Indonesia dalam cerita

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks



Sejak beberapa tahun terakhir terjadi kekurangan daya listrik di beberapa daerah. Walaupun Perusahaan Listrik Negara (PLN) sudah ada program untuk mengatasi, namun belum dapat dipastikan apakah krisis tersebut akan segera berakhir.

Terjadinya kekurangan daya listrik sejak beberapa tahun terakhir mungkin tak dapat dipisahkan dari beberapa peristiwa. Pertama, krisis moneter tahun 1998 yang mengakibatkan PLN mendadak mengalami "koma". Biaya produksi meningkat beberapa kali lipat (besarnya komponen valuta asing), sementara tarif listrik baru dinaikkan pada 2003.

Kedua, lahirnya UU 20/2002 tentang Ketenagalistrikan yang melepaskan posisi PLN sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK). Sesuai semangat otonomi daerah, tanggung jawab mengatasi kekurangan daya dalam UU tersebut ada pada pemerintah daerah.

Ketiga, kenaikan harga BBM pada 2005 menyusul kebijakan dihapuskannya subsidi BBM untuk industri, memperberat beban PLN yang baru saja siuman dari "koma", karena masih banyak pembangkit yang mengandalkan BBM. Di sisi lain, membuat PLN pada posisi yang dilematis dalam mengatasi krisis. Sebab, yang paling mudah dan cepat dilakukan adalah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang digerakkan BBM, namun biayanya mahal.

Dalam usaha tenaga listrik, terjadinya krisis dapat disebabkan oleh tiga hal, ya- itu kurangnya kapasitas sarana pembangkit dan jaringan sehingga tidak mencukupi untuk operasi yang andal, gangguan atau kerusakan tak terduga pada sarana ketenagalistrikan seperti akibat bencana alam, serta terganggunya pasokan energi primer pada sebagian pembangkit.

Krisis penyediaan listrik di Sumut, Sumatera bagian Selatan, Kalbar, Kaltim, dan sebagian Sulawesi sejak beberapa waktu lalu, serta beberapa gangguan pasokan di Jawa-Bali akhir-akhir ini, semuanya berkaitan dengan kurangnya kapasitas sarana, yang ditandai dengan margin cadangan pembangkit yang sudah minim. Kurangnya kapasitas sarana tersebut terjadi karena tidak terlaksananya pembangunan tambahan sarana sesuai waktu dan kapasitas yang direncanakan.

Selama periode 2000 sampai 2005, penjualan tumbuh sekitar 6 persen sampai 7 persen per tahun. Sedangkan, tambahan sarana kelistrikan jauh di bawahnya, bahkan sampai 2003 praktis tidak ada tambahan sarana baru.

Cadangan Negatif

Di daerah yang padam bergilir, seperti di Sumut, kenyataan cadangan sudah negatif. Sementara itu, di daerah yang sesekali mengalami kekurangan daya, seperti di Jawa dan Bali akhir-akhir ini, cadangan sudah di bawah tingkat minimum, yaitu di bawah 25 persen.

Kondisi krisis kurangnya kapasitas ini sudah terindikasikan 3 sampai 4 tahun se- belum kurang daya terjadi. Begitu jadwal mulai pem- bangunan sarana pembangkit dan jaringan tidak terlaksana tepat sesuai rencana, ketika itu sudah dapat diperkirakan dampaknya pada kecukupan daya 3 sampai 4 tahun ke depan.

Ketika UU 20/2002 dibatalkan pada akhir 2004, PLN kembali menjadi PKUK. Namun, kondisi keuangan tidak memungkinkan, PLN langsung dapat memulai pem- bangunan. Keputusan pem- bangunan untuk mengatasi krisis dan mengurangi beban biaya BBM baru dapat dilakukan setelah pemerintah turun tangan dengan Perpres 71/2006 tentang pembangunan PLTU batu bara 10.000 megawatt (MW).

Hal yang mendasar untuk menghindari krisis adalah memastikan bahwa pembangunan sarana pembangkit yang mencukupi pada waktunya (n-4 sampai n-3). Kalau kita tidak mau mengalami krisis listrik pada tahun 2012, harus dipastikan bahwa pada 2008-2009 sudah dimulai pembangunan seluruh sarana yang diproyeksikan perlu beroperasi sesuai kebutuhan untuk melayani penjualan pada 2012. Untuk menjaga tidak terjadi krisis, maka jika beban tumbuh rata-rata 7 persen per tahun, sarana juga harus tumbuh minimum 7 persen per tahun.

Mencermati paparan tersebut, krisis moneter dan kenaikan harga BBM, sebenarnya bukanlah penyebab, tetapi faktor yang memperburuk krisis. Penyebab krisis yang sesungguhnya adalah ketidakmampuan melakukan investasi pengembangan sarana yang telah diproyeksikan. Ketidakmampuan tersebut terutama terkait dengan kesehatan keuangan PKUK. Hal itu terkait dengan industri ketenagalistrikan kita, diatur dengan mekanisme tarif yang ditetapkan pemerintah, dan PKUK diberi subsidi. Jadi kunci kesehatan keuangan ada pada regulasi tarif dan subsidi tersebut.

Menghindari Krisis Listrik

Statistik ekonomi dan energi dunia memperlihatkan bahwa perekonomian suatu negara berkaitan secara langsung dengan konsumsi energinya. Data tahun 2003 dari The Institute of Energy Economic of Japan menunjukkan, Amerika Serikat yang pendapatan (GDP) per kapita per tahunnya US$ 35.566, konsumsi energi listriknya 10.800 kWh (kilowatt jam) per kapita per tahun. Gabungan negara Uni Eropa yang GDP per kapitanya US$ 18.800 per tahun, konsumsi listriknya 5.725 kWh per kapita per tahun. Tiongkok dengan GDP per kapita US$ 1.067, konsumsi listriknya 1.140 kWh per kapita per tahun, sedangkan Malaysia yang GDP per kapitanya US$ 4.011 per tahun, konsumsi listriknya 2.959 kWh per kapita per tahun.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi memerlukan pertumbuhan penyediaan tenaga listrik, atau dengan kata lain tenaga listrik merupakan suatu yang mutlak tersedia dengan cukup. Mungkin karena itu, umumnya negara industri sangat mengutamakan ketersediaan listrik dan me-netapkan bahwa security of supply sebagai kebijakan utama. Kelistrikan Singapura, misalnya, dengan beban puncak 4.500 MW, memiliki cadangan kapasitas sekitar 70 persen.

Berkaitan dengan pentingnya menjaga kecukupan listrik, seorang pembicara dalam suatu seminar tentang investasi yang berlangsung di Jakarta sekitar tahun 2000 mengatakan,"No electricity is more expensive than expensive electricity". (Kekurangan listrik lebih mahal daripada listrik yang mahal).

Untuk Indonesia yang rasio elektrifikasinya masih 60 persen dan perekonomiannya tumbuh sekitar 6 persen per tahun, tak dapat dielakkan bahwa permintaan tenaga listrik akan naik melebihi 6 persen. Beberapa tempat bahkan tercatat naik sekitar 10 sampai 11 persen per tahun.

Untuk menghindari krisis, harus dipastikan bahwa kapasitas sarana ketenagalistrikan minimum tumbuh pada tingkat yang sama, dan kalau sistem dalam kondisi krisis, diperlukan pertumbuhan yang lebih besar. Dengan demikian, margin cadangan kapasitas minimum 30 persen dapat dicapai.

Mengingat konsumsi listrik potensial tumbuh 7 persen per tahun, untuk menghindari krisis akibat keterlambatan investasi atau pembangunan sarana, idealnya cadangan dijaga sekitar 40-50 persen (10-20 persen di atas cadangan minimum). Agar dapat memastikan cadangan kapasitas secara berkesimnambungan, harus dapat dipastikan terjadinya pembangunan sesuai jadwal. Dan untuk membuat pembangunan ter-jadi sesuai jadwal, harus dapat dipastikan tersedianya dana investasi. Untuk dapat memastikan tersedianya pendanaan investasi diperlukan kesehatan keuangan PKUK sehingga layak dan mudah meminjam, serta dapat menyediakan dana pendamping, sehingga tidak 100 persen mengandalkan pinjaman.

Untuk beberapa tahun ke depan, idealnya terjadi tambahan kapasitas minimum 3.000 MW per tahun, dan ini memerlukan investasi rata-rata US$ 5 miliar per tahun. Jika listrik swasta dapat berpartisipasi 30 persen, PLN harus berinvestasi rata-rata US$ 4 miliar per tahun. Jika investasi yang dilakukan kurang dari jumlah tersebut, pertanda akan terjadi kekurangan kapasitas sarana sekitar 3-4 tahun ke depan.

Dari kebutuhan investasi US$ 4 miliar tersebut, supaya dapat dan layak meminjam, PLN minimum harus menyediakan 25 persen dana pendamping dari modal sendiri, atau sekitar US$ 1 miliar. Merujuk kondisi keuangan tahun 2006, dengan total biaya produksi sekitar US$ 10 miliar, untuk memastikan tersedianya investasi dan pembangunan yang berkesinambungan, perlu memberi margin laba (untuk modal pembangunan sarana) sekitar 10 persen (US$ 1 miliar). Jika marginnya tidak ada atau kurang, kepastian atau kecukupan pendanaan akan terganggu. Untuk menghindari krisis listrik (memastikan investasi), ke depan diperlukan regulasi yang secara lebih jelas mengatur besarnya margin tersebut.

Salah satu upaya untuk mencegah berulangnya krisis tenaga listrik di masa yang akan datang, dapat (perlu) dilakukan dengan menetapkan kebijakan dan langkah antara lain membuat konsensus bersama pemangku kepentingan (pemerintah dan DPR) bahwa untuk mengamankan perekonomian nasional dan mencapai pertumbuhan ekonomi, listrik harus selalu tersedia dengan cukup, dan menetapkan kebijakan utama security of supply.

Sejalan dengan kebijakan tersebut, pemerintah perlu menetapkan (memastikan) rencana pembangunan sarana pembangkit dan jaringan, mewajibkan PKUK (PLN) memenuhi jadwal pembangunan tersebut, serta mengawasi dan mengambil tindakan jika terjadi kelambatan jadwal.

Kepada PKUK diberikan revenue (tarif ditambah subsidi) dengan suatu margin laba yang memadai, sehingga PKUK memiliki kemampuan untuk melakukan investasi pengembangan sarana secara berkelanjutan. Margin laba tersebut idealnya memenuhi keperluan modal sendiri dan kelayakan untuk meminjam dari lembaga keuangan, ataupun mendapatkan dana dari pasar modal.

Untuk industri ketenagalistrikan yang tidak menerapkan mekanisme pasar, besarnya margin tersebut sebaiknya diatur dengan suatu peraturan pemerintah, sehingga mendukung kepastian investasi.

Dengan tarif yang ditetapkan pemerintah sesuai UU 15/1985 tentang Ketenagalistrikan, dan pemberian subsidi sesuai UU 19/2003 tentang BUMN, pemerintah selama ini telah menutupi kerugian dan memberikan margin kepada PLN. Namun, besarnya margin yang diberikan sepertinya belum memperhatikan kecukupan untuk mampu membangun sarana secara berkelanjutan agar terhindar dari kekurangan kapasitas sarana, dan belum ada pengaturannya.

0 komentar: