanyakan dipimpin dari kaum intelektual maupun kaum profesional tertentu. Mereka ini terdiri banyak diwakili dari dunia profesi (LBH), kaum intelejensia, PSI (yang merupakan wakil-wakil dari kaum sosial-demokrat Indonesia) Petisi 50 dan Muslim (ICMI dan NU dengan Abdurrahman Wahid-nya), tetapi mereka tidak mempunyai kemampuan untuk memaksa tuntutan mereka terpenuhi. Dan mereka ini sebenarnya sangat lemah dan secara tak terelakkan mereka menjalankan politik aliansi dengan salah satu atau sejumlah faksi tertentu yang saling bertikai di kalangan elit di pemerintahan (demi menaikkan posisi tawar menawar mereka) dan menjalin (baca: meng¬kooptasi) hubungan gerakan mahasiswa. Dan hubungan ini, mau tak mau, adalah hubungan subordinasi, dimana yang mencuat adalah figur dari tokoh oposisi politik dan bukan tuntutan atau program politik mereka bagi terbukanya ruang-ruang demokrasi di Indone¬sia.
Seperti telah dikatakan di atas bahwa mereka, secara struk¬tural, tidak mempunyai kekuatan. Dalam hal ini kita akan melihat siapakah yang menjadi tenaga penggerak utama dalam proses demok¬ratisasi di Indonesia. Arti penting tenaga penggerak utama di sini dimaksudkan bukan hanya terletak pada ketertarikan/kepentin¬gan mereka terhadap demokrasi, tetapi yang lebih penting lagi adalah apakah mereka mempunyai kekuatan yang sanggup memaksa negara terpaksa menyelenggarakan sistem demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang saya maksudkan di sini jangan dipandang hanya dari segi aturan formal belaka. Demokrasi harus nyata, yaitu kebebasan berbicara, berserikat dan --bahkan-- berpartai, yang dalam abstraksinya adalah memunculkan kekuatan-kekuatan di Rakyat sehingga negara tidak dapat memaksakan kehendaknya dengan sewe¬nang-wenang kepada Rakyat. Parlemen (baca: DPR dan MPR) juga harus lebih berkuasa dibandingkan dengan pemerintah dan harus dipahami bahwa perjuangan demokrasi juga selalu beriringan dengan perjuangan di tingkat ekonomi rakyat, dan inilah alasan mengapa yang paling berkepentingan dan mempunyai kekuatan untuk mencapai masyarakat demokratis adalah "Rakyat".
Rakyat yang dimaksud di sini lebih dikhususkan pada kelas buruh (buruh dibagi-bagi menjadi buruh tani, manufaktur, jasa dan lain-lain), tetapi yang paling mempunyai potensi untuk menjadi kekuatan demokrasi pada sistem kapitalisme yang dijalankan Orde Baru adalah buruh manufaktur ini ditambah lagi dengan krisis kapitalisme dunia yang mengharuskan mereka memberi tekanan terhadap kondisi perburuhan di Indonesia bagi kepentingan kapital mereka. Kekuatan buruh manufaktur sebagai kekuatan demokrasi di masa Orde Baru dapat disamakan dengan posisi buruh perkebunan pada masa kolonial. Pada saat sekarang jumlah buruh manufaktur telah mencapai 10,5 juta, walaupun dari segi jumlah buruh tani menempati proporsi lebih dari 40% dari jumlah seluruh angkatan kerja. Kenyataan bahwa pada saat sekarang mereka masih belum terorganisasi dan gerakannya masih spontan, itu merupakan hasil depolitisasi (pasifikasi) Orde Baru. Dan kekurangan ini harus kita kembalikan kepada kita yang masih sangat kurang menjalin hubungan yang "erat" dengan mereka.
Gerakan mahasiswa beberapa tahun belakangan ini juga telah mengambil isu-isu kerakyatan sebagai agenda gerakan seperti kasus-kasus penggusuran tanah baik oleh proyek pemerintah maupun swasta, kenaikan harga listrik, serta undang-undang lalu lintas dan sebagainya. Tetapi yang harus disadari adalah bagaimana memunculkan dan membangun kekuatan mahasiswa dan yang lebih penting lagi adalah membangun kekuatan rakyat yang telah kita ketahui sebagai satu-satunya kekuatan utama demokrasi. Tidak ada cara lain bagi perjuangan yang sulit dan panjang ini kecuali dengan berhubungan langsung dengan mereka, mengorbankan waktu kita untuk mendengarkan, belajar dan memecahkan persoalan-persoa¬lan yang dihadapi oleh mereka secara bersama-sama, yang selanjut¬kan dapat menyadarkan rakyat akan arti pentingnya pendirian organisasi yang membela kepentingan mereka. Kita tahu bahwa selama ini rakyat tidak mempunyai alat/organisasi untuk memper¬baiki kondisi kehidupan mereka. Sedangkan kebebasan berorganisasi dihambat/dilarang di negeri ini. Sehingga tuntutan utama bagi proses demokrasi di Indonesia (Orde Baru) adalah KEBEBASAN BAGI RAKYAT UNTUK MENDIRIKAN ORGANISASI. Tuntutan ini harus menjadi tema utama bagi gerakan demokrasi di masa Orde Baru. Tetapi tuntutan ini tidak boleh hanya disuarakan oleh mahasiswa tetapi yang lebih penting lagi adalah tuntutan oleh rakyat sendiri yang telah sadar akan pentingnya organisasi bagi perjuangan memperbai¬ki kondisi sosial ekonomi dan politik mereka. Oleh karena itu tugas yang paling berat dan panjang adalah menyatukan gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat, terutama gerakan buruh serta proses pendidikan politik rakyat dan ini merupakan salah satu tindakan politik yang selama ini telah dihalang-halangi sekian lama. Protes-protes mahasiswa dan buruh menjadi mata rantai bagi per-juangan demokrasi.
Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa untuk melakukan tugas ini tidak ada cara lain selain berhubungan langsung dengan mereka. Melihat kasus-kasus yang muncul di rakyat, khususnya di buruh, pada saat sekarang telah menunjukkan bahwa mereka siap menjalankan tugasnya sebagi kekuatan utama bagi proses demokratisasi Melihat kasus-kasus pemogokan yang terus bertambah sejak tahun 1990, menunjukkan bahwa mereka tidak hanya tertarik pada tuntutan upah, tunjangan dan lain-lain yang sifatnya ekonomis belaka tetapi mereka tertarik pada kebebasan berbicara, berserikat dan lain-lain. Ini dibuktikan dengan banyaknya tuntutan untuk pemben¬tukan SPSI juga pembubaran SPSI. Dalam kasus yang pertama menunjukkan bahwa mereka telah sadar akan pen¬tingnya organisasi perjuangan mereka, sedangkan yang kedua telah lebih sadar bahwa SPSI bukanlah organisa¬si yang dapat membela kepentingan mereka. Dan kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh SBSI untuk menuntut diakuinya\disyahkannya SBSI sebagai serikat buruh diluar SPSI. Apakah SBSI nantinya akan membela kepentingan buruh atau hanyalah akan menjadi serikat buruh yang tidak berbeda dengan SPSI akan dapat ditentukan di kemudian hari. Di samping itu terlihat budaya politik buruh juga telah maju. Dalam pemogokan, mereka telah mengerti kekuatan-kekuatan yang dipunyai mereka; untuk kepentingan siapakah militer ikut serta dalam setiap kasus pemogokan buruh, contoh dari keterlibatan militer ini adalah kasus pembunuhan Marsinah yang membawa reaksi dari berbagai pihak sehingga akhirnya pemerintah terpaksa menghapuskan peraturan yang mensahkan keterlibatan militer dalam konflik buruh dan pengusaha; aksi-aksi mereka juga dilakukan tidak hanya di pabrik-pabrik tempat mereka bekerja tetapi juga pada lembaga-lembaga negara seperti Depnaker, DPRD, DPR bahkan rally dengan aksi turun ke jalan; budaya politik dalam aksi-aksi mereka juga hampir mirip dengan budaya politik dari gerakan mahasiswa misalnya adanya poster, spanduk, yel-yel, mengundang wartawan dan lain-lain; yang semuanya menunjukkan bahwa mereka telah siap menjadi motor demokrasi. Jadi tugas mendesak dari gerakan mahasiswa adalah bagaimana menyatukan gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat dan oleh karenanya yang harus dilakukan oleh gerakan mahasiswa ini adalah bagaimana membangun kekuatan gerakan mahasiswa dengan secara politis dan harus terus didorong hingga pada level organisasional serta mengkaitkannya dengan gerakan rakyat.
Mendirikan dan membangun organisasi demokratis gerakan mahasiswa secara nasional yang kuat, yang terdiri dari berbagai serikat-serikat mahasiswa yang telah terbentuk sekarang ini di berbagai daerah merupakan langkah yang tepat. Sekedar contoh dapat disebutkan disini seperti LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi) yang terdiri dari 26 organ mahasiswa yang tersebar di 18 kota di Indonesia. Tuntutan terhadap kebutuhan sentral organisasi gerakan mahasiswa secara nasional merupakan tuntutan yang muncul sebagai hasil dari kebangkitan kembali gerakan mahasiswa dan gerakan-gerakan demokrasi lainnya. Jadi tugas mendesak gerakan mahasiswa bagi proses demokrasi di Indone¬sia adalah terbentuknya sentral organisasi mahasiswa. Tugas utama dari sentral organisasi mahasiswa ini adalah mengangkat isu-isu kerakyatan (lebih terutama isu-isu buruh, karena pada saat ini merekalah yang paling maju) disamping isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan sektor mereka (baca: mahasiswa) dan isu ini biasanya efektif sebagai langkah awal untuk menggalang massa di kampus. Bentuk gerakan lain dari gera¬kan mahasiswa ini adalah gerakan turun ke rakyat (apalagi bagi mahasiswa yang telah bukan menjadi mahasiswa lagi baik karena Drop Out, keluar sendiri maupun yang telah mendapat gelar sarja¬nanya). Persoalan untuk mewujudkan cita-cita ini justru ada pada mahasiswa itu sendiri, apakah ia tetap bersikeras untuk terus bertahan dengan sektarianisme mereka (baik regionalisme maupun sektarian isu sektor mahasiswa saja), elitis mereka dan juga karakter dari bojuis kecil mereka yang "enggan" menjalin hubungan dengan rakyat dan hidup bersama rakyat.
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa menjadi penting ketika ia dapat bersama-sama rakyat (terutama buruh) menuntut kebebasan berorganisasi sebagai penjabaran kongkret tuntutan demokrasi di Indonesia serta menjalin "hubungan yang akrab" dengan mereka. Dengan berhubungan dengan rakyat maka akan "menguatkan" komitmen serta konsistensi mereka terhadap perjuan¬gan demokrasi bahkan setelah mereka lulus atau sudah bukan maha¬siswa lagi. Dan kasus-kasus "larinya" mereka ke institusi-institusi yang tidak berbasis massa (diantaranya LSM-LSM) yang sekaligus membawa pengaruh berkurangnya/ turunnya praktek mereka dalam melebur dengan massa, dalam memperjuangkan demokrasi dengan metode-metode massa, akan dapat dihindari. Selanjutnya setelah proses ini berhasil dilewati maka dibutuhkan suatu organisasi yang dapat menjadi jembatan bagi terjadinya persatuan antara gerakan rakyat dan gerakan mahasiswa sebagai gerakan demokrasi di Indonesia.
Dengan bersatunya gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat maka¬ perbedaan-perbedaan antara mahasiswa dan buruh atau rakyat secara keseluruhan akan menjadi semakin kecil yang selanjutnya akan lenyap dan terbentuknya program tuntutan politik demokratis: menghapuskan otoriterisme Orde Baru, yaitu direbutnya kebebasan politik bagi masyarakat sipil --kebebasan organisasi, pawai, mendirikan organisasi, suratkabar, menulis, dll.
Setelah proses ini tercapai maka perjuangan demokrasi akan merupakan kenyataan. Akhirnya tidak beralasan bagi sebagian "intelektual" kita yang "keras kepala" yang mengecilkan arti penting gerakan mahasiswa, dan juga bagi mahasiswa yang tetap menolak untuk berhubungan dengan kelas yang paling mempunyai kekuatan untuk mendorong demokrasi.
Akhir dari tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa proses yang diuraikan diatas tidak mudah. Ia akan meminta kerelaan waktu, materi bahkan hidup kita sendiri. Dan yang lebih penting lagi kita harus dapat menghilangkan sifat sektarianisme kita. Kita telah melihat kawan-kawan kita yang ditangkap, dimasukkan dalam penjara serta dikeluarkan dari kampusnya. Kita juga melihat kawan kita yang hilang satu persatu --demoralisasi, dekadensi, dan menyerah--, tetapi kita juga melihat munculnya beratus-ratus kawan-kawan baru kita yang lebih maju dan siap terhadap tugas mulia, suci dan mendesak ini. Oleh karena itu wajar diakhir tulisan ini saya teriakkan: “HIDUP GERAKAN DEMOKRASI DI INDONESIA!”


Read More......

Selamat Datang Otonomi !

.
0 komentar


Selamat Datang Otonomi !

Universitas Gadjah Mada akan otonom. Kalimat itu terdengar manis setelah selama Orde Baru dunia pendidikan direcoki kepentingan penguasa. Tapi, kenapa otonomi kampus justru banyak ditentang?
Cerita bermula ketika Presiden (waktu itu) B.J. Habibie mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.61 Tahun 1999 yang mengubah status Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Kewenangan negara mencampuri urusan lembaga perguruan tinggi mulai dikurangi. Nantinya, selain secara kelembagaan tidak lagi di bawah departemen pendidikan, PTN juga mendapat lampu hijau untuk mencari duit sendiri.
Konsep inilah yang kemudian lebih dikenal dengan istilah otonomi kampus. Empat PTN-Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada-ditunjuk sebagai pilot project. Sekarang berbagai persiapan mulai dilakukan sebelum proyek ini akan berlaku efektif tahun 2005.
Otonomi kampus segera menjadi perhatian kalangan universitas. Masalah finansial menjadi salah satu aspek yang kontroversial. Dengan status barunya, universitas diharapkan lihai memanfaatkan aset yang dimiliki untuk mendapat pemasukan, menambal minimnya subsidi pemerintah dan SPP. Logikanya sederhana: semakin banyak uang yang di kantong universitas, semakin besar honor dosen dan karyawan, semakin canggih alat-alat laboratorium, semakin lengkap koleksi jurnal dan buku di perpustakaan, semakin baik pula kualitas pendidikan yang bisa diberikan.
Demi tujuan mulia itu, manajemen universitas mau tak mau harus ikut prinsip pasar: menjual apa yang laku dijual. Dengan kata lain, produk universitas-para lulusan, hasil riset, dll-harus sesuai keinginan calon konsumennya, dunia usaha.
Perdebatan pun muncul. Yang optimis melihat hal ini sebagai momentum memperbaiki kehidupan pendidikan tinggi dan kesempatan mensejajarkan diri dengan universitas negara yang lebih maju. Namun otonomi kampus dilihat beberapa kalangan (termasuk mahasiswa) sebagai upaya negara melarikan diri dari tanggung jawab membiayai pendidikan. Otonomi kampus juga dikhawatirkan memunculkan praktek komersialisasi pendidikan, universitas hanya akan menjadi pelayan dunia usaha. Kalau itu terjadi, universitas bukannya otonom, melainkan justru menjadi bagian dari sistem pasar bebas dan tak mungkin kritis terhadap situasi sosial-politik-ekonomi. Gelombang protes mencapai puncaknya pada akhir 1999, ketika serangkaian demonstrasi digelar. "Pendidikan akan kehilangan idealismenya," teriak mereka.

Kewajiban Negara
Pengetahuan adalah hak setiap orang, miskin atau kaya. Negara wajib memastikan agar sekolah tak cuma bisa dinikmati golongan masyarakat yang kebetulan lebih tebal dompetnya. Tentu saja cita-cita itu butuh biaya. Sayangnya, pendidikan tak pernah mendapat cipratan bagian anggaran negara (APBN) yang layak. Dulu ketika pundi-pundi negara penuh dan pertumbuhan ekonomi melejit pun pos pendidikan kalah dibanding anggaran beli senjata. Sekarang, setelah krisis, para penentu kebijakan berlindung dibalik alasan cekaknya duit negara.
Minimnya anggaran pendidikan menunjukkan penentu kebijakan tak paham pentingnya investasi pendidikan. Beda misalnya dengan Jerman. Setelah kalah perang, Jerman dengan jitu melihat pendidikan sebagai sarana meraih masa depan. Kemudian Jerman menjadi negara pertama yang konsisten memberlakukan wajib belajar bagi warganya sampai tingkat universitas. Sampai saat ini, pendidikan di Jerman bebas biaya, bahkan bagi orang asing! Atau Malaysia yang tahun ini menanggarkan 25% belanja negaranya untuk pos pendidikan.
Sedang APBN kita tahun 2001, jatah pos pendidikan cuma dapat 4,4% alias kira-kira Rp 13 trilliun untuk sekitar 500 ribu sekolah dan 51 PTN. Duit sejumlah itu tentu saja jauh dari ideal.


Komersialisasi Tidak Tabu
Situasi diatas telah melahirkan konsep otonomi kampus. Kalau mau kaya dan bermutu, universitas harus dijalankan dengan pendekatan bisnis: profesional, efisien, dan berorientasi pasar. Pertanyaannya adalah, apa benar komersialisasi mengancam idealisme? Mochtar Buchori dalam tulisannya di Basis edisi 12 (Januari-Februari 1998) menuliskan, istilah "komersialisasi pendidikan" yang berkembang saat ini dapat merujuk pada 2 hal yang berlainan. Pertama, pada sekolah dengan program dan kelengkapan mahal dan membebankan biaya pada peserta didiknya. Kedua, merujuk pada lembaga pendidikan yang mengabaikan kewajiban-kewajiban pada peserta didiknya, padahal kepada mereka dipungut biaya sekolah yang mahal. Komersialisasi jenis kedua inilah yang merugikan dan harus ditentang.
Adalah wajar bila pendidikan yang bagus memerlukan biaya tinggi untuk alat-alat praktikum (agar tak seperti museum), perpustakaan yang mencerdaskan, ruang kuliah yang kondusif maupun gaji dosen yang merangsang minat mendidik sambil terus belajar. Apalagi bila memang tak ada subsidi dari negara, beban pembiayaan sepenuhnya bakal ditanggung peserta didik.
Konon karena tak termasuk yang disubsidi pemerintah, program D3 dan ekstensi yang marak muncul menyebabkan pungutan kuliah lebih berat. Kini tarif yang dikenakan akan lebih mahal lagi karena program-program nonreguler ini diharapkan dapat menjadi tambang dana bagi pemenuhan kebutuhan fakultas maupun universitas. Bahkan ada rencana menambah jalur mekanisme penerimaan mahasiswa baru. Selain yang kita kenal sekarang (UMPTN, PBUD dan PBAD), akan ada jalur baru yang disebut special test dan special admission. Jalur ini, konon, lebih mempertimbangkan besarnya uang sumbangan yang mampu diberikan si calon mahasiswa.
Kita tak usah memungkiri kenyataan bahwa memang banyak orang yang cukup mampu "membeli" pendidikan. Benar kata Pak Bendot, "Hanya mereka yang layak sajalah yang menerima sobsidi."
Yang penting adalah pengelolaan uang yang tepat, agar "keuntungan" yang diperoleh kembali pada pemenuhan kelengkapan infrastruktur pendidikan dan penerapan subsidi silang pada mahasiswa yang kurang mampu. Bukan hanya menjadi ajang proyek pengurus fakultas, atau dosen yang mengabaikan kewajiban mengajar di kelas reguler karena mengejar honor tinggi di program ekstensi. Sayangnya praktek semacam itu sudah mulai menggejala di UGM.
Tingginya tarif yang dikenakan pada mahasiswa nonreguler harus diikuti dengan kualitas program pendidikan yang tinggi. Kampus jangan hanya menjadi penjual ijazah, memanfaat orang-orang pengidap "paper syndrome" yang berani mengeluarkan banyak duit untuk sekedar selembar ijazah, tanpa banyak peduli kualitas pendidikan yang dia dapatkan.



Read More......

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KERAKYATAN

.
0 komentar



PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KERAKYATAN
Oleh Ben Bella

Sejarah Pendidikan Indonesia
Pendidikan tentu ada di setiap jaman dan kurun waktu, misalnya, pendidikan berbasis keagamaan. Sedikit melacak ke belakang. Pendidikan pada jaman kolonial disiapkan sebatas kebutuhan menciptakan tenaga kerja lokal untuk mengisi posisi-posisi clerk dan administrasi rendahan serta tenaga kesehatan untuk penyakit-penyakit tropis. Tentunya hal ini untuk menggantikan orang-orang asing yang dipekerjakan dalam posisi tersebut. Dengan demikian biaya lebih murah akan menjadi keunggulan komparatifnya. Pendidikan diadakan dalam kerangka politik balas jasa-Etische Politiek-Kerajaan Nederland terhadap wilayah koloni mereka Hindia Belanda.
Buta huruf menjadi melek huruf. Ini perkembangan sangat penting. Pemerintah kolonial berharap dengan melek huruf berbagai peraturan dan pengumuman (baca: perintah) dapat disampaikan dengan lebih mudah. Memang kemudian berita-berita berbentuk selebaran hingga koran menjadi media efektif untuk menyampaikan pesan. Sejajar dengan hal tersebut, yang hadir kemudian tidak hanya satu sisi kepentingan kolonialisme saja; di lain sisi muncul orang-orang berideologi Sosial-Demokrasi dari Belanda yang ikut "membangun pendidikan" melalui kelompok-kelompok diskusi di Hindia Belanda, seperti Sneevliet, Adolf Baars. Pendidikan alternatif yang muncul dari luar negara tersebut menghasilkan pergerakan rakyat-sebuah kesadaran baru, yang tidak dapat dipersamakan dengan jaman kerajaan/feodal.
Pemahaman tentang politik memunculkan terbentuknya perhimpunan, serikat, vakbond. Pendidikan rakyat menjadi demikian luasnya, negara kolonial perlu membatasinya dengan memunculkan apa yang dikenal dengan Wilde Schoolen Ordonantie. Ordonansi yang berusaha melarang pendidikan politik oleh dan untuk rakyat. Pendidikan rakyat ini dalam satu tulisan Moeso adalah:
"Oentoek mentjepatkan datangnja kemerdeka'an kita, haroeslah sekalian saudara membatja boekoe-boekoenja sendiri, jang ditoelis oleh orang-orang dari klasnja sendiri.
Klas jang tertindas haroes menerbitkan boekoe-boekoe jang perloe dalam pertandingan melawan kapital."6)
Pendidikan rakyat bukan saja mengganggu Rest en Orde (aman dan tertib) kolonial, tetapi menggusur kolonialisme.
Periode jaman bergerak di Hindia Belanda memang kurun paling demokratis. Di satu sisi negara kolonial berjalan dengan program-program ekonomi-politik yang tentu dengan ideologi mempertahankan untuk kemapanan investasi kapitalisme. Di lain sisi begitu hiruk-pikuk politik, ideologi dalam masyarakat luas. Setiap kelompok dengan kepentingannya masing-masing berjalan sendiri-sendiri.
Demikian pada masa tersebut dapat ditemui inisiatif pendidikan yang datang dari negara (-kolonial) dan pula dari rakyat. Pendidikan dari negara (-kolonial) menetapkan prasyarat bahwa orang tua siswa harus berlatar penguasa bumiputera (bupati, lurah, wedana, dsb.). Sementara pendidikan inisiatif rakyat tidak menetapkan prasyarat apa-apa.
Dalam jaman ini pula lahir tokoh-tokoh perlawanan terhadap negara kolonial Hindia Belanda seperti R. Oemar Said Tjokroaminoto, Mas Marco Kartodikromo, Semaoen, R.M. Soewardi Soerjaningrat, R.M. Sorjopranoto, R.P. Sosrokardono, Hadji Misbach, R.A. Kartini, R.A. Siti Soendari dan masih banyak lagi. Suratkabar radikal yang menjadi corong dan ajang berdebat adalah: Sinar Hindia, Sinar Djawa, Doenia Bergerak, API, Si Tetap, Njala, Proletar, dsb.
Pola-pola-negara dan rakyat melakukan inisiatif sendiri-sendiri-tersebut berlangsung terus hingga hari ini. Negara (dalam hal ini pemerintah) tetap menyelenggarakan pendidikan; sementara di sisi lain ada inisiatif sektor swasta yang menyelenggarakan beragam pendidikan. Memang ada yang berbeda: saat ini pendidikan adalah barang-dagangan kapitalisme pula, hal ini tidak terjadi di jaman bergerak hingga berakhirnya kekuasaan Soekarno di akhir 1960-an.
Pendidikan menjadi mahal, pendidikan menjadi barang-dagangan kapitalistik memang menjadi tak terhindarkan di Indonesia. Bila di awal Orde Baru, awal tahun 1970-an, pendidikan masih agak murah, itu disebabkan oleh saat itu oil-boom menjadi tulang-punggung perekonomian Indonesia. Pemerintah dapat menyediakan subsidi dalam jumlah memadai untuk pendidikan. Tidak hanya bersekolah di dalam negeri tetapi juga ke luar negeri. Masa tersebut beasiswa disediakan dalam jumlah cukup besar.
Sistem Pendidikan Dari Masa kemasa
Sampai saat ini, dalam kenyataannya, negara tak pernah menjalankan secara konsekuen amanat UUD 1945 dalam persoalan pendidikan. Di masa Orde Baru, kecenderungan ini justru lebih terlihat dibanding periode sebelumnya. Bahkan terkesan di masa Orde Baru, pendidikan mulai secara perlahan dikomersialkan. Bertambahnya populasi manusia Indonesia semasa Orde Baru tak pernah dihadapi dengan persiapan infrastruktur sosial, termasuk dalam persoalan pendidikan. Bahkan dapat dikatakan, pemerintah justru tak pernah dengan serius memperhatikan persoalan ini. Pemerintah Orde Baru justru lebih membiarkan anak-anak Indonesia masuk ke dalam jeratan pendidikan swasta. Memang begitu banyak dibangun SD-SD Inpres, tetapi sangat jelas kelanjutan dari pendidikan dasar tersebut sangat tidak diperhatikan. Bahkan kini, program SD Inpres ini sepertinya sama sekali ditinggalkan, jika kita melihat begitu banyak gedung-gedung SD Inpres, terutama di daerah pedesaan, yang nyaris rubuh dan hanya memiliki beberapa orang guru saja untuk mendidik semua tingkat kelas yang ada. Dengan pembenaran kesulitan semacam inilah, pintu untuk pendidikan swasta, di bawah naungan yayasan-yayasan yang kebanyakan bersifat keagamaan, masuk memanfaatkan segenap potensi pasar yang ada. Berdirilah sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang kini semakin jelas terlihat tujuan mereka sebenarnya: uang!
Seiring dengan pertumbuhan industri, kebutuhan akan tenaga kerja terdidikpun muncul, terutama dengan keahlian yang benar-benar seperti yang diinginkan oleh para pemilik perusahaan. Kebutuhan tersebut ternyata tak terjawab oleh adanya sekolah-sekolah kejuruan yang ada. Untuk menjawab keinginan ini, negara memperkenalkan sistem pendidikan D1, D2, dan D3. Iming-iming cepatnya lulusan diploma mendapatkan pekerjaan, membuat program ini laku diminati orang dan berbondong-bondong lulusan SMA menyertakan dirinya ke dalam program ini. Tahun-tahun terakhir dari masa Orde Barupun kita mulai mendengar istilah “Link and Match” yang bermakna hubungan yang katanya harmonis antara dunia Industri dan Pendidikan. Tujuan dari model pendidikan seperti ini, menurut Wardiman Djojonegoro, adalah setiap peserta didik dapat langsung mendapatkan pelatihan yang menggunakan perkembangan teknologi terakhir sehingga memudahkan ia untuk bekerja nantinya dan pihak industri mendapatkan pekerja yang sesuai dengan kualifikasi yang diinginkannya.
“Link and Match” meski belum sempat diterapkan secara efektif, namun minimal ia adalah salah satu gerbang masuknya pengaruh perusahaan-perusahaan besar ke dalam sistem pendidikan Indonesia. Pemerintah begitu bersemangatnya, sehingga merasa harus memberikan insentif berupa pembebasan pajak bagi industri yang menjalankan konsep ini, atau yang sering disebut Pendidikan Sistem Ganda . Dalam kenyataannya kemudian, pelibatan dunia industri justru membuka kesadaran bagi dunia industri untuk mentenderkan riset dan pengembangan produknya di kampus-kampus. Dan juga membuka kesadaran di kalangan kampus, bahwa kampus dapat dijadikan lahan bisnis yang cukup besar. Hasil akhir dari sistem pendidikan yang dibangun oleh Orde Baru adalah sebuah mimpi buruk. Dari penelitian yang dilakukan Departemen Pendidikan dan PBB menyatakan, di tingkat Sekolah Dasar misalnya, hanya separuh siswa SD di Indonesia yang lulus pada tahun keenam, 65 persen lulus pada tahun ketujuh, dan 70 persen yang lulus pada tahun kedelapan.
Penyebaran kualitas pendidikan pun sangat menyedihkan. 80 persen calon mahasiswa PTN terbaik berasal dari sekolah-sekolah di Jawa. Lihat saja skor rata-rata untuk penerimaan mahasiswa baru (UMPTN) tahun 2000 yaitu 771, sedangkan di luar Jawa hanya berkisar 400-600. Salah satu argumen yang berkembang tentang sumber persoalan ini adalah karena pola kebijakan pendidikan yang sentralistis, di mana pusat mengatur mulai dari jam belajar, metode belajar, dan target yang harus dicapai. Akibatnya, terdapat keterbatasan sekolah dalam mengatasi berbagai macam masalah, karena sekolah dan guru hanyalah pelaksana yang selalu dibelenggu oleh aturan-aturan baku yang ditetapkan oleh pusat. Akan tetapi, benarkah argumen ini? Intervensi komersialisasi justru menjadi penyebab utama dari segudang persoalan di atas. Ia menyebabkan membengkaknya iuran pendidikan yang harus dibayar orang tua siswa akibat adanya pengutipan oleh birokrasi sekolah atau kampus. Ia menyebabkan adanya buku-buku tidak bermutu yang malah dipakai oleh sekolah-sekolah. Ia menyebabkan munculnya sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang materi pengajarannya harus dengan sangat terpaksa kini diragukan. Pemerintah yang cuci tangan dari kewajibannya dan pembukaan pendidikan untuk komersialisasi jelas adalah penyebab utama dari amburadulnya hasil pendidikan Orde Baru.
Globalisasi dan Pendidikan
Pendidikan sebagai sat bagian dalam kehidpan sosial tidak pernah lepas dari pengarh hegemoni ideologi dominan (kapitalisme) yang akan selalu bersaha untuk memantapkan hegemoninya. Arus globalisasi akan masuk kedalam sistem pendidikan kita. Dalam konteks sekarang perlu pula diperhatikan masalah 'globalisasi.' Di satu sisi, globalisasi memiliki sisi positif memberi keuntungan pada pengusaha dan pedagang karena memberi mereka kesempatan memasuki pasar dunia. Dan juga, globalisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang akan memberikan tantangan untuk berkompetisi antara sesama pengusaha. Pada level internasional, kepala-kepala negara mengadakan pertemuan seperti APEC meeting (Asia-Pacific Economic Cooperation), dalam kenyataannya mereka menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembukaan pasar di setiap negara untuk barang-dagangan internasional, perdagangan dan investasi. Kerjasama regional kita dapati seperti AFTA (Asia Free-Trade Area untuk Asia Tenggara), NAFTA (North-America Free Trade Area untuk region Atlantik Utara). Sementara itu, sejak 1970an ada lingkaran pertemuan yang penting disebut GATT (General Agreements on Tariffs and Trade), suatu forum yang pada Januari 1995 berubah menjadi organisasi bernama WTO (World Trade Organization).
APEC, AFTA, NAFTA, dan WTO kenyataannya hanya urusan bisnis. Penggunaan otoritas pemerintah lokal hanya untuk memudahkan perdagangan semata. Misalnya, forum seperti APEC adalah satu forum konsultatif di tingkat regional yang mempromosikan "perdagangan lebih terbuka, kerjasama ekonomi lebih luas, ekspansi investasi dan stistem perdagangan multilateral yang lebih kuat." Atau, seperti ‘Declaration of Common Resolve’ (November 1994) dinyatakan: "melanjutkan pengurangan jurang-jurang perdagangan dan investasi memudahkan barang, jasa dan kapital untuk terbang bebas di dalam perekonomian kita."
Pada setiap pertemuan, setiap lembaga yang terlibat dipaksa untuk menerima sejumlah persetujuan yang berhubungan dengan investasi dan perdagangan internasional, khususnya demi kepentingan pengusaha. Mereka juga membicarakan soal buruh namun tidak dalam upaya melindungi kepentingan buruh. Dalam APEC Ministerial Meeting Statement dinyatakan bahwa: "APEC akan menjadi bursa tenaga kerja lebih besar membentang melampaui batas perekonomian [negara] anggotanya. Di situ kita mempersiapkan secara sederajat memfasilitasi gerak ketrampilan (skills) dan tenga kerja menyeberangi batas-batas nasional."
Masalah-masalah tenaga kerja sekilas sepertinya menjadi perhatian internasional hanya dalam batas-batas untuk menekan negara-negara Dunia Ketiga agar bersedia mengikuti skenario yang telah dipersiapkan. Tekanan seperti ini bisa dilihat, misalnya, terjadi di awal 1990an ketika pemerintah AS mengancam Indonesia menghentikan fasilitas GSP (General System of Preference), bila pemerintah Indonesia masih tidak memberi penghargaan terhadap hak berserikat buruh. "Keinginan baik" seperti ini hanya muncul bila ada masalah dalam perdagangan dan investasi.
Melambungnya harga adalah konsekuensi dari realisasi penghapusan subsidi seperti dirumuskan dalam Letter of Intent (LoI) antara International Monetary Fund (IMF) dan pemerintah Indonesia. LoI memasukkan SAP. IMF mengajukan sejumlah kondisi untuk pinjaman, termasuk kenaikan harga, penghapusan subsidi, dan penundaan proyek-proyek pembangunan pemerintah yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Hal tersebut menempatkan IMF untuk membukakan jalan bagi pembukaan ekonomi sepenuhnya di bawah kontrol multinasional, jadi mereka menuntut penghapusan/pengakhiran subsidi dan berbagai pembelanjaan sosial. Singkatnya, IMF berupaya meruntuhkan stabilitas sosial dan politik. IMF menyarankan: pemerintah Indonesia harus meningkatkan pendapatannya dari pajak.
Dengan kondisi seperti ini, dengan segala keterbatasan yang dimiliki, kita dipaksa untuk mengikuti arus pasar tanpa batas, yang kemudian membeli semua sarana dan prasarana pendidikan yang kita miliki. Ujung-ujungnya kemudian semua fasilitas tersebut harus kita bayar dengan sangat mahal untuk dapat menikmati fasilitas-fasilitas pendidikan tersebut.
Pendidikan Gratis, Kenapa tidak….?
Di Indonesia, mahasiswa negeri angkatan 1999 dan 2000 kini membayar uang mendekati 1 juta rupiah sebagai SPP. Sampai saat ini memang masih belum jelas untuk tingkat pendidikan di bawahnya, tetapi memang telah terlihat akibat-akibat kenaikan SPP ini, 3 juta anak usia SMTP tidak sekolah. Sementara itu, pemerintah tetap mendorong kebijakan otonomi pendidikan kepada pemda-pemda dan otonomi kampus. Untuk otonomi kampus saja, direncanakan subsidi untuk pendidikan tinggi akan terus-menerus dikurangi sampai nol dalam jangka beberapa tahun. Menjadi persoalan pelik jika di saat krisis saat ini sektor pendidikan tidak menjadi bagian perhatian pemerintah. Apabila terus-menerus seperti ini, maka bukan tidak mungkin pendidikan kembali hanya menjadi monopoli orang-orang yang memiliki modal yang hanya memberikan pendidikan kepada orang lain untuk memperlancar ekonominya.Bandingkan dengan kebijakan pemerintah terhadap sektor negara lainnya, seperti subsidi untuk militer yang nilainya jauh lebih besar dari pada subsisdi untuk pendidikan.
Untuk meningkatkan kekuatan produksi maka biaya pendidikan harus gratis. Kalau biaya pendidikan murah subtansinya itu seperti apa? Murah itu abstrak, yang menjadi pertanyaan itu murah bagi siapa? Subtansi pendidikan gratis dalam satu gerakan perubahan adalah transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan kekuatan produksi. Arah tuntutan pendidikan gratis itu kepada keluarga buruh, tani, kaum miskin kota, yang sangat minim mendapatkan kesempatan pendidikan.
Perspektif Ilmiah
Selain harus gratis, untuk memajukan kekuatan produksi kurikulum pendidikan juga harus ilmiah. Selama masa orde baru kita ketahui dan rasakan bahwa kurikulum pendidikan yang diberikan tidak ilmiah. Karena rezim orde baru memiliki kepentingan akan keberlangsungan sistem kapitalisme yang dijalankannya. kebutuhan kapitalisme saat ini akan tenaga kerja yang terlatih dalam jumlah besar merangsang ekspansi universitas yang cepat dan menghasilkan "proletarisasi" tenaga intelektual, yang tunduk kepada tuntutan-tuntutan kapitalis dan tidak berhubungan dengan bakat perorangan atau kebutuhan manusia. mahasiswa memiliki kewajiban menerjemahkan pengetahuan teoretis, yang mereka peroleh di universitas, ke dalam kritik-kritik yang radikal terhadap keadaan masyarakat sekarang dan tentunya relevan dengan mayoritas penduduk. Sehingga kurikulum pendidikan yang diterapkan pun berkiblat pada akan kebutuhan kapitalisme untuk melanggengkan penindasannya.
Untuk itu kurikulum pendidikan harus ilmiah agar mahasiswa dapat menterjemahkan pengetahuan teoritis yang didapatkan dan menemukan formula-formula baru untuk kebutuhan masyarakat luas. Hanya dengan kurikulum yang ilmiahlah yang dapat menjawab akan tuntutan kemajuan jaman.
Demokratisasi Pendidikan
Sekali lagi, selain gratis dan ilmiah tentunya pendidikan juga harus demokratis. Demokratis disini yang harus diterapkan adalah sistem pendidikannya. Mahasiswa setidaknya berhak untuk ikut menentukan kehidupan mereka sendiri selama empat, lima atau enam tahun yang mereka habiskan di universitas. Sebab mahasiswa adalah elemen penting dalam menjalankan sistem pendidikan itu sendiri. Selama rezim orde baru bahkan sampai saat ini kita merasakan sistem pendidikan yang sangat tidak demokratis.
Dalam konsep pendidikan saat ini memang negara tidak terlalu dominan dibanding masa Orde Baru. Namun yang menarik, pelibatan semua unsur-unsur masyarakat di dalam Lembaga Pertimbangan Pendidikan dan Kebudayaan (LPPK) untuk SD-SMTA di pemda-pemda setempat, dan Majelis Wali Amanat (MWA) untuk perguruan tinggi negeri. Kenapa menarik? Karena di dalam setiap lembaga tersebut, unsur usahawan selalu dimasukkan sebagai daftar pertama sebagai anggotanya. Jelas, masuknya usahawan ke dalam manajemen pendidikan tidak bisa ditolak jika yang bersangkutan benar-benar ingin membantu dunia pendidikan tanpa imbalan apapun. Namun kenyataannya, ini sering kali membuat institusi-institusi pendidikan memasukkan hitungan untung rugi finansial dalam memberikan pendidikan kepada peserta didiknya. Hal ini jelas memberikan dorongan bari para birokrasi seperti birokrat kampus sampai birokrat Depdiknas menerapkan sistem pendidikan yang sangat tidak demokratis. Pola-pola militerisme terkadang sering digunakan untuk melanggengkan penghisapan guna mengabdi pada satu sistem kapitalisme.
Untuk itu semua mau tidak mau mahasiswa harus bangkit melawan untuk menciptakan kehidupan kampus yang demokratis. Ini juga dapat mendorong kearah pembangunan sistem pendidikan yang demokratis pula. Tidak menghamba pada suatu modal, dan lebih berorientasi demi kemajuan dan pembangunan bagi masyarakat luas. Hanya dengan kekuatan organisasi sentral mahasiswa, seperti Dewan Mahasiswa yang bersifat demokratis dapat mewujudkan semua cita-cita menuju tatanan masyarakat yang demokratis.
Pendidikan adalah satu-satunya pilihan terbaik untuk menemukan masalah mendasar yang dihadapi rakyat. Melalui pendidikan kita dapat memikirkan kembali makna hubungan-hubungan antara klas-klas sosial, organisasi-organisasi dan partai-partai politik, serikat-serikat, dsb. Krisis kapitalisme telah membuat negeri kita bangkrut; meskipun negeri kita kaya berbagai sumber daya alam
* Ketua Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND)
Eksekutif Wilayah VII Sulawesi



Read More......

LEMBAGA SEBAGAI ALAT PERJUANGAN

.
0 komentar


LEMBAGA SEBAGAI ALAT PERJUANGAN
MENUJU SISTEM PENDIDIKAN KERAKYATAN

Belajar dari histori lembaga mahasiswa Indonesia sebagai alat atau wadah perjuangan yakni dengan mengangkat problem pokok mahasiswa dan rakyat. Di mana problem pokok mahasiswa dan rakyat tentu pendidikan yang murah, ilmiah dan demokratis, sehingga mereka yang ekonominya menengah ke bawah juga mempunyai kesempatan mengecap pendidikan di perguruan tinggi, konsep ini dimiliki oleh dewan–dewan mahasiswa yakni kesetaraan dengan pihak birokrat kampus dalam pengambilan kebijakan pendidikan yang sangat langkah ditemui di lembaga-lembaga Intra kampus sekarang ini.

Dewan mahasiswa kemudian dibubarkan setelah terjadinya peristiwa MALARI (Malapetaka 15 Januari 1974), dimana kita bisa melihat tingkat mobilisasi Dema ini dalam mengadakan rapat akbar dalam menyikapi kedatangan Perdana Mentri Jepang KAKUEI TANAKA ke Jakarta mengenai penanaman modal asing. Aksi ini dilakukan oleh hampir seluruh mahasiswa Indonesia. pemerintah yang terganggu ketenangannya, membuat suatu kebijakan yang kita kenal NKK/BKK dan pelarangan mendirikan organisasi selain SMPT hingga SMU (OSIS).

Aktivitas mahasiswa kemudian dikontrol oleh penguasa lewat kaki tangannya yakni pihak Rektorat dan Dosen Pengajar. Mahasiswa kemudian di dorong untuk melakukan kegiatan yang bersifat serimonial, eksklusif atau mengharumkan nama almamater bahkan watak militeristik yang digunakan ketika menghadapi mahasiswa baru, yang menjadi pertanyaan kita kenapa tidak banyak aktivitas atau gerakan mahasiswa yang gencar issu dunianya (sistem pendidikan). Tentu karena tidak adanya pembasisan atau kaderisasi dan lembaga kampuspun hanya sekedar pelaksana kegiatan yang tinggal dilaksanakan atau disetujui oleh rektorat, lembaga hampir tidak punya nilai tawar dengan birokrat kampus, sehingga kepentingan mahasiswa tidak pernah diperjuangkan.

Kecenderungan mahasiswa sekarang yang malas berlembaga, ini diakibatkan dengan adanya represifitas yang dilakukan oleh birokrat kampus terhadap mahasiswa dengan metode yang sering dipakai yaitu :
1. memperketat absensi kehadiran (kuantitas kehadiran sekitar 80%, jika tidak memenuhi standar demikian maka mahasiswa tersebut tidak dapat mengikuti ujian semester).
2. Merepresif nilai jika bertentangan atau berbeda pendapat dengan dosen dan birokrat kampus.
3. Membuat perjanjian sepihak tanpa melakukan diskusi dengan mahasiswa seperti yang terjadi di UNISRI
4. Merepresif mahasiswa yang kritis dengan metode pemanggilan orang tua/wali.
5. Menghilangkan demokratisasi ketika mahasiswa menuntut.
6. Rutinitas tugas (kawan-kawan mahasiswa EKSAKTA yang paling merasakannya) yang membuat mahasiswa hampir tidak punya waktu untuk mempelajari bidang ilmu lainnya.
7. Pemecatan atau Drop Out seperti yang terjadi di UI Poltek Makassar, Univ. Mulawarman dsb.

Dengan diberlakukannya sistem NKK/BKK, maka mahasiswa secara tidak langsung didorong untuk cepat menyelesaikan studinya, sehingga hampir tidak punya waktu untuk mengkaji berjuta persoalan yang ada diperguruan tinggi. Dan kita kemudian lupa menjawab mengapa pendidikan semakin mahal, tidak ilmiah dan jauh dari nilai demokratisasi? Sepertinya tujuan pendidikan tidak lagi melahirkan manusia-manusia yang utuh melainkan manusia-manusia setengah robot.

Lembaga kampus telah reorientasi dari hakikatnya sebagai lembaga kemahasiswaan yang mengabdi kepada kepentingan mahasiswa dan rakyat banyak. Dimana lembaga kampus sekarang ini hanya melahirkan mahasiswa-mahasiswa seperti berikut ini :
1. Intelektualis : golongan mahasiswa yang banyak mengkomsumsi teori tanpa adanya keperpihakan yang jelas terhadap rakyat.
2. Aktivisme : mahasiswa yang ikut ambil bagian untuk melawan rejim namun setela status mahasiswanya berakhir ia kemudian menjadi penindas-penidas baru.
3. Sektarian : kelompok mahasiswa yang berjuang hanya untuk kepentingan kelompoknya dan merasa tidak usah mengajak lembaga-lembaga yang lainnya.
4. Feodal : Mahasiswa yang terlalu menagungkan senioritas dan merasa dirinya yang paling benar(anti demokrasi).

Kondisi lembaga kampus yang tidak akomadatif untuk mendengar dan memperjuangkan anspirasi mahasiswa tentu tidak bisa dipertahankan lagi. Yang mesti dilakukan segera adalah mempelajari, mengevaluasi dan melakukan perubahan-perubahan dalam sistem kelembagaan sebaga syarat mutlak sebuah lembaga maju. Oleh karna itu selayaknya kita mempelaari bersama konsep SMPT yang sekarang dengan Dewan mahasiwa yang pernah bersejarah dengan adanya kesetaraan antara mahasiswa dan birokrat kampus dimana mahasiwa terlibat langsung dalam penganbilan kebijakan yang didalamnya adalah tentang kurikulum, alokasi dana kemahasiwaan, peraturan akademik bahkan mahasiswa dilibatkan dalam kebijakan ekonomi dan politik pada suatu negara.

Demikianlah makalah ini aku persembahkan untuk perubahan yang signifikan dilembaga kita tercinta ini.

Makassar, 10 Januari 2002

Perjuangan Mahasiswa adalah Milik Bersama,
Tanpa Batas Tanpa Penindasan… !!!

BENTUK DEWAN MAHASISWA, REBUT DEMOKRASI SEJATI
Zaini R


Read More......

Musang Kapitalis Berbulu Kemandirian

.
0 komentar



Musang Kapitalis Berbulu Kemandirian

Mengapa pendidikan di Indonesia mahal ? Sebab ilustrasi pendidikan di Indonesia, terdapat di uang 20.000-an, bukan di uang seratusan. Berangkat dari sentilan sederhana inilah, otonomi perguruan tinggi menjadi menarik untuk dibahas. Dengan ini maka apa yang selama ini ditakutkan banyak kalangan akademis, kian mendekati kenyataan : SPP naik ratusan persen, aset-aset kampus akan dikomersialkan dan seabrek rasionalisasi lain. Ujung-ujungnya jelas : kapitalisasi pendidikan. Dilibatkannya World Bank dalam perumusannya ikut memperjelas arah otonomisasi. Tim Laporan Utama DIANNS menyajikan untuk Anda.

Sejarah Lahirnya Ide Otonomi
Indonesia pada Orde Baru selalu menerapkan sistem yang sentralistik di segala bidang, termasuk di bidang pendidikan. Terpusatnya kebijakan pendidikan dapat dilihat dari peran serta pemerintah dalam pemilihan pimpinan universitas sampai diterapkannya kurikulum nasional. Hal ini menandai keinginan pemerintah untuk senantiasa mengontrol perguruan tinggi. Gerakan mahasiswa juga tidak lepas dari
Kantor Dirjen Dikti.dibubarkan saja

pasungan pemerintah, melalui kebijaksanaan NKK/BKK pada era Daoed Joesoef. Sehingga ketika rezim Orde Baru runtuh, sistem yang sentralistik ini juga mulai di kritisi dan digugat keberadaannya. Salah satu bentuk gugatan yang muncul adalah keinginan untuk mandiri atau otonom dari pihak perguruan tinggi negeri pada khususnya.
Dalam sistem pendidikan nasional, asas otonomi dengan kebebasan akademik secara resmi dinyatakan dalam UU No.2/1989 serta PP No.30/1990. Dalam aktualisasinya, kebebasan ini bukan yang tidak terbatas tetapi harus memperhatikan moral dan tata nilai masyarakat Indonesia. Istilah otonomi diperkenalkan Dirjen Dikti (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) tahun 1996 -saat itu dijabat oleh Bambang Soehendro- dalam makalahnya di Seminar on Management of Higher Education: Anticipating The Year 2020. Menurutnya, asas otonomi harus didampingi dengan asas akuntabilitas publik (pertanggungjawaban kepada masyarakat). Jadi istilah otonomi PTN lebih dulu digulirkan jauh sebelum pemerintahan Gus Dur menelorkan isu otonomi daerah seluas-luasnya. Namun, keluarnya PP No. 60/1999 -tentang Pendidikan Tinggi- dan PP No. 61/1999 -tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum- baru dapat memicu PTN-PTN di Indonesia untuk menempatkan isu otonomi dalam rencana strategis jangka pendek masing-masing menuju realitas kemandirian perguruan tinggi negeri.
Sebagai pilot project otonomisasi PTN dipilih 4 PTN terkemuka yakni UI, ITB, IPB dan UGM. Alasannya menurut Direktur Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), Dr. Ir. Satryo Brodjonegoro, "Karena keempat PTN itulah yang selama ini mendapat pendanaan terbesar dari pemerintah." Ditambahkan juga oleh Direktur Pembinaan Sarana Akademis Dirjen Dikti, Dr. Suprodjo Pusposutardjo, bahwa pilot project dipilih bukan karena besar kecilnya kota tempat PTN itu berada, tetapi atas dasar kinerja manajemen dan akademisnya.
Otonomisasi = Subsidi Nol
Gugatan perubahan ini juga dipacu oleh berbagai krisis yang saat ini sedang melanda Indonesia. Kepercayaan masyarakat semakin menipis, baik terhadap lembaga-lembaga formal, pemerintah, maupun antar kelompok dalam masyarakat sendiri. Sedangkan proses transisi menuju masyarakat madani yang lebih demokratis membutuhkan mitra terpercaya, yang mampu berperan sebagai kekuatan moral. Perguruan Tinggi Negeri diharapkan mampu memerankannya. Tetapi saat ini peran tersebut tidak akan dapat terwujud karena PTN sendiri keberadaannya masih belum mandiri. Kekuatan moral yang mandiri dapat dimiliki apabila Perguruan Tinggi memperoleh otonomi.
Namun otonomi yang dilaksanakan di tengah krisis menimbulkan anggapan minor, bahwa PP No. 61/1999 diterbitkan karena pemerintah kesulitan keuangan. Tim Persiapan Penerapan Otonomi di PT yang dibentuk oleh Dirjen Dikti membantah anggapan tersebut. "Tidak benar bahwa PP No. 61/1999 terbit untuk mengurangi tekanan terhadap anggaran pemerintah." "Namun," lanjut mereka, "Benar bahwa berbagai krisis yang terjadi telah mendorong pemerintah menerbitkan PP tersebut."
Pernyataan Tim Persiapan Otonomi di Perguruan Tinggi tersebut senada dengan Dirjen Dikti. Dalam wawancara melalui email, Satryo menyatakan dukungan pemerintah untuk PTN tetap diberikan kepada PTN tersebut, tidak ada pengurangan terkecuali kalau PTN sangat buruk kinerjanya, sehingga tidak ada pengalihan subsidi pemerintah. Menurut Satryo dengan adanya otonomi, bukan pemerintah mengurangi dukungan akan tetapi PTN tersebut justru dapat menggali dana masyarakat lebih besar dengan berbagai keahliannya, bukan dengan menaikkan SPP. Suprodjo Pusposutardjo mendukung pernyataan itu, "Subsidi PTN tetap, hanya berubah cara memperolehnya dari input based ke bentuk academic and management performance based."
Tetapi pernyataan tersebut ditampik oleh Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Bachtiar Firdaus. Ketika diwawancarai DIANNS, Bachtiar mengakui adanya kenaikan SPP di UI mulai bulan Agustus 1999. Kenaikan ini, menurutnya disebabkan ditariknya subsidi pendidikan sebesar 80%. "Walaupun pihak rektorat menyanggah bahwa kenaikan itu merupakan bagian dari otonomi itu, tetapi setelah kita cari-cari ternyata itu bagian dari otonomi sendiri, " lanjutnya.
Seperti menyadari kondisi yang berkembang, bahwa pencerdasan bangsa tidak akan berjalan tanpa suntikan dana yang cukup, Menteri Pendidikan Nasional, Dr. Yahya Muhaimin, dalam suatu kesempatan tatap muka dengan wartawan di Yogyakarta, seperti diberitakan Kompas pada edisi 21 Desember 1999, merencanakan akan meningkatkan anggaran pendidikan sebesar 35 persen, dari sebesar Rp 18 trilyun atau 8,5 persen dari total APBN menjadi Rp 25 trilyun. Meskipun ada rencana untuk menaikkan anggaran pendidikan, jumlah itu masih terlalu kecil dibandingkan anggaran pendidikan di luar negeri. "Di Amerika Serikat sendiri (perguruan tinggi, Red.) yang paling hebat itu masih ditanggung pemerintah 20-30%. Yang paling payah masih 50-60 %. Eropa juga begitu, Australia juga begitu," ungkap Pembantu Rektor II IPB, Ir. H. Darwin Kadarisman, MS. Kendala dalam anggaran pendidikan tidak saja pada kecilnya alokasi dana. Jika nantinya PTN berubah bentuk menjadi badan hukum, pemerintah tidak bisa memberikan subsidi secara langsung kepada PTN yang bersangkutan. Karena secara hukum pemerintah tidak diperbolehkan untuk mengalokasi APBN untuk mendanai suatu badan hukum. Permasalahan ini menurut Tim Persiapan Otonomi di Perguruan Tinggi dapat diselesaikan pemerintah dengan melakukan perjanjian jual-beli dengan badan hukum itu, misalnya kontrak jual-beli lulusan dalam jumlah dan kualifikasi tertentu.
Otonomisasi PTN, Juklak Kapitalisme
Kemandirian perguruan tinggi negeri, seperti halnya ‘kebijaksanaan’ pemerintah lainnya, diteorikan dengan bahasa yang sangat ideal. Meskipun begitu, tidak sedikit pihak yang meragukan atau bahkan menolak. Rektor Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Asman Budisantoso Ranakusuma sendiri dalam pidato wisuda bulan Agustus tahun 1999 lalu secara implisit mengaku terkejut, karena kalangan UI menyangka otonomisasi akan berlaku sekitar tahun 2009. Padahal, otonomi itu sendiri dirumuskan oleh utusan dari UI di samping beberapa utusan PTN lain yang masuk dalam pilot project otonomisasi PTN.
Mereka –para utusan tersebut- juga didampingi oleh wakil dari Bank Dunia. Menanggapi hal itu, Satryo menyatakan bahwa keterlibatan Bank Dunia sebagai donatur bagi tenaga asing yang ikut mempersiapkan kemandirian PTN. Hal ini dibenarkan oleh Pembantu Rektor II IPB, Ir. H. Darwin Kadarisman, MS, bahwa Bank Dunia akan me-review tiap PTN yang menjadi uji coba otonomisasi karena mereka agak expert di bidang ini. Namun Direktur Pengembangan Sarana Akademik (PSA) kepada DIANNS membantah pernyataan tersebut, melalui wawancara tertulis dia menyatakan, "Bank Dunia tidak bertindak sebagai apa-apa." Keterlibatan World Bank jelas menunjukkan adanya kepentingan kaum kapitalis terhadap pendidikan yang semakin amburadul di Indonesia. Seperti dikatakan Nur Yahya, aktivis Forum Studi Ekonomi dan Politik (Forstep), "Yang namanya World Bank atau lembaga internasional termasuk juklak intenasional dalam rangka kapitalisme global. Sekarang ini ‘kan Neo-Liberal, yang menggunakan bahasa Wilsonis atau paradigma ekonominya Wilson. Neo-Liberal ini yang sebenarnya mengarah ke otonomisasi."
Militer Terlibat ?
Sejak digulirkannya isu otonomi, belum banyak pihak yang merespon. Namun ketika PP No. 61 mulai diterapkan, banyak pihak yang mulai mengkritisinya. Kokok Herdiyanto salah satunya. Dalam Salah satu tulisannya –di muat di Majalah Mahasiswa Indikator FE Unibraw-, ia ‘menuduh’ kebijakan otonomi sebagai upaya kolaborasi antara militer dan pemerintah untuk menghancurkan gerakan mahasiswa. Lebih jauh lagi, otonomisasi hanya akan membunuh pendidikan itu sendiri. "Buktinya, mana ada Menteri Pendidikan yang bukan berasal dari kalangan militer. Hampir semuanya berbau tentara. Kebanyakan ‘kan dari Lemhanas (Lembaga Pertahanan Nasional). Mulai dari Daoed Joesoef hingga Yahya Muhaimin", tandasnya.
Pendapat senada juga dikemukakan Ali Fahmi yang melihat adanya indikasi perubahan orientasi dari orientasi sosial menjadi orientasi pasar. Tingginya biaya pendidikan menjadikan mahasiswa lebih menekuni bangku kuliah dan mengabaikan fungsi sosialnya. PP No. 61/1999, menurut Presiden Keluarga Mahasiswa UGM ini, mengindikasikan normalisasi kehidupan kampus kedua kali setelah SK (Mendikbud, Red) No. 0457/1990 itu mengalami fase kegagalan.
Di lain pihak, menurut Nur Yahya, otonomi akan mengubah peta kekuatan pressure mahasiswa. "Jadi dengan sendirinya kekuatan-kekuatan mahasiswa berasal di daerah, bukan harus men-support dinamika politik di tingkat atas." Tetapi yang jelas, otonomisasi PTN harus dapat menciptakan kondisi yang kondusif untuk terwujudnya student government dengan memberikan otonomisasi terhadap lembaga kemahasiswaan. Sehingga mahasiswa mempunyai bargaining dengan rektorat dalam pembuatan kebijakan strategis mengenai kehidupan kampus.
Keterlibatan Mahasiswa dalam Otonomisasi
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1999, terdapat 15.440 huruf yang membentuk 2.362 kata, 15 bab dan 25 pasal. Namun di dalamnya hanya tercantum satu kata ‘mahasiswa’. Kenyataan ini membuktikan, bahwa otonomisasi PTN mendudukkan mahasiswa dalam posisi yang tidak begitu penting. Padahal berdasarkan data yang dimiliki Dirjen Dikti, jumlah mahasiswa Indonesia tahun 1996 saja mencapai 2.703.896 sedangkan jumlah dosen 180.471. Memandang mahasiswa sebagai subordinat pendidikan juga terjadi dalam otonomisasi PTN. Mahasiswa sebagai mayoritas civitas cademica tidak dilibatkan dalam perumusannya. Menurut Purek II IPB, tidak dilibatkannya mahasiswa, "Karena kita menganggap lebih bagus dengan masyarakat daripada mahasiswa menilainya. Yang sering ‘nggak rasional ‘kan kita naikkan SPP untuk mahasiswa baru tapi yang ribut mahasiswa lama." Pernyataan ini bertolak belakang dengan Satryo sendiri yang dengan tegas mengiyakan ketika ditanyakan apakah ada jaminan dari Dirjen Dikti terhadap masukan dari mahasiswa. Menurutnya, "Salah satu indikator evaluasi (otonomisasi) tersebut adalah kepuasan mahasiswa terhadap proses pendidikan yang ada di PTN tersebut. Kami minta kepada setiap pimpinan PTN tersebut supaya mendengarkan pendapat mahasiswa agar supaya dalam persiapan otonomi akan lebih tepat sasaran dan tepat manfaat."
Namun berasal dari mana pun rektor kelak, setidaknya harus membuka ruang dialog bagi mahasiswa. Sehingga kesan rektor seperti diungkapkan Presiden Keluarga Mahasiswa IPB, Aly Yusuf tidak terjadi. Menurut Aly, "Rektorat belum memberikan sebuah ruang kepada kita (mahasiswa, Red.) untuk terlibat. Sehingga sekarang yang kita lakukan adalah bagaimana ini memberikan tempat bagi kita untuk melakukan. Jadi secara singkat, bahwa sampai sekarang kedudukan kita sebagai mahasiswa belum banyak menentukan otonomi itu." Seiring dengan ‘penolakan’ keterlibatan mahasiswa dan kurangnya sosialisasi justru melemahkan opini yang berkembang menjadi ke arah yang kontra produktif. Hal ini diakui oleh Aly yang juga aktivis Jaringan Mahasiswa Indonesia, "Kalau ini dilaksanakan terus-terusan tanpa ada tingkat pengertian dari rektorat saya kira otonomi ini akan memberikan wacana yang begitu negatif untuk mahasiswa. Kita sudah memberikan warning kepada rektorat, kalau tidak ada perbaikan manajemen informasi sosialisasi, maka rumor itu akan menggelembung dan mungkin akan mengalami penolakan kalau ini tidak termanajemeni dengan baik."
Senada dengan Presidennya, Maysaroh, seorang mahasiswa dari jurusan Teknologi Hasil Pertanian angkatan 1996 mengatakan penolakannya. Meski penolakan tersebut didasarkan pada tingkat pemahaman otonomi PTN yang kurang, namun sedikit banyak menggambarkan kekhawatiran di tingkat mahasiswa. Menurut Saroh –panggilan akrabnya-, "Semoga saya ‘udah lulus waktu otonomi diterapkan di IPB. Sekarang aja ketika biaya praktikum dibebankan pada mahasiswa, udah berat. Apalagi kalau semuanya…" Berdasarkan investigasi DIANNS, di IPB beban biaya praktikum memang ditanggung mahasiswa. Besarnya berkisar antara 10 hingga 25 ribu rupiah per mahasiswa untuk satu kali praktikum. "Itupun," lanjut Maysaroh, "dalam satu semester, tiap mahasiswa IPB bukan hanya sekali dua kali praktikum." Namun ketidaksiapan mahasiwa menghadapi otonomi disangkal oleh Sri Sanituti Hariadi, Dekan FISIP Unair. Menurut Sri Sanituti, dosen bermotto hidup anti kemapanan tersebut, "Mahasiswa saya kira tidak ada masalah, mereka akan dengan sendirinya menerima (kebijakan) itu."
Tidak dilibatkannya mahasiwa juga diakui oleh Rektor Unibraw Prof. Dr. Eka Afnan Troena. Ketika ditanyakan mengenai keterlibatan mahasiswa dalam proses otonomi, Rektor yang mantan aktivis HMI tahun 60-an dengan nada tinggi dan emosional berkata, "Saya juga tidak ikut pada urusan kalian (mahasiswa, Red.). Mari kita sepakati, hal-hal yang bersifat akademis itu kewenangan dari dosen, kalau nggak begitu tabrakan, mas. Urusan-urusan politik itu urusan mahasiswa ! Nah, ini jangan dicampuri oleh mahasiswa ! Jangan dicampuri ! Kalau dicampuri, nanti kau (mahasiswa, Red.) dapat nilai E, demonstrasi supaya dosennya diganti, kacaulah."
Sosialisasi Persiapan Otonomisasi Kurang ?
Menurut Direktur PSA, hingga saat ini proses otonomisasi PTN yang sudah dilakukan meliputi penyusunan PP No. 61/99 beserta Kepmen untuk pelaksanaannya, melengkapi PTN dengan berbagai fasilitas minimal untuk dapat mandiri dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi, mengembangkan semangat (etos) kompetisi di kalangan perguruan tinggi (PTN dan PTS) dalam memperoleh berbagai dana pembangunan dan penelitian berbentuk block grants (hibah dari pemerintah) dan mendorong serta memfasilitasi perguruan tinggi untuk memperoleh mitra kegiatan akademik dari dalam dan luar negeri.
Namun sayangnya, menurut Pembantu Rektor I Unair, Prof. Dr. Puruhito, Med, "Sampai sekarang Kepmen (Keputusan Menteri) itu sendiri belum ada. PP 60 sebetulnya menunggu Kepmen, kira-kira ada 20 Kepmen yang akan menyertai PP 60. Tapi paling tidak kalau Kepmen di PP 60 itu sudah turun semua otomatis itu akan mengikat kita ke PP 61. Sebagai contoh sebuah hal yang mendasar, bagaimana gaji pegawai, selama ini disebutkan gaji PNS dibayar oleh negara. Nanti kalau sudah menjadi BU (Badan Usaha) maka PTN yang otonom akan membayar gaji pegawainya sendiri, yakni oleh BU itu.
Ketidakjelasan proses otonomisasi PTN ini mengindikasikan ketidakseriusan pemerintah. Tidak adanya Kepmen sebagai juklak otonomisasi PTN juga diikuti dengan kurangnya sosialisasi di PTN. Sehingga berujung tidak dilakukannya sosialisasi oleh pihak rektorat kepada mahasiswa. Seperti diakui oleh Bachtiar Firdaus, "Terkesan pemerintah tidak mensosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat luas. Masalahnya ‘kan tidak seperti itu. PP-nya turun dulu, baru kita ribut-ribut di semua ini. Harusnya ‘kan itu (otonomisasi, Red) melalui beberapa tahap."
Ketidakjelasan otonomisasi PTN ditanggapi oleh Presiden BEM UGM, Ali Fahmi, "Makanya mahasiswa menuntut, jangan-jangan otonomisasi ini adalah kegagalan rejim yang tidak mampu menyubsidi perguruan-perguruan tinggi yang ada. Sehingga alasan mereka atau jawaban mereka terhadap kegagalan ini adalah otonomi perguruan tinggi. Padahal sebenarnya tidak ada sebuah pra kondisi. Artinya pra kondisi perguruan tinggi negeri untuk menjadi sebuah otonomi."
Dualisme Otonomisasi PTN
Dalam Seminar on Management of Higher Education: Anticipating The Year 2020 di Jakarta pada tanggal 27-28 Nopember 1996, Dirjen Dikti pada waktu itu, Bambang Soehendro, menyatakan, "Azas otonomi dalam pengelolaan perguruan tinggi antara lain tercermin dalam memilih staf akademik yang sesuai dengan tujuan. Kebebasan itu termasuk dalam memilih dan menetapkan mahasiswanya, menetapkan standar akademik serta kurikulum bagi program studi yang diselenggarakannya, menetapkan program penelitian yang dilakukan civitas akademika dalam batas tertentu. Secara manajerial termasuk pemanfaatan sumberdaya secara mandiri dalam penyelenggaraan fungsionalnya.
Tetapi azas otonomi ini kemungkinan tidak dapat berjalan seperti itu apabila kita melihat PP No. 61/1999. Dalam pengelolaan PTN setelah berubah status, menurut PP No. 61/1999, masih ada kemungkinan campur tangan pemerintah. Karena sebagai kompensasi dari kekayaan awal PTN yang berasal dari dari kekayaan negara, pemerintah mendapat hak suara 35 % dalam Majelis Wali Amanat, kekuasaan tertinggi dalam PTN ber-badan hukum. Sehingga memungkinan intervensi pemerintah dalam pemilihan pimpinan PTN dan sebagainya.
Kemungkinan intervensi pemerintah ini dibantah oleh Dirjen Dikti, "Pemerintah mempunyai kewenangan 35% agar dapat tetap menjamin misi PTN tersebut sehingga tidak menjadi komersial atau tidak membebani peserta didik terlalu berat, karena ini adalah misi pemerintah untuk pendidikan." Dalam PP No. 61/1999 sendiri disebutkan Majelis Wali Amanat merupakan organ PTN tertinggi yang anggotanya terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat. Anggota Majelis Wali Amanat diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. Sehingga segala kebijakan PTN yang menjadi wewenang Majelis Wali Amanat tidak akan lepas dari kontrol pemerintah.
Ali Fahmi, ketua senat mahasiswa UGM. Otonomi PTN adalah kegagalan rezim yang tak mampu mensupsidi perguruan- perguruan tinggi yang ada
Otonomisasi PTN yang terkesan setengah hati ini semakin diperkuat dengan masih dipertahankannya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Padahal, menurut PR II IPB, "Kalau perlu dibubarkan. Ya, kalau tidak terlalu bermanfaat." Ketidakjelasan posisi Dikti pasca otonomisasi PTN ditepis oleh Dirjen Dikti, "Posisi Dirjen Dikti setelah PTN menjadi otonom, lebih membuat strategi nasional untuk memajukan pendidikan, termasuk mencari peluang dana dan memfasilitasi perkembangan seluruh PTN/PTS yang ada di Indonesia. Dirjen tidak lagi mencampuri urusan dalam PTN/PTS, tetapi lebih kepada memberi peluang berkembang untuk mereka." Memang dalam otonomisasi PTN, kelak menjadi kewenangan internal PTN bukan lagi berada di Dirjen Dikti, tetapi ada di Majelis Wali Amanat yang terdiri dari unsur Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Senat Akademik, Rektor dan masyarakat.
Kewenangan internal PTN itu termasuk kewenangan pengelolaan PTN. Meskipun dalam ruang kontrol Majelis Wali Amanat, rektor tetap memegang posisi yang strategis dalam pengelolaan PTN. Posisi rektor yang menyamai pemimpin perusahaan semakin memastikan nuansa kapitalis dalam pendidikan tinggi. PR I Unair menyatakan, "Rektor itu nantinya adalah CEO (Chief Executive Officer), rektor tidak dapat lagi dipandang sebagai Rektor Akademis yang seperti kita ini. Sebab President of University itu adalah seorang manajer, seorang CEO tidak lagi harus seorang guru besar yang berpangkat tinggi seperti sekarang ini. Karena yang memilih rektor adalah Majelis Wali Amanat, Senat Universitas, tidak seperti sekarang." Senada dengan Puruhito, Dirjen Dikti mengatakan, "Mengapa tidak, seandainya dianggap mampu membawa perguruan tinggi tersebut ke arah kemajuan dan mutu yang tinggi, hal ini sepenuhnya ditentukan oleh Majelis Wali Amanat," ketika ditanyakan kemungkinan rektor bukan berasal dari kalangan praktisi akademisi, misalnya seorang manajer bisnis.
PTN Tidak Siap Otonom
Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini terjadi kesenjangan diantara PTN-PTN di Indonesia. Kesenjangan ini berimbas pada penyikapan masing-masing PTN terhadap otonomisasi. IPB sendiri yang termasuk pilot project, seperti penjelasan Darwin, mungkin tidak ikut otonomisasi kalau usul IPB agar pemerintah tetap menanggung biaya pendidikan ditolak. Kondisi ini tidak dipungkiri oleh Dirjen Dikti, "Itu adalah hak PTN tersebut, tetapi sebenarnya akan lebih baik dan lebih efisien dan juga lebih menguntungkan bagi mahasiswa, jika PTN tersebut otonom karena banyak kemudahan dan fleksibilitas. Sedangkan pemerintah tetap memberikan dukungan dana." Menurut bapak dua anak kelahiran Delf, Belanda, yang pernah mengikuti kursus reguler Lemhanas ini, "Kepada PTN yang menolak tidak perlu dipaksakan tetapi dibantu dan dibina agar nantinya dapat menjadi badan hukum yang otonom."


Read More......