Gerakan Mahasiswa sebagai "The Rallying Point"

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks



Gerakan Mahasiswa sebagai "The Rallying Point"
Oleh
Budiman Sudjatmiko

POSISI gerakan massa mahasiswa yang tidak formal telah memungkinkan agenda-agenda penting seperti pengusutan kekayaan mantan Presiden Soeharto, Dwifungsi ABRI, asas tunggal dan isu-isu krusial lainnya sebagai isu yang mempersatukan berbagai spektrum masyarakat. Kelenturannya menyebabkan gerakan massa dijadikan pilihan di antara banyak option politik yang bersifat formal, regulatif dan cenderung mudah dimanipulasi oleh kekuatan status quo.
Situasi di atas sangat memungkinkan bagi terbentuknya aliansi-aliansi baru, kesepakatan-kesepakatan baru, persinggungan dan pertemuan kepentingan antara berbagai elemen masyarakat (secara horisontal) maupun antara masyarakat dengan pemerintah beserta seluruh aparaturnya (secara vertikal). Oleh karena itu, gerakan mahasiswa tidak sekadar diarahkan kepada pemerintah sebagai pihak yang dijadikan sasaran protes, namun ia juga berdampak pada konfigurasi sosial dan politik di kalangan masyarakat.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, proses tersebut akan berjalan selama rentang waktu tertentu sebelum institusi-institusi lama diperbaharui (atau dirombak total), institusi-institusi baru dilahirkan, dan akhirnya dikonsolidasikan. Selama hal tersebut belum tercapai maka tarik-menarik antarkekuatan sosial politik dan politik akan berlangsung, baik itu melalui negosiasi maupun konfrontasi. Kesemuanya adalah pilihan rasional yang harus diambil oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pergumulan ini. Tak terkecuali di sini adalah lapisan-lapisan masyarakat dan mahasiswa yang selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru telah disingkirkan dari proses politik formal.
Sebagai konsekuensinya, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, selain berusaha mengamankan dan memperluas basis pendukungnya, juga berupaya agar rivalnya tak memiliki kesempatan untuk mengkonsolidasikan diri. Dalam hal ini, masing-masing pihak berupaya untuk menemukan the rallying point, yaitu titik yang menimbulkan efek solidaritas di mana sekian banyak kepentingan bisa dipertemukan dan akhirnya membentuk basis pendukungnya (constituent formation).
DALAM teori gerakan sosial, the rallying point itu bisa berupa jaringan organisasi, platform perjuangan, momentum politik atau bisa berupa kehadiran figur-figur pimpinan. Dengan merebaknya aksi-aksi mahasiswa belakangan ini, pemerintah menyadari bahwa jaringan komite (organisasi) aksi mahasiswa pada saat sekarang sangat berpotensi untuk menjadi rallying point itu. Pemerintah khawatir gerakan mahasiswa akan menimbulkan efek solidaritas yang pada gilirannya akan memancing partisipasi masyarakat luas. Terlebih-lebih ketika pemerintah Habibie sekarang tengah menghadapi problem legitimasi. Hal ini tampak dengan jelas saat aksi-aksi mahasiswa kembali muncul dengan mengagendakan penolakan SI MPR dan pembentukan sebuah presidium pemerintahan transisi. Masyarakat dalam jumlah sangat besar terlibat di dalam mobilisasi-mobilisasi massa.
Dari partisipasi aksi massa selama SI, masyarakat terlibat dalam proses politik yang menimbulkan dampak politik nasional. Sebagian dari mereka berhimpun dalam supporting system yang menopang gerakan melalui jalur logistik dan medis, sementara sebagian lagi bahkan terlibat langsung dalam aksi-aksi protes dan menjadi bagian integral gerakan massa. Sebagai konsekuensinya, mereka juga turut berhadap-hadapan dengan aparatur represif satuan keamanan.
Secara ideal, partisipasi politik rakyat seharusnya disalurkan melalui partai-partai politik yang sekarang banyak bermunculan. Akan tetapi sebagaimana menjadi catatan di atas, sebagian besar dari partai-partai politik belum mengkonsolidasikan dirinya sebagai wahana politik alternatif. Dan kalaupun partai-partai tersebut sudah terkonsolidasi, sebagian besar cenderung menempatkan dirinya terikat pada agenda pemilu.

Pada saat partai-partai baru masih dihadapkan dengan persoalan konsolidasi, gerakan mahasiswa, selain sudah terkonsolidasi melalui jaringan komite aksi, juga telah memiliki platform perjuangan. Hal ini tampak ketika mahasiswa di jalan-jalan bersama-sama menuntut dihapuskannya Dwifungsi ABRI, pengusutan kekayaan mantan Presiden Soeharto, menggugat legitimasi SI MPR, serta menyerukan pembentukan pemerintahan transisi. Kemampuan mahasiswa untuk merumuskan (setidaknya) empat agenda politik secara konkret menunjukkan bahwa telah terdapat proses negosiasi yang intensif secara horisontal. Sementara itu, persoalan momentum juga sudah diperoleh gerakan mahasiswa, yaitu saat SI MPR mulai digelar sejak tanggal 10 November 1998. Sejak saat itu hingga sekarang, mahasiswa kembali melancarkan aksi-aksi protesnya secara besar-besaran.

JIKA ketiga rallying point di atas-jaringan organisasi aksi, platform perjuangan, dan momentum politik-sudah ditemukan oleh mahasiswa, maka yang hingga sekarang masih belum terselesaikan adalah mengenai figur-figur kepemimpinan gerakan. Figur ini memainkan peranan yang teramat penting agar aspirasi politik yang dibawakan masyarakat juga bisa disuarakan oleh orang-orang yang dinilai representatif.
Hal ini menjadi kebutuhan ketika gerakan hendak memperluas basis dukungan ke wilayah-wilayah yang tak terjangkau oleh jaringan organisasi. Keha-diran figur pimpinan juga sangat dibutuhkan ketika situasi politik berkembang mencapai tahapan negosiasi (baik melalui forum Dialog Nasional, forum rekonsiliasi atau semacamnya).
Mahasiswa sendiri bukannya tak mengerti hal ini. Hal ini ditunjukkan ketika sejumlah kelompok mahasiswa, yaitu dari FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta), Satuan Tugas Keluarga Mahasiswa ITB (Satgas KM-ITB) dan mahasiswa Universitas Siliwangi berupaya mempertemukan Megawati, Gus Dur, Amien Rais dan Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang kemudian menghasilkan Deklarasi Ciganjur. Akan tetapi pencapaian terakhir ini berjalan kurang mulus, mengingat salah satu point dari deklarasi tersebut tidak sesuai dengan platform minimum yang selama ini dengan kencang dituntut oleh mahasiswa, yaitu penghapusan Dwifungsi ABRI sesegera mungkin. Sebagaimana kita ketahui, Deklarasi Ciganjur memberi waktu melalui dua kali pemilu (dalam waktu enam tahun) untuk menghapuskan Dwifungsi ABRI.
Terlepas dari tersendatnya proses tersebut, yang penting untuk dicatat adalah bahwa para aktivis mahasiswa sendiri menyadari sejak awal bahwa mereka tak mungkin bergerak sendirian. Bahwa selalu terbuka kemungkinan untuk mempertemukan kepentingan mereka dengan kepentingan berbagai pihak, sehingga nantinya terbangun platform minimum. Penulis sendiri, berdasarkan pengalaman, melihat itu sebagai proses politik yang wajar, bahkan positif.
Dengan demikian seyogianya kecenderungan itu tak dihindari atas nama "kemurnian" gerakan mahasiswa. Adapun yang menjadi alasan penulisan adalah, pertama, situasi politik transisional masih akan terus ditandai dengan ledakan partisipasi politik masyarakat yang tinggi; kedua, ledakan partisipasi tersebut akan kontraproduktif jika dibiarkan tak terwadahi dan tak terkanalisasi; dan ketiga, gagasan tentang "kemurnian" gerakan mahasiswa merupakan retorika untuk memisahkan mahasiswa dari masyarakat luas, dengan demikian diharapkan nantinya tidak tercipta kekuatan yang sinergis dan pada gilirannya akan mengamankan kepentingan status quo. Dan tidak seharusnya para mahasiswa terjebak dalam retorika itu, karena hal ini bersifat a-historis.

Sabtu, 10 April 1999
(* Budiman Sudjatmiko, Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Partai Rakyat Demokratik (PRD), pengamat masalah sosial politik. )



0 komentar: