UUD lingkungan Hidup

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks


Kerusakan lingkungan hidup di Indonesia semakin parah, dan dampak dari pola pengelolaan lingkungan yang salah dan eksploitasi alam yang tak bertanggung jawab membuat kondisi semakin memprihatinkan. Hampir setiap hari berbagai cerita duka akibat rusaknya lingkungan hidup mewarnai media masa, seperti bencana banjir, tanah longsor, kabut asap, tragedi lumpur Lapindo, dan lain-lain.

Seiring dengan itu, muncul pula berita terungkapnya pembalakan liar, pembakaran hutan, dan pembangunan gedung-gedung atau proyek lain yang tidak mengindahkan tata letak dan prosedur perizinan dan masih banyak lagi perilaku yang tak terpuji yang menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.

Namun ironisnya, permasalahan penanganan dan penegakan hukum atas perusakan lingkungan hidup justru sangat lemah. Hukum Lingkungan Hidup nyaris tumpul dan tak berdaya menghadapi ber-bagai perkara kejahatan lingkungan.

Berbagai putusan hakim kasus kejahatan lingkungan begitu mengecewakan dan nyaris diwarnai dengan putusan bebas atau kalaupun ada putusan pemidanaan itu pasti sangat ringan dan tidak sebanding dengan kerusakan atau akibat yang ditimbulkannya.

Misalnya, Kasus Buyat dan PT Freeport, dan juga kasus pembalakan liar yang mencuat di media, betapa putusan pengadilan jauh dari rasa keadilan masyarakat. Padahal jelas-jelas akibat muncul atau hutan menjadi gundul, kayu-kayu gelontongan menggunung sebagai barang bukti, tetapi pengadilan tidak berdaya dan tidak berjaya untuk menegakkan hukum yang membela pada pelestarian lingkungan.

Bahkan pada tahun 2007 secara sinis dikatakan sebagai tahun pesta pora putusan bebas untuk per-kara kejahatan lingkungan hidup.

Kekecewaan atas putus-an pengadilan tampaknya cenderung ditimpakan kepada para penegak hukum saja, yang dinilai tidak profesional dan integritasnya diragukan. Hal tersebut memang tidak bisa dimungkiri, namun sebenarnya ketentuan hukumnya juga masih banyak kelemahaan dan harus segera direvisi.

Untuk itu, penting sekali segera mengamendemen Undang-Undang No 23 /1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH, 1997), terutama berkaitan dengan ketentuan pidananya. Pada kenyataannya, UUPLH, 1997 sudah tidak relevan lagi/tidak bisa optimal dalam me- lindungi lingkungan hi-dup dari perilaku tidak terpuji para pelaku kejahatan lingkungan dan sekaligus memberikan penghukuman yang setimpal bagi pelakunya.

Maka pengesahan atas RUU yang telah dipersiapkan Pemerintah lebih dari 2 tahun seharusnya se- gera direalisasikan dan harus kita dorong agar DPR segera mengagendakan pembahasan ini.

Kelemahan penegakan hukum lingkungan juga dikarenakan keberadaan ketentuan anti kejahatan ini dalam ruang lingkup hukum administrasi. Keberadaan sistem perundangan Indonesia yang masih menempatkan berbagai kejahatan dalam ketentuan hukum administrasi berpotensi menimbulkan kekacauan tersendiri, yaitu kerapkali perbuatan pelanggaran pidana cenderung ditarik kepelanggaran administrasi demi keuntungan pelaku.

Selain itu, kerancuan juga muncul ketika tidak jelas lagi batasan kapan perbuatan administrasi sudah menyentuh pada perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan pidana. Hal ini juga merupakan permasalahan yang harus dikaji secara mendalam oleh berbagai kalangan terutama kalangan kampus yang harus juga mencermati kesulitan yang dihadapi bagi para penegak hukum.

Perlu dipahami bahwa pelanggaran hukum pidana lingkungan hidup tidak bisa lagi dipandang dengan paradigma lama, yaitu hukum pidana hanya akan bergerak ketika dua hukum lain (administrasi dan perdata) dinilai tidak cukup mencegah atau sering disebut bahwa hukum pidana sebagai ultimum remedium.

Tindak pidana lingkungan hidup harus dipandang sebagai kejahatan yang memang merupakan perbuatan kriminal dan bukan masalah administrasi atau berkaitan masalah ganti rugi, terlepas perbuatan pelaku mungkin saja juga melanggar hukum administrasi dan hukum perdatanya.

Dalam hal ini penegakan hukum pidana bisa berjalan bersama-sama dengan penegakan hukum administrasi ataupun gugatan perdatanya. Pemahaman dan penegakan hukum seperti ini penting sekali segera dibangun, sehingga tidak terjadi lagi penanganan perkara pidana lingkungan yang diputus dengan pendekatan administrasi atau tentang ganti rugi saja.

Penggunaan tiga instrumen tersebut walaupun secara bersamaan tidak bertentangan dengan asas ne bis idem, tapi justru saling mendukung.

Sangat Progresif

Ada beberapa hal yang sangat penting dalam draf RUU diwarnai dengan paradigma baru yang sangat progresif dalam kaitannya dengan pencegahan dan pemberantasan kejahatan lingkungan.

Beberapa hal yang sangat esensial, yaitu adanya perubahan rumusan tindak pidana dari materil menjadi tindak pidana formil. Hal ini terutama dalam Pasal 41, 42, dan Pasal 43 UUPLH Tahun 1997, yang pada intinya selain merumuskan perbuatan yang dilarang, tetapi juga sekaligus merumuskan akibat dari perbuatan, yaitu menimbulkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.

Artinya, perbuatan pelaku hanya dapat dipidana bila akibatnya sudah muncul, yaitu terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan. Perumusan materil ini dinilai sangat membahayakan lingkungan hidup dan dianggap bahwa instrumen hukum pidana terlalu terlambat diterapkan bila baru bergerak setelah timbul akibat yang berupa perusakan atau pencemaran lingkungan.

Dalam RUU dirumuskan secara formil, yaitu merumuskan perbuatannya saja tanpa merumuskan akibatnya. Artinya seseorang sudah dapat dipidana sepanjang perbuatannya sudah melanggar larangan yang dirumuskan tanpa harus ada akibat dari perbuatannya tersebut.

Dalam kaitan ini maka legislator harus benar-benar cermat dalam merumuskan tentang perilaku yang membayakan lingkungan, rumusan harus berhenti pada ukuran/batas toleransi yang diatas ambang membahayakan, bukan setelah pelaku mengakibatkan rusak atau tercemarnya lingkungan.

Masalah berikutnya, yaitu diatur mengenai pemidanaan bagi pejabat yang karena kesalahannya telah mengeluarkan izin lingkungan termasuk tentang Amdal, padahal seharusnya izin tidak dikeluarkan. Hal ini penting sekali mengingat bahwa hampir semua kejahatan lingkungan hidup berawal dari adanya izin.

Dan hampir selalu perkara pidana lingkungan hidup lepas dari jerat hukum ketika pelaku menunjukkan bahwa telah ada izin, tidak peduli bahwa karena izin itu justru terjadi bencana terhadap lingkungan dan kerap juga memakan korban nyawa.

Selain itu karena adanya izin dari pejabat tersebut, maka ini termasuk celah bagi pelaku dan dengan sendirinya tidak ada bukti tentang adanya melawan hukum, dan pelaku harus dibebaskan.

Sedangkan, pejabat yang mengeluarkan izin, yang seharusnya izin tidak dikeluarkan (baik karena lalai maupun sengaja), maka pejabat ini pun tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya.

Ke depan, seandainya RUU telah disahkan dan hal ini disetujui maka paling tidak para pejabat akan lebih hati-hati dalam mengeluarkan izin terhadap segala hal berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup.

Pengaturan baru lainnya adalah dirumuskannya delik yang bersifat 'omission delict' (crime by omission) bagi para petugas atau pejabat. Ini berkaitan dengan kewajiban hukum yang melekat pada pejabat dalam rangka mencegah terjadinya kerusakan lingkungan atau menghentikan (menangani) terjadinya kerusakan lingkungan, ketika diduga atau bahkan diketahui telah ada pencemaran dan perusakan.

Bila setelah terjadi dugaan pencemaran dan kerusakan lingkungan dan petugas tidak berbuat apa-apa dalam rangka menghindari kerugian lingkungan yang lebih besar atau semakin meluas maka dia terkena ancaman pidana.

Hal ini persis dengan apa yang terjadi pada kasus Lapindo, di mana pada awal terjadinya tragedi ini tidak nampak langkah konkret pejabat berwenang yang seharusnya menangani agar kerusakan tidak semakin meluas, bahkan ada kesan dibiarkan saja.

Amendemen

Hal-hal lain yang juga harus dirumuskan ber- kaitan dengan penerapan Strict Liability pada pertanggungjawaban pidana korporasi, (responsibility with out fault). Hal ini mengingat mencari bukti kesengajaan terutama oleh dan untuk kegiatan usaha berkaitan dengan lingkungan hidup sangat sulit.

Misalnya, untuk membuktikan unsur "sengaja" untuk kejahatan lingkungan hidup pada umumnya sangat sulit, ketika ada akibat pencemaran yang muncul dari suatu korporasi maka korporasi tersebut langsung dianggap ber- tanggung jawab atas akibat yang muncul, terlepas dari ada tidaknya unsur sengaja yang sulit dibuktikan tersebut.

Namun yang juga penting, selain karena masalah lemahnya perundangan-undangan, maka langkah progresif juga harus dilakukan oleh para penegak hukum.

Tanpa profesionalitas dan integritas tinggi para penegak hukum, sebagus apa pun produk perundangan mustahil kita bisa mempertahankan, melindungi lingkungkan hidup kita. Terakhir, penting pula dikembangkan kesadaran hukum seluruh masyarakat untuk menjaga lingkungan hidup, maka political will dari pemerintah pada akhirnya juga memegang peranan penting.

0 komentar: