Ketika Kesadaran Bangkit dari Tidurnya

. Kamis, 20 November 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks



Ketika Kesadaran Bangkit dari Tidurnya


PENGANTAR REDAKSI
GERAKAN mahasiswa 1998 mempunyai corak yang berbeda dengan gerakan mahasiswa yang pernah terjadi sebelumnya di Indonesia. Yang menarik, tidak ada tokoh atau pemimpin yang tampil mengatasnamakan gerakan itu. Mengkristalnya gerakan itu akhirnya sampai pada klimaks mundurnya Soeharto merupakan kisah yang menarik untuk disimak. Berikut cerita di balik gerakan itu dari Yogya, Jabotabek, dan Surabaya dalam dua tulisan. Keterbatasan tempat dan waktu belum memungkinkan untuk meneliti gerakan mahasiswa di kota-kota atau wilayah-wilayah Nusantara lainnya.
YOGYAKARTA, Rabu 11 Maret 1998. MM MSebuah becak berpenumpang 'istimewa' meluncur dari kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Jl Kaliurang, Yogyakarta. Jalan yang turun membuat pengemudinya tak usah terengah-engah. Sampai di tempat tujuan - Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) - 'penumpang' itu diturunkan. Tak ada basa-basi protokoler, padahal pada saat yang sama itu, di ibu kota, Jakarta, 1000 anggota MPR/DPR khidmat berdiri menjadi saksi sumpah jabatan Presiden Republik Indonesia yang terpilih untuk periode 1998-2003. Hiruk-pikuk baru kedengaran saat "penumpang" becak itu dipanggul keluar dari fakultas filsafat. Rupanya sekelompok pemuda Timor Timur berikat kepala kain menjadi dirigen keramaian itu. Suasana makin semrawut (hingar-bingar) saat "penumpang" itu ditempatkan dekat mimbar di halaman Balairung, Gedung Pusat UGM. Rupanya upacara baru dimulai di sini.
Mula-mula ada beberapa orasi yang hanya oleh para wartawan saja dicatat secara teliti. Massa sendiri, khususnya yang dekat panggung, seperti tak sabar menunggu pergelaran happening art tiga mahasiswa ISI, yang sejak pagi itu sudah bercawat berlumuran lumpur dan warna merah. Pergelaran pun mulai. Belum finish, massa keburu berteriak "Cukup, cukup! Ayo bakar!". Apanya yang dibakar? "Penumpang" becak itu, sebuah boneka kertas Soeharto! Sekejap sempat kekhawatiran muncul. Terbayang upacara khidmat di Jakarta tadi. Tapi panasnya suasana lebih dominan. Boneka kertas itu tiba-tiba saja sudah dibakar. Wartawan lokal dan asing berebut mengabadikan. Dan yel-yel kasar justru mencairkan kegamangan yang terpendam 32 tahun. "Wah, wani tenan (wah, berani betul)," komentar lirih seorang Jawa dari Yogya. (Dari catatan seorang wartawan yang tak pernah dipublikasikan).
GAMANG. Itulah yang dirasakan massa mahasiswa saat boneka itu dibakar dekat panggung di halaman Balairung UGM. Antara kekhawatiran yang menakutkan dengan keinginan membebaskan perasaan yang terpendam begitu campur baur. Beruntung ada suasana panas-semrawut berbaur dengan yel-yel kasar, yang pada akhirnya membuat lega meski belum tuntas. Apa pun, sebuah kesadaran bawah-sadar, yang lama tertidur, saat itu mulai bangun. Pembakaran boneka istimewa, yang pada 11 Maret 1998 menjadi happening besar (tak semua media massa sanggup memuatnya!), sejak Rabu, 11 Maret itu sedikit demi sedikit menjadi peristiwa biasa. Sebuah momentum keberanian memang mulai bergulir, seperti gelombang laut yang tamparannya sulit ditebak.
"Gerakan reformasi itu tidak muncul secara tiba-tiba," ungkap dr Marsillam Simanjuntak SH - pria kelahiran Yogyakarta -, 'motor' Forum Demokrasi yang kepeduliannya terhadap masalah sosial dan politik tak pernah pupus. "Dalam benak mahasiswa dan masyarakat sesungguhnya sudah ada uneg-uneg (tuntutan kekecewaan) yang sudah direpresi ke sudut ingatan. Desakan kebutuhan hidup begitu tajam, sementara perasaan akan ketidakamanan masa depan telah makin mengancam. Ini semua kemudian dipertajam oleh dua blunder (kesalahan besar), yang dibuat oleh pemerintahan Presiden Soeharto, yaitu soal IMF dan soal pengangkatan Tutut dan Bob Hasan menjadi menteri. Dua hal inilah yang menantang bangkitnya memori laten yang dormant (terbengkalai)," tuturnya di rumahnya di Jakarta, hari Kamis (28/5).
Dengan tajam mantan ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Jakarta Raya (KAMI-Jaya) 1965 hingga 1968 itu kemudian menguraikan genesis (awal munculnya) gerakan mahasiswa 1998. Ada soal tentang pemakaian jargon reformasi, dari sekadar kepentingan praktis agar tidak ditolak sampai menjadi sebuah tuntutan normatif. "Bersamaan dengan berbagai peristiwa besar negeri ini sepanjang 1997-1998, sedikit demi sedikit nalar mulai bekerja secara terbuka. Ada dialektik berpikir di mana memori bersama kemudian mengambil bahan-bahan dari ingatan dan pengalaman lama. Diam-diam telah terjadi perubahan penalaran dan sikap hingga bisa mengambil kembali kebenaran (yang dikekang). Masyarakat pun kembali menemukan pijakan-pijakan untuk menjadi otonom," begitu ungkapnya.
Fakta di lapangan - dalam dinamika gerakan mahasiswa - memang menunjukkan gambaran analisa Marsillam itu. Apa yang terjadi dalam gerak mahasiswa di Jabotabek (Jawa-Bogor-Tanggerang-Bekasi) dan Jawa Timur (lihat tulisan Kabar dari Jawa Timur: Belajar Bentrok di Kuburan) bisa dijadikan contoh.
BIBIT-bibit gerakan menuntut pergantian pimpinan nasional memang sudah tertanam jauh-jauh hari sebelumnya. Di Ibu Kota, ada dua kesatuan aksi yang menjadi motor gerakan mahasiswa, yaitu Komunitas Mahasiswa se-Jabotabek yang dipopulerkan dengan nama Forum Kota dan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ). Belakangan muncul Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Front Nasional, dan Kesatuan Aksi Mahasiswa untuk Reformasi (Kamuri).
Pada awal 1998, beberapa kampus memang sudah memulai aksi. FKSMJ bersama mantan pengurus senat mahasiswa se-Jakarta yang tergabung dalam Forum Kajian Merah Putih bersama beberapa organisasi lain mendatangi Gedung DPR/ MPR pada tanggal 22 Januari 1998 menolak pencalonan Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya. Namun, aksi-aksi sporadis itu tidak populer dan tidak mendapatkan tempat di media massa. Setelah aksi spontan ribuan mahasiswa di Kampus UI Depok, yang mendapatkan liputan luas dari media massa, aksi mahasiswa bergerak seperti gelombang laut, bergerak semakin cepat dan semakin besar. Namun rupanya UI tidak bisa lagi mengimbangi eskalasi gerakan yang begitu cepat sehingga perguruan tinggi yang memegang peran utama dalam gerakan mahasiswa 1966 itu bukan penentu di lapangan.
Eskalasi gerakan mahasiswa 1998 tidak terlepas dari kontribusi media massa, terutama televisi. Akibat aksi-aksi itu ditayangkan di televisi, kampus-kampus yang belum mengadakan aksi terdorong untuk mengadakan aksi. "Kampus lain bisa aksi dan muncul di televisi, kapan kita bisa nongol di TV? Mereka kemudian bertanya-tanya ke kampus terdekat bagaimana cara mengadakan aksi," kata seorang aktivis.
Karakteristik aksi yang digelar Forum Kota dan FKSMJ berbeda satu sama lain. FKSMJ yang pada saat aksi-aksi dimulai hanya beranggotakan 11 perguruan tinggi tampak lebih moderat, baik dalam isu maupun pola aksi, karena kedekatannya dengan birokrasi kampus. Sedangkan Forum Kota memilih metode nonkooperatif dan lebih tertutup terhadap kerja sama dengan pihak-pihak luar. Ada kesan gerakan mereka lebih radikal. Berbeda dengan FKSMJ yang bersedia berdialog dengan pakar atau tokoh-tokoh politik dalam forum-forum informal, Forum Kota tidak bersedia menerima tokoh-tokoh berbicara dalam forum-forum mereka. "Ini untuk menghindarkan klaim dan menjaga kemurnian gerakan," kata Adian, salah seorang aktivis Forum Kota.
Kedua kesatuan aksi itu memilih bergerak tanpa pemimpin dan tanpa aturan main yang ketat. Keputusan-keputusan dibuat dalam rapat yang dihadiri oleh pertemuan yang melibatkan 100 sampai 150 orang. Peserta rapat FKSMJ adalah pengurus senat mahasiswa, tiap perguruan tinggi diwakili tiga pengurus. Sedangkan peserta rapat Forum Kota adalah pemimpin simpul-simpul massa di tiap perguruan tinggi.
Abdullah, aktivis Forum Kota, mengatakan, mereka mememilih kepemimpinan kolektif yang terdiri dari lebih 100 orang dengan tujuan menghindarkan adanya mitos dan kooptasi. Bila ditunjuk pemimpin, perguruan tinggi yang besar akan mengklaim berhak memimpin meski sumbangannya pada gerakan mungkin tidak berarti. Semua perguruan tinggi di Forum Kota memiliki hak dan kedudukan yang sama. Satu perguruan tinggi satu suara. Posko mereka tertutup dan tidak dipublikasikan untuk menghindarkan klaim bahwa gerakan mereka dimotori oleh perguruan tinggi tertentu. Juru bicara dalam aksi berganti-ganti sesuai keputusan rapat untuk menghindarkan favoritisme.
Keputusan untuk menerima wawancara wartawan pun mesti diputuskan dalam rapat. Saat Kompas bermaksud mengadakan wawancara, Forum Kota menghendaki agar wawancara itu dilakukan dengan melibatkan semua peserta rapat yang jumlahnya lebih dari 100 orang. "Ini konsekuensi gerakan kami yang tanpa pemimpin," kata pemimpin rapat. Kesulitan itu dapat diatasi setelah rapat setuju memutuskan menunjuk juru bicara untuk melayani wawancara tersebut.
FORUM Kota baru muncul pada tanggal 7 Mei 1998 menyusul sejumlah aksi keprihatinan di sejumlah kampus di Ibu Kota. Forum ini dibentuk untuk mempertemukan tokoh-tokoh aksi di sejumlah kampus yang sebagian besar sudah saling mengenal dan sering bertemu dalam aksi-aksi sebelumnya, seperti dalam aksi Solidaritas Cawang Berdarah (kasus penyerbuan aparat ke kampus Universitas Kristen Indonesia), peringatan Tragedi Ujungpandang, dan sejumlah aksi advokasi di Jakarta dan sekitarnya. Berdiri dari 14 kampus, Forum Kota berkembang dengan cepat. Aktivis-aktivis Forum Kota tidak hanya bertugas menggarap kampus-kampus lain yang berdekatan tetapi juga bertugas memasyarakatkan gerakan kepada warga di sekitar kampus dengan radius 1,5 kilometer di sekitar kampus.
Embrio FKSMJ lahir pada tahun 1994 dengan nama Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi yang melibatkan 27 perguruan tinggi di Jakarta. Namun perguruan tinggi yang aktif dalam forum ini hanya sekitar 10 perguruan tinggi, semuanya swasta kecuali IKIP Jakarta. Forum ini berdiri menjelang pertemuan nasional Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) di Kaliurang pada tahun 1994. Pada tahun 1995 dalam pertemuan di Ujungpandang lahirlah Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Indonesia. Pada pertemuan tahun berikutnya di Mulawarman mereka sudah berbicara tentang pembubaran SMPT dan menuntut pencabutan paket lima undang-undang bidang politik. Forum Nasional ini pecah akibat kegagalan pertemuan di Aceh pada awal 1997 yang sekaligus bisa menjelaskan mengapa gerakan mahasiswa 1998 bersifat sporadis di masing-masing daerah meski di Jawa Timur, DI Yogyakarta, Jawa Barat, dan DKI Jakarta aksi-aksi mahasiswa sebagian dikoordinir oleh SMPT.
TANGGAL 15 April 1998, Forum Kota membuat kejutan dengan menyelenggarakan aksi serentak di kampus-kampus yang diikuti lebih dari 30 perguruan tinggi di Jabotabek. Bila semula Forum Kota baru dalam tahap koordinasi antarkampus, kali ini mereka telah menyatukan tuntutan. Isu bersama yang mereka lontarkan antara lain turunkan harga, dan reformasi total dalam bidang ekonomi, politik, hukum, dan pendidikan. Pada tanggal 2 Mei, memperingati Hari Pendidikan Nasional, mereka secara bersama-sama secara terbuka menolak Soeharto yang menyebabkan bentrok fisik dengan aparat keamanan di sejumlah kampus. Aksi di IKIP Jakarta menyebabkan 6 mahasiswa luka-luka diterjang peluru karet dan puluhan lainnya luka serius akibat serbuan dan tembakan aparat yang membubarkan aksi mereka di Jalan Pemuda, Jakarta Timur.
Aksi-aksi yang diselenggarakan FKSMJ tidak semenonjol gerakan Forum Kota. Sebelum Tragedi Trisakti yang membawa korban empat mahasiswa tewas, FKSMJ tidak menyelenggarakan aksi-aksi bersama. Aksi-aksi mereka diselenggarakan oleh senat mahasiswa di tiap kampus, sedangkan kampus-kampus lain hanya mengirimkan delegasi. Kedekatan FKSMJ dengan birokrasi kampus menyebabkan mereka lebih berhati-hati dalam mengelola isu seperti tuntutan menurunkan Soeharto.
Baik FKSMJ maupun Forum Kota sebelum Tragedi Trisakti telah mengagendakan menduduki DPR/MPR untuk memperjuangkan tuntutan mereka. Namun kedua kesatuan aksi ini memiliki strategi perjuangan yang berbeda, meski tuntutannya mirip satu sama lain. FKSMJ menghendaki Sidang Istimewa MPR untuk menurunkan dan meminta pertanggungjawaban Soeharto serta membentuk pemerintahan transisi dengan tugas utama menyelenggarakan pemilihan umum. Sedangkan Forum Kota secara mutlak tidak mengakui pemilihan umum 1997 dan semua hasilnya sehingga setelah Soeharto diturunkan, mereka menghendaki langsung dibentuk komite independen untuk menjalankan eksekutif dan DPR/MPR, serta menyelenggarakan pemilihan umum ulang. Setelah pemilihan umum ulang barulah diadakan Sidang Umum MPR antara lain untuk meminta pertanggungjawaban Soeharto. Kemiripan agenda aksi dan massa yang tumpang-tindih menyebabkan persaingan tajam antara Forum Kota dan FKSMJ.
Forum Kota mengagendakan menduduki Gedung DPR pada tanggal 19 Mei 1998. Namun karena merasa ide itu bocor dan menduga akan didahului FKSMJ, mereka mempercepat aksi mereka ke DPR sehari sebelumnya. Namun ketika Forum Kota memobilisasi massa mahasiswa sampai ribuan orang ke DPR, sore harinya sekitar 90 orang aktivis FKSMJ memutuskan menginap di gedung itu. FKSMJ menguasai mimbar utama aksi di Gedung DPR meski massa dari masing-masing perguruan tinggi menyelenggarakan aksi sendiri-sendiri. Pada tanggal 21 Mei, saat Soeharto mengundurkan diri, Forum Kota menempati mimbar utama dan setelah massa FKSMJ mulai menarik diri. Saat aparat keamanan memaksa mahasiswa keluar dari Gedung DPR/MPR Sabtu (23/5) dinihari, Gedung DPR dikuasai oleh Forum Kota dan Front Nasional. Baik Forum Kota maupun FKSMJ merasa perjuangan mereka belum selesai meski Soeharto telah turun dari jabatan kepresidenannya. Kamis (28/5), kedua kesatuan aksi ini kembali membuat gerakan.
TERLALU dini untuk menyimpulkan bahwa gerakan mahasiswa itu sudah selesai. Corak tanpa tokoh pemimpin dan kuatnya jaringan antar komunitas mahasiswa itu telah membuat mereka tidak hanya hidup oleh sebuah keberhasilan empiris. Sosiolog Dr Ignas Kleden dari Jakarta, misalnya, mengatakan bahwa gerakan mahasiswa 1998 ini merupakan contoh paling baik dari sebuah gerakan sosial. "Gerak mereka lebih dipicu oleh komitmen pada sebuah kualitas hidup, dalam hal ini kualitas kehidupan demokrasi. Dan sebagai sebuah komunitas, mereka bergerak secara horizontal. Tidak adanya hirarki kepemimpinan merupakan salah satu kekuatan gerakan semacam itu," katanya hari Rabu (27/5) di Jakarta.
Tidur panjang sebuah kesadaran memang tak cukup dibangunkan oleh situasi sesaat. Ini kalau mau agar kesadaran itu bermanfaat. Yang sama juga berlaku bagi gerakan mahasiswa 1998. Jalan memang masih sangat panjang. Dan memelihara sebuah komitmen (moral tentu saja) adalah pekerjaan yang paling sulit. (hrd/wis/wit)




0 komentar: